Share

Sebuah Jalan Rahasia

Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.

“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.

“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.

“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”

“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”

“Dia sedang tidur.”

“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”

Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.

“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.

Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebut namanya dengan sebutan Nai, Hanai. Aku tidak boleh malu lagi hanya untuk sekedar menyebut namanya.

“Iya, Nai, apakah tidak ada jalur lain?” aku mengulangi pertanyaan.

“Nah, begitu. Kamu lihat peta itu?” tanya dia sambil menunjuk sebuah peta digital depan kemudi.

“Iya, lihat.”

“Itu yang dinamakan dengan jalur untuk mobil terbang ini. Setiap mobil terbang, pasti dilengkapi dengan peta digital itu. Di sana, ada petunjuk jalur mana yang akan kita lewati. Di sana, ditunjukkan pula jika ada mobil terbang lain yang mendekat. Dengan begitu, otomatis kita akan terhindar dari tabrakan.” Penjelasannya panjang lebar.

Memang, dari tadi aku melihat banyak sekali mobil terbang, tapi seperti asyik dalam lintasan masing-masing. Warna mereka beragam, ada yang kuning, hijau, merah, dan warna-warna pada umumnya. Namun sayang, aku tidak bisa melihat orang di dalamnya. Semua kaca tidak tembus pandang dari luar. Hanya pandang satu arah.

“Kapan kita sampai, Nai.”

“Aku baru tahu, ternyata manusia bumi suka sekali bicara. Apalagi bertanya.”

“Kan, tidak ada salahnya kalau aku bertanya.”

“Andai saja kita lewat jalur tadi, kita akan sampai satu hari lagi. Namun, sayang, kita melewati jalur bahaya ini. Paling tidak, kita memerlukan waktu lebih lama, dua setengah hari.”

Aku mengeluh dalam hati, kenapa harus sepanjang ini. Apakah tidak ada jalur lain yang lebih dekat? Atau, mungkin manusia lain yang bisa mencari mantra untuk pulang?

“Sudahlah, kalau kamu lelah, ingin tidur, tidur saja.” Hanai memberi isyarat.

“Tidak, aku tidak ngantuk dan tidak lelah.”

Aku memilih berdiam diri, mengamati kiri-kanan dari kaca. Indah sekali kota ini. Penuh dengan gedung-gedung tinggi, tapi masih asri dengan pohon-pohonnya. Tidak seperti di Bumi. Setiap ada gedung tinggi, pasti kiri-kanan sudah hampir hilang lingkungan hijaunya.

Sepertinya kami sedang melewati bangunan pertokoan. Nampak dari dalam mobil berbagai toko perlengkapan. Mulai dari toko baju, makanan, perlengkapan bayi, dan entahlah, aku lelah melihatnya.

“Bangunkan Nia, kita akan makan sore dahulu.”

Segera aku menggoyang-goyangkan tubuh Hinia. Sulit sekali untuk membangunkannya. Sampai-sampai, aku kelewatan berteriak.

“Nia, bangun, kita sudah sampai.”

Dia terbelalak, seakan percaya begitu saja. Dan akhirnya tahu kalau aku membohonginya.

“Belum-belum, kita belum sampai. Kata kakakmu, kita akan makan sore dahulu.” Jelasku.

Begitulah perjalanan awal kami. sungguh sangat membosankan. Akankah ada yang menyeramkan? Nanti.

Mereka berdua turun, aku tidak turun, masih ingat dengan kata-kata Hanai yang melarangku ikut turun tadi siang. Tapi, rupanya tidak, aku diperbolehkan turun.

“Tidak apa-apa. Di sini tidak ada pengawas, kamu aman. Silahkan turun.” Hanai membukakan pintu yang aku tidak bisa membukanya.

Syukurlah, aku bisa menikmati udara bebas luar ruangan. Segera aku mengikuti mereka dari belakang. Kami masuk ke-dalam sebuah warung makanan, atau bahkan bisa disebut sebagia restoran. Tempatnya ramai. Disini barulah aku melihat manusia lain secara nyata. Sebenarnya aku juga sudah melihat dalam perjalanan tadi, namun dengan halangan kaca mobil.

“Kok, bahasa mereka berbeda dengan kita?” tanyaku pada Hinia.

“Iya, kami tidak hanya menggunakan satu bahasa, tapi banyak bahasa. Salah satunya adalah bahasa yang kami pelajari dari planetmu.” Jelas Hinia lagi.

Sepertinya Hanai sengaja mengambil tempat duduk yang jauh dari keramaian. Kami duduk di tempat paling ujung, namun juga masih lumayan ramai.

Setiap meja hanya sepertinya hanya dipasangi dua kursi. Jadi, kami membutuhkan dua meja. Baiklah, aku akan duduk terpisah diantara mereka. Aku tidak akan membiarkan persatuan mereka hilang, karena diriku.

Tapi tidak, Hinia sudah punya siasat lain. Dia menarik kursi dari meja sebelah. Aku suka ide itu. Tapi, Hinia kelihatannya adalah wanita yang ceroboh.

“Bangsait...” teriak seorang laki-laki.

Nah, itu yang aku maksud dengan ceroboh. Hinia menarik kursi tanpa melihat kanan-kiri, sehingga tabrakan dengan laki-laki yang lewat itu.

“Maaef, taek sengoje.” Kata Hinia.

Laki-laki itu bergegas pergi, dan Hinia memelototinya dari belakang, seakan tidak terima. Bagaimana anak ini, dia yang menabrak, tapi malah dia yang tidak terima.

Aku masih melihat laki-laki itu dari tempatku duduk. Dia tinggi, gempal, dan berisi. Perawakannya sangat gagah untuk ukuran laki-laki seusianya. Lalu, aku melihat dia yang duduk tidak jauh dari kami. Ah, kenapa laki-laki itu malah menghadap padaku? Sial, bagaimana kalau dia tahu aku bukan spesies manusia Kulstar?

“Hati-hati, Nia.” Hanai mengingatkan.

“Iya-iya, lagian tadi juga tidak sengaja.” Hinia tidak mau diingatkan sepertinya.

“Namanya juga kecelakaan, pasti tidak sengaja.” Hanai juga keras kepala.

Aku bingung, kenapa dua adik-kakak ini sama-sama keras kepala? Tidak ada yang mau mengalah sepertinya. Ah, mungkin ini adalah ciri khas dari mereka berdua.

“Tidak, aku rasa orang itu saja yang tidak lihat-lihat. Jalan tidak pakai mata.” Hinia lagi mengelak.

“Tapi, kalau...” Hanai tidak meneruskan.

Penjaga restoran tiba di-depan kami, dengan membawa daftar menu sepertinya. Dia memakai bawahan hitam, serta atasan putih. Hampir sama dengan pelayan di Bumi.

“Silahkan.” Kata dia sambil memberikan daftar menu pada kami.

“Aku daging makanan kera, dan sawi biasa.” Hinia sudah memesan.

“Aku juga.” Hanai ikut-ikutan.

“Kamu apa?” tanya Hinia padaku.

“Ha? Aku sama dengang yang tadi pagi saja.” Jawabku ragu.

“Disini tidak menyajikan makanan tradisiona, Safa. Coba kamu lihat dahulu daftar menunya.” Saran hanai.

Baiklah, aku melihat-lihat sejenak daftar menu. Aneh-aneh sekali nama makanannya. Mulai dari sop kerang, buntut merpati, daging kadal, umbi bakar, kentang mentah, dan masih banyak lagi kelihatannya.

Mana yang harus aku pilih? Dan akhirnya aku menyebutkan makanan yang sama dengan mereka saja. Tidak usah mengambil resiko dengan makan makanan yang belum aku kenal. Lagian, makanan ini terlalu aneh untuk diriku. Lebih baik ikut-ikutan seperti mereka saja.

“Aku sama dengan kalian saja.”

Hanai yang mengatakan pesanan kepada pelayan. Kami harus menunggu hingga beberapa saat, sebelum makanan itu akhirnya datang.

“Silahkan, makanan sudah siap.” Kata pelayan.

Nah, makanan apalagi ini? Bentuknya cukup aneh, apalagi rasanya nanti. Bentuknya seperti daging, tapi lebih kenyal sepertinya. Aku menusuk-nusuknya dengan sendok garpu, mengikuti apa yang dilakukan Hanai dan Hinia.

Baunya lumayan sedap, nikmat, menggugah selera juga. Ah, tidak usah manja. Sekarang aku berada di negeri orang, tidak usah pilih-pilih makanan. Yang penting bisa bertahan hidup untuk beberapa hari ke-depan, dan akhirnya pulang.

Ah, kenapa laki-laki yang bertabrakan dengan Hinia tadi melihatku seperti itu? Matanya seakan hanya melihatku. Dia, tidak berkedip sama sekali. Apakah dia tahu siapa aku sebenarnya? Bahaya, apa yang harus aku katakan kepada Hanai? Mungkin dia bisa membantu.

“Ayo cepat, kita meneruskan perjalanan.” Kataku tiba-tiba.

Nia dan Nai melihatku bergantian, seperti ikut merasakan apa yang aku rasakan. Hanai juga merubah caranya makan, dari yang tadinya pelan, menjadi cepat. Sedangkan Nia, yang tadinya cepat, sekarang menjadi semakin cepat. Sampailah aku yang menjadi paling terakhir diantara kami.

Setelah makan, minuman menjadi hidangan selanjutnya. Rupanya minumannya sama dengan ketika awal aku datang di rumah yang mirip kuil itu. Minuman bersodan warna merah.

Selesai makan, buru-buru Hanai mendatangi kasir, dan membayar. Aku dan Nia menunggu di meja dengan diam-diaman. Tidak ada percakapan lagi diantara kami, seperti merasakan atmosfer genting ini.

“Ayo, sudah selesai.” Hanai mengajak.

Aku dan Nia segera bangkit, mengikuti Nai dari belakang. Ketika melewati kursi laki-laki itu, rasanya ada sebuah aura berbeda menyelimuti tubuhku. Apakah Nia dan Nai juga merasakan apa yang aku rasakan?

Sesampainya di parkiran, Nia membukakan pintu mobil terbang untukku, kemudian menyusul masuk. Nai sudah berada pada posisi kemudi. Pelan-pelan, mobil terbang maju kedepan, kemudian terbang setelah beberapa meter berjalan normal.

Lega rasanya sudah meneruskan perjalanan seperti ini. Kenapa, ya, kok, aku tegang sekali tadi? Apakah ada yang salah denganku sehingga dia tahu bahwa aku bukan manusia Kulstar? Aku rasa tidak ada. Pakaianku hampir sama dengan manusia sini.

“Kenapa kamu tadi mengajak cepat-cepat?” Hanai bertanya.

Aku tidak lekas menjawab, menyiapkan kata-kata terbaik untuk menjawabnya. Kenapa pula aku perlu menyiapkan kata-kata untuk menjawab? Bukankah aku orang paling loss di dunia ini?

“Kalau ditanya jawab kali, Safa.” Hinia menyela pemikiranku.

“Aku tidak enak saja. Orang yang tadi tabrakan denganmu,” dan aku memandang Nia, “Terus saja melihatku. Aku rasa ada yang aneh dengan diriku, atau bahkan dengan orang itu.” Kataku sekenanya.

Tidak ada yang bicara lagi, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Nai mengeluarkan sebuah pertanyaan padaku.

“Apa yang kamu ketahui?”

“Entah, aku tidak mengetahui apa-apa. Hanya saja, aku merasakan hawa yang tidak enak.” Jelasku.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin itu tadi hanya sebuah prasangka burukmu.” Nia menjalan tengahi.

“Tapi kenapa kalian percaya begitu saja pas tadi makan?” tanyaku lagi.

“Aku selalu percaya dengan pandangan orang asing yang baru aku kenal. Biasanya orang asing itu pandangannya lebih tajam daripada penduduk asli.” Hanai menjelaskan.

“Nah, di depan itu kita akan memulai petualangan baru.” Hanai menghilangkan ketakutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status