Home / Fantasi / Terjebak Mantra! / Sebuah Jalan Rahasia

Share

Sebuah Jalan Rahasia

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-12-20 13:07:38

Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.

“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.

“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.

“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”

“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”

“Dia sedang tidur.”

“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”

Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.

“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.

Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebut namanya dengan sebutan Nai, Hanai. Aku tidak boleh malu lagi hanya untuk sekedar menyebut namanya.

“Iya, Nai, apakah tidak ada jalur lain?” aku mengulangi pertanyaan.

“Nah, begitu. Kamu lihat peta itu?” tanya dia sambil menunjuk sebuah peta digital depan kemudi.

“Iya, lihat.”

“Itu yang dinamakan dengan jalur untuk mobil terbang ini. Setiap mobil terbang, pasti dilengkapi dengan peta digital itu. Di sana, ada petunjuk jalur mana yang akan kita lewati. Di sana, ditunjukkan pula jika ada mobil terbang lain yang mendekat. Dengan begitu, otomatis kita akan terhindar dari tabrakan.” Penjelasannya panjang lebar.

Memang, dari tadi aku melihat banyak sekali mobil terbang, tapi seperti asyik dalam lintasan masing-masing. Warna mereka beragam, ada yang kuning, hijau, merah, dan warna-warna pada umumnya. Namun sayang, aku tidak bisa melihat orang di dalamnya. Semua kaca tidak tembus pandang dari luar. Hanya pandang satu arah.

“Kapan kita sampai, Nai.”

“Aku baru tahu, ternyata manusia bumi suka sekali bicara. Apalagi bertanya.”

“Kan, tidak ada salahnya kalau aku bertanya.”

“Andai saja kita lewat jalur tadi, kita akan sampai satu hari lagi. Namun, sayang, kita melewati jalur bahaya ini. Paling tidak, kita memerlukan waktu lebih lama, dua setengah hari.”

Aku mengeluh dalam hati, kenapa harus sepanjang ini. Apakah tidak ada jalur lain yang lebih dekat? Atau, mungkin manusia lain yang bisa mencari mantra untuk pulang?

“Sudahlah, kalau kamu lelah, ingin tidur, tidur saja.” Hanai memberi isyarat.

“Tidak, aku tidak ngantuk dan tidak lelah.”

Aku memilih berdiam diri, mengamati kiri-kanan dari kaca. Indah sekali kota ini. Penuh dengan gedung-gedung tinggi, tapi masih asri dengan pohon-pohonnya. Tidak seperti di Bumi. Setiap ada gedung tinggi, pasti kiri-kanan sudah hampir hilang lingkungan hijaunya.

Sepertinya kami sedang melewati bangunan pertokoan. Nampak dari dalam mobil berbagai toko perlengkapan. Mulai dari toko baju, makanan, perlengkapan bayi, dan entahlah, aku lelah melihatnya.

“Bangunkan Nia, kita akan makan sore dahulu.”

Segera aku menggoyang-goyangkan tubuh Hinia. Sulit sekali untuk membangunkannya. Sampai-sampai, aku kelewatan berteriak.

“Nia, bangun, kita sudah sampai.”

Dia terbelalak, seakan percaya begitu saja. Dan akhirnya tahu kalau aku membohonginya.

“Belum-belum, kita belum sampai. Kata kakakmu, kita akan makan sore dahulu.” Jelasku.

Begitulah perjalanan awal kami. sungguh sangat membosankan. Akankah ada yang menyeramkan? Nanti.

Mereka berdua turun, aku tidak turun, masih ingat dengan kata-kata Hanai yang melarangku ikut turun tadi siang. Tapi, rupanya tidak, aku diperbolehkan turun.

“Tidak apa-apa. Di sini tidak ada pengawas, kamu aman. Silahkan turun.” Hanai membukakan pintu yang aku tidak bisa membukanya.

Syukurlah, aku bisa menikmati udara bebas luar ruangan. Segera aku mengikuti mereka dari belakang. Kami masuk ke-dalam sebuah warung makanan, atau bahkan bisa disebut sebagia restoran. Tempatnya ramai. Disini barulah aku melihat manusia lain secara nyata. Sebenarnya aku juga sudah melihat dalam perjalanan tadi, namun dengan halangan kaca mobil.

“Kok, bahasa mereka berbeda dengan kita?” tanyaku pada Hinia.

“Iya, kami tidak hanya menggunakan satu bahasa, tapi banyak bahasa. Salah satunya adalah bahasa yang kami pelajari dari planetmu.” Jelas Hinia lagi.

Sepertinya Hanai sengaja mengambil tempat duduk yang jauh dari keramaian. Kami duduk di tempat paling ujung, namun juga masih lumayan ramai.

Setiap meja hanya sepertinya hanya dipasangi dua kursi. Jadi, kami membutuhkan dua meja. Baiklah, aku akan duduk terpisah diantara mereka. Aku tidak akan membiarkan persatuan mereka hilang, karena diriku.

Tapi tidak, Hinia sudah punya siasat lain. Dia menarik kursi dari meja sebelah. Aku suka ide itu. Tapi, Hinia kelihatannya adalah wanita yang ceroboh.

“Bangsait...” teriak seorang laki-laki.

Nah, itu yang aku maksud dengan ceroboh. Hinia menarik kursi tanpa melihat kanan-kiri, sehingga tabrakan dengan laki-laki yang lewat itu.

“Maaef, taek sengoje.” Kata Hinia.

Laki-laki itu bergegas pergi, dan Hinia memelototinya dari belakang, seakan tidak terima. Bagaimana anak ini, dia yang menabrak, tapi malah dia yang tidak terima.

Aku masih melihat laki-laki itu dari tempatku duduk. Dia tinggi, gempal, dan berisi. Perawakannya sangat gagah untuk ukuran laki-laki seusianya. Lalu, aku melihat dia yang duduk tidak jauh dari kami. Ah, kenapa laki-laki itu malah menghadap padaku? Sial, bagaimana kalau dia tahu aku bukan spesies manusia Kulstar?

“Hati-hati, Nia.” Hanai mengingatkan.

“Iya-iya, lagian tadi juga tidak sengaja.” Hinia tidak mau diingatkan sepertinya.

“Namanya juga kecelakaan, pasti tidak sengaja.” Hanai juga keras kepala.

Aku bingung, kenapa dua adik-kakak ini sama-sama keras kepala? Tidak ada yang mau mengalah sepertinya. Ah, mungkin ini adalah ciri khas dari mereka berdua.

“Tidak, aku rasa orang itu saja yang tidak lihat-lihat. Jalan tidak pakai mata.” Hinia lagi mengelak.

“Tapi, kalau...” Hanai tidak meneruskan.

Penjaga restoran tiba di-depan kami, dengan membawa daftar menu sepertinya. Dia memakai bawahan hitam, serta atasan putih. Hampir sama dengan pelayan di Bumi.

“Silahkan.” Kata dia sambil memberikan daftar menu pada kami.

“Aku daging makanan kera, dan sawi biasa.” Hinia sudah memesan.

“Aku juga.” Hanai ikut-ikutan.

“Kamu apa?” tanya Hinia padaku.

“Ha? Aku sama dengang yang tadi pagi saja.” Jawabku ragu.

“Disini tidak menyajikan makanan tradisiona, Safa. Coba kamu lihat dahulu daftar menunya.” Saran hanai.

Baiklah, aku melihat-lihat sejenak daftar menu. Aneh-aneh sekali nama makanannya. Mulai dari sop kerang, buntut merpati, daging kadal, umbi bakar, kentang mentah, dan masih banyak lagi kelihatannya.

Mana yang harus aku pilih? Dan akhirnya aku menyebutkan makanan yang sama dengan mereka saja. Tidak usah mengambil resiko dengan makan makanan yang belum aku kenal. Lagian, makanan ini terlalu aneh untuk diriku. Lebih baik ikut-ikutan seperti mereka saja.

“Aku sama dengan kalian saja.”

Hanai yang mengatakan pesanan kepada pelayan. Kami harus menunggu hingga beberapa saat, sebelum makanan itu akhirnya datang.

“Silahkan, makanan sudah siap.” Kata pelayan.

Nah, makanan apalagi ini? Bentuknya cukup aneh, apalagi rasanya nanti. Bentuknya seperti daging, tapi lebih kenyal sepertinya. Aku menusuk-nusuknya dengan sendok garpu, mengikuti apa yang dilakukan Hanai dan Hinia.

Baunya lumayan sedap, nikmat, menggugah selera juga. Ah, tidak usah manja. Sekarang aku berada di negeri orang, tidak usah pilih-pilih makanan. Yang penting bisa bertahan hidup untuk beberapa hari ke-depan, dan akhirnya pulang.

Ah, kenapa laki-laki yang bertabrakan dengan Hinia tadi melihatku seperti itu? Matanya seakan hanya melihatku. Dia, tidak berkedip sama sekali. Apakah dia tahu siapa aku sebenarnya? Bahaya, apa yang harus aku katakan kepada Hanai? Mungkin dia bisa membantu.

“Ayo cepat, kita meneruskan perjalanan.” Kataku tiba-tiba.

Nia dan Nai melihatku bergantian, seperti ikut merasakan apa yang aku rasakan. Hanai juga merubah caranya makan, dari yang tadinya pelan, menjadi cepat. Sedangkan Nia, yang tadinya cepat, sekarang menjadi semakin cepat. Sampailah aku yang menjadi paling terakhir diantara kami.

Setelah makan, minuman menjadi hidangan selanjutnya. Rupanya minumannya sama dengan ketika awal aku datang di rumah yang mirip kuil itu. Minuman bersodan warna merah.

Selesai makan, buru-buru Hanai mendatangi kasir, dan membayar. Aku dan Nia menunggu di meja dengan diam-diaman. Tidak ada percakapan lagi diantara kami, seperti merasakan atmosfer genting ini.

“Ayo, sudah selesai.” Hanai mengajak.

Aku dan Nia segera bangkit, mengikuti Nai dari belakang. Ketika melewati kursi laki-laki itu, rasanya ada sebuah aura berbeda menyelimuti tubuhku. Apakah Nia dan Nai juga merasakan apa yang aku rasakan?

Sesampainya di parkiran, Nia membukakan pintu mobil terbang untukku, kemudian menyusul masuk. Nai sudah berada pada posisi kemudi. Pelan-pelan, mobil terbang maju kedepan, kemudian terbang setelah beberapa meter berjalan normal.

Lega rasanya sudah meneruskan perjalanan seperti ini. Kenapa, ya, kok, aku tegang sekali tadi? Apakah ada yang salah denganku sehingga dia tahu bahwa aku bukan manusia Kulstar? Aku rasa tidak ada. Pakaianku hampir sama dengan manusia sini.

“Kenapa kamu tadi mengajak cepat-cepat?” Hanai bertanya.

Aku tidak lekas menjawab, menyiapkan kata-kata terbaik untuk menjawabnya. Kenapa pula aku perlu menyiapkan kata-kata untuk menjawab? Bukankah aku orang paling loss di dunia ini?

“Kalau ditanya jawab kali, Safa.” Hinia menyela pemikiranku.

“Aku tidak enak saja. Orang yang tadi tabrakan denganmu,” dan aku memandang Nia, “Terus saja melihatku. Aku rasa ada yang aneh dengan diriku, atau bahkan dengan orang itu.” Kataku sekenanya.

Tidak ada yang bicara lagi, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Nai mengeluarkan sebuah pertanyaan padaku.

“Apa yang kamu ketahui?”

“Entah, aku tidak mengetahui apa-apa. Hanya saja, aku merasakan hawa yang tidak enak.” Jelasku.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin itu tadi hanya sebuah prasangka burukmu.” Nia menjalan tengahi.

“Tapi kenapa kalian percaya begitu saja pas tadi makan?” tanyaku lagi.

“Aku selalu percaya dengan pandangan orang asing yang baru aku kenal. Biasanya orang asing itu pandangannya lebih tajam daripada penduduk asli.” Hanai menjelaskan.

“Nah, di depan itu kita akan memulai petualangan baru.” Hanai menghilangkan ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Mantra!   Kilas Balik

    Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te

  • Terjebak Mantra!   Visi Kemanusiaan

    Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s

  • Terjebak Mantra!   Islam Nusantara

    READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat

  • Terjebak Mantra!   Usman bin Affan

    Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa

  • Terjebak Mantra!   Ali bin Abi Tolib

    Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara

  • Terjebak Mantra!   Mak Lampir

    Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status