Apa yang dilakukan oleh Diandra tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Papanya di masa lalu. Mungkin, ini yang dinamakan hukum karma yang berimbas pada dirinya. Melupakan seseorang yang pernah menyatu dengan kita sama saja memisahkan tulang dari daging, itu yang dirasa oleh Sanjaya.
Brata berbalik dengan kedua tangan yang terkepal, rasa kecewa jelas terlihat dalam matanya. "Papa tidak ingin ada penolakan Sanjaya! Hari Senin—Papa harap kamu sudah ada disana."
Sanjaya mengabaikan ucapan Brata, pandangannya tetap lurus kedepan. Kali ini berargumen pun percuma.
Kobaran api dari tungku-tungku raksasa semakin membuat Sanjaya marah atas apa yang dilakukan oleh almarhum istrinya. Inilah salah satu alasan Sanjaya tidak meninggalkan kota yang berbatasan dengan kota Jakarta, dimana pabrik daur ulang besi tua dileburkan berdiri kokoh dan tak pernah padam, nyaris sama seperti kobaran api di dalam hatinya.
Pabrik itu beroperasi selama 24 jam, dengan tiga kali pergantian shift. Tidak satu haripun mesin itu dimatikan, bahkan pada hari-hari besar selama Sanjaya memimpin. Melihat kobaran api dan uap-uap panas seolah membantunya mengeluarkan seluruh emosi yang tertanam di jiwa, membuat Sanjaya selalu terjaga akan kemarahan dan cintanya pada Diandra. Wanita yang begitu tega mengkhianatinya.
Seorang pria dengan setelan jas navy memasuki ruangan dan sedikit membungkuk, menghadap pada Tuanya.
"Apa semua sudah siap?" tanya Sanjaya tanpa memalingkan wajah.
"Sudah Tuan, Minggu malam ada beberapa barang baru," jawabnya tanpa mengangkat wajah.
"Siapkan semuanya, kita berangkat besok pagi!"
Setelah mendengar semua permintaan Tuannya, pria berkulit sawo matang itu segera keluar dari ruangan dengan kaca besar. Dari atas sana Sanjaya bisa melihat seluruh bagian dan memastikan mesin beroperasi dengan baik. Tapi hari ini, dirinya dipaksa meninggalkan ruang kerja yang lebih mirip kamar pribadinya. Seperti menarik roh dari raganya, Sanjaya kembali merasa kehilangan.
*
Enam orang wanita berpakaian sama dengan topeng di wajah mereka mulai menuruni tangga.
Tarian erotis mulai mereka lakukan hingga pandangan mata pria hidung belang langsung berbinar menatap penuh nafsu.
Pakaian mereka begitu minim dengan heels sepanjang lima centi dengan tali yang melilit indah sepanjang betis mereka.
Pandangannya hanya diam sambil sesekali menyesap wine, menatap satu persatu penari seksi di hadapannya yang mulai mengangkat kaki mereka dan mengaitkannya pada tiang besi. Mereka berputar, meleok-leokan tubuh mereka, berusaha menggoda para pria hidung belang.
Dengan instruksi dari seorang, para penari mulai turun dari panggung dan berjalan mendekat kearah Sanjaya. Sang cassanova malam ini.
Sanjaya meyesap winenya seblum mengucapkan apa yang dia inginkan. "Tunjukkan kehebatan kalian ledis, yang terbaik akan memuaskan hasratku malam ini."
Sanjaya memang ingin wanita terbaik yang dapat melayaninya di ranjang, melepaskan seluruh hasrat dan amarahnya sebelum kembali ke kota itu, kota dimana semua duka dimulai.
Salah satu dari wanita berjongkok di hadapan Sanjaya, membuka celah pahanya agar tubuh kecilnya bisa masuk dan terbenam. Dia mulai menarik zipper.
Sanjaya hanya memejamkan mata, berusaha menikmati setiap sentuhan wanita itu, sementara wanita lainya membelai dadanya, mengecapi cuping dengan ujung lidah, berusaha membuatnya terangsang.
Tapi, ingatan akan wanita bertopeng beberapa malam lalu kembali memenuhi benaknya, memancing gairahnya. Seluruh lekuk tubuh dapat diingat, bahkan satu bintik pun dia tahu dimana letaknya, terutama bibir sensual wanita itu yang terasa tebal namun mampu membuat hasratnya menggila.
Sanjaya mengerang, tidak percaya dengan keinginannya. Padahal tidak satu malam pun Sanjaya menghabiskan malam dengan wanita yang sama.
Saat matanya terbuka, Sanjaya menarik rambut wanita yang membelai dadanya, menempelkan bibirnya pada bibir wanita itu, lalu mulai melumatnya dengan kasar, mengenyahkan semua ingatanya.
Tapi, ciuman itu hanya sesaat. Sanjaya tidak menemukan apa yang dia cari. Dia menginginkan wanita itu. Wanita yang mampu membuatnya melupakan Diandra untuk sesaat.
Sanjaya bangun dari duduknya dengan gerakan cepat sampai membuat dua wanita cantik di hadapannya terjengkang ke belakang.
"Panggil Madam-mu!"
Kedua wanita itu bagun dengan sedikit terhuyung, antara takut dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Pria di hadapan mereka sangat marah, sorot matanya tajam dengan dadanya yang bergemuruh. Pria itu sama sekali tidak peduli dengan resleting celananya yang masih terbuka.
"Apa yang dilakukan oleh mereka? Kenapa Tuan Sanjaya sangat marah?" gumam Madam Gesya sedikit geram.
Hal ini tidak pernah terjadi selama Sanjaya menjadi pelanggannya selama tiga tahun. Tapi sekarang, pria itu terlihat begitu gelisah.
Wanita bertubuh gempal dengan kipas di tangannya berjalan dengan langkah lebar ke arah Sanjaya, mengabaikan ucapan beberapa pelanggannya yang meminta wanita terbaik.
"Dimana wanita itu!" tanya Sanjaya tidak ingin menunda lagi.
Madam Geysa menautkan alisnya, merasa bingung dengan apa yang dimaksud oleh pria dihadapannya ini yang terlihat begitu marah.
"Wanita mana yang Tuan maksud?" tegas Madam Gesya bingung.
Gairahnya sudah di ubun-ubun, dengan tidak sabar Sanjaya menjawab, "Wanita kemarin!"
Sanjaya sadar semua orang tengah menatapnya, dia hanya acuh sambil menarik zipernya dan membuat benda tumpul itu kecewa.
Raut wajah menyesal terlihat di wajah Madam Gesya yang terlihat cantik walau tertutup dengan make up tebal. Dia terlihat begitu bingung dengan pertanyaan Sanjaya.
"Maaf Tuan, wanita itu hanya ada malam itu bersama, Tuan. Dia tidak bekerja lagi," jawabnya penuh sesal. Kali ini dia tidak bisa memuaskan Tuanya.
Sanjaya berkacak pinggang, sorot matanya semakin tajam, membuat Madam Gesya mengerut dan tubuhnya terlihat sedikit ringkih karena takut.
"Aku menginginkannya malam ini. Bagaimanapun caranya dia harus berada di kamarku, tidak lebih dari satu jam!" tegas Sanjaya mulai melangkahkan kakinya. Dia sangat menginginkan wanita itu.
"Maaf Tuan, dia hanya bekerja untuk satu kali saja. Dia bukan wanita tetap disini." Madam Geysa melirik dengan takut.
Tapi, mau bagaimana lagi, wanita itu memang tidak bekerja dengannya, dan mungkin tidak akan pernah.
Sanjaya membalik tubuhnya, tatapannya tetap sama, bahkan rasa sakit dikepala mulai dia rasakan. "Saya tidak ingin mendengar alasan. Cepat cari wanita itu dan bawa ke kamarku, atau—aku hancurkan gedung ini!"
Sanjaya mulai melangkah kembali, tapi hanya beberapa langkah, karena langkah selanjutnya dia mendengar penolakan dari madam Geysa.
"Saya tidak takut dengan ancaman apapun, Tuan. Anda tahu dengan baik peraturan disini, bahkan Anda menikmati hasilnya. Jika tidak, Anda tidak mungkin dapat menikmati wanita terbaik yang Anda nikmati seperti kemarin malam!" tukasnya tak kalah tajam.
"Omong kosong, seharusnya Madam bisa menekan orang-orang Madam, dan menyeret wanita itu!" Kali ini Sanjaya tidak bisa mengendalikan emosinya lagi.
"Maaf Tuan, saya tidak bisa." Lagi-lagi penyesalan terlihat diwajah Madam walau suaranya terdengar tegas, tanpa bantahan.
"Berikan identitas wanita itu, saya sendiri yang akan mencarinya," desak Sanjaya.
Tapi, sepertinya Sanjaya kali ini harus kecewa, karena melihat gelengan di kepala wanita itu dengan wajah yang semakin menunduk.
"Maaf Tuan, saya tidak bisa sekalipun Anda menembak mati saya dan seluruh orang-orang saya."
Madam Geysa bukan tidak takut mati, jelas dia takut. Tapi, hidup setelah memberikan informasi tentang wanita itu pun percuma, dia tidak akan lagi mendapatkan wanita yang sama, dan ini semua karena peraturan.
Ya, ini memang karena peraturan yang dibuat sejak dulu sebelum dirinya memimpin.
Tidak semua wanita menjual dirinya dengan sukarela, atau hanya sekedar tuntutan profesi. Tapi ada juga yang melakukannya karena terdesak dan tidak ingin diketahui identitasnya.
Sanjaya mencengkram kuat rahang wanita gempal itu, "Baik, jika itu memang mau kalian!"
Setelah mengatakan itu, Sanjaya mendorong kuat dangu yang dia cengkraman hingga Madam meringis dan hampir jatuh jika tidak segera ditangkap.
"Aggrrahh…! Dimana wanita itu!"
Dengan sekali tendang, Sanjaya membuat meja terguling dan semua barang di atasnya hancur. Beberapa orang sudah menyingkir, menjauh, musik sudah dimatikan. Mereka tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi tidak ingin ikut campur, Sanjaya sepertinya salah satu orang berpengaruh dan mereka tidak ingin mengambil resiko. "Cari wanita itu, atau aku leburkan tempat ini menjadi abu!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung pergi meninggalkan Madam yang menggigil ketakutan. Tapi pendiriannya tetap teguh, rumah bordirnya adalah yang terbaik, tidak mudah membangun reputasi ini. Jika dia memberikan informasi tentang wanita yang memang minta kerahasiaan identitasnya, maka di masa depan mungkin tidak akan ada yang mempercayakan diri mereka di tempatnya lagi. Itu sama saja menghancurkan bisnisnya. * Sebuah mobil sport berwarna merah darah dengan dengan logo kuda loncat berhenti tepat di depan pintu masuk Bank swasta, anak cabang dari Bank BRC dimana Sanjaya akan bekerja. "Selamat datan
Rani menghampiri wanita incaran Sanjaya dan menepuk pundaknya, "Lo gak papa, kan, Vie?" "Yeah, gue gak papa Ran. Kaget aja pas dateng langsung briefing." tukas Davinka yang langsung berdiri. "Yaudah, gue siapin data calon nasabah dulu sebelum ke ruangan Bos baru kita." "Ganteng ya, Vie. Coba kalau kita belum punya suami, udah pasti paling depan godain Pak bos," ujarnya sedikit terkekeh. "Yah, ganteng buat yang single," sahut Davinka dengan senyum simpul. Tapi, detik berikutnya senyum itu langsung hilang dan tergantikan dengan wajah sendunya, "tapi buat istri kayak kita, tetep suami yang paling tampan, kan? Bagaimanapun keadaannya," sambungnya terdengar lirih. Rani melirik sekitar yang terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing. "Suami Lo udah lebih baik, kan, Vie?" Davinka membalas tatapan Rani dan tersenyum simpul, "Baik, makasih ya. Gue harap pengorbanan gue gak sia-sia." Rani langsung me
Di dalam ruangan Sanjaya, pria itu membuang apapun yang ada disekitarnya dengan marah. Dia yakin tidak salah mengenali orang. Wanita itu memang yang menemaninya kemarin malam. Semua bercak kemerahan itu adalah mahakaryanya. Walau kamar hotel dalam keadaan temaram, Sanjaya tahu setiap inci tubuh wanita yang dia sentuh. "Aagrhhhh!" Shandy berlari kencang ketika mendengar suara barang pecah yang begitu nyaring. Beberapa saat yang lalu Sanjaya meminta dirinya untuk mengosongkan lantai dua yang berdekatan dengan ruangannya setelah Davinka masuk kedalam. Kini, saat melihat tanda di pergelangan tangannya berkedip, Sandy langsung bergegas menuju lantai dua dan menunda rapat dadakan dengan para staf lainnya. "Tuan! Apa yang terjadi?" Sandy begitu panik saat melihat keadaan Sanjaya dengan telapak tangan pria itu yang mengeluarkan banyak darah. Sudah cukup, Tuannya ini sudah begitu menderita selama tiga tahun ini setelah kepergian mendiang istrinya. Sandy sudah tidak tahan melihat pria i
Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran. Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya. Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah. Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana. "Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka. Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar. "Maaf, Bu. Rumah i
"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya. Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya. "Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya. Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah. Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pi
Davinka memajukan bibirnya, apa yang dikatakan oleh Rani memang benar, artis biasa aja paling mahal 30 sampai 50 juta, bagaimana dengan dirinya? Yang pasti tidak bisa menyamai mereka.Rani berbinar dan langsung berdiri. "Lo memang bukan perawan, tapi Lo udah tiga tahun semenjak suami Lo meninggal, 'kan, gak pernah ngelakuin hubungan badan, otomatis Lo beda tipis ama perawan. Ayo! Daripada Lo nemuin orang yang gak jelas, mending gue kenalin sama Madam Gaysa."Davinka sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk mendapatkan uang, selain apa yang dia lakukan sekarang, berdiri di hadapan pria hidung belang yang memiliki tingkat sosial tinggi.Setelah di make over dari ujung kaki sampai ujung rambut, Davinka bersiap untuk tampil memperkenalkan dirinya.Dalam diam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa langkah yang diambil sudah sangat benar.Dari balik tirai Davinka mengamati apa yang dilakukan oleh lima orang peserta yang sudah tampil lebih d
Suara petir menggelegar, bagaimana pria dihadapannya ini sekejam itu. Di dalam sana suaminya bertarung nyawa hidup dan mati. Tapi pria ini benar-benar tidak memiliki hati nurani, dengan tega memintanya menandatangani berkas perceraian! "Bagaimana Anda sekejam ini Tuan Sanjaya? Bahkan suami saya masih bertarung nyawa disana!" tuduh Davinka dengan tubuh gemetar, tangannya menunjuk pintu ruang operasi. Wajah Davinka sudah sepenuhnya merah, air matanya tanpa henti membanjiri pipi dengan bola mata yang terus bergerak karena panik. "Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Kamu bisa tinggal di sini sampai suamimu stabil. Tapi sebelum itu, tandatangani dulu berkas perceraiannya!" Pengacara Sanjaya menyerahkan berkas pada Davinka dan entah bagaimana disana sudah ada cap jari suaminya. Bukan hanya itu, tanda tangan Yudha sudah ada disana. Davinka semakin bergidik ngeri melihat kuasa pria dihadapannya ini yang sepertinya lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa. Melihat
Dokter menatap iba dua wanita dihadapannya. Kabar duka ini pasti akan membuat mereka terpuruk. "Pak Yudha koma—" dokter itu menjeda ucapnya dan menarik napas dengan susah payah sebelum kembali melanjutkan ucapannya dengan suara yang lebih tenang, "beliau menyerah untuk kembali pulih. Kami sudah melakukan yang terbaik, maaf …." Dokter itu terlihat begitu bersalah. Dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga hari, dia sudah memberikan kabar duka yang bertubi-tubi. Davinka kembali menghempaskan tubuhnya ke lantai, menatap semuanya dengan nanar. Wulan bahkan kembali pingsan dalam rangkulan suster dengan tubuh sedingin es. Linangan air mata kembali membasahi pipi Davinka, tatapannya terus menatap lantai seolah disana dia akan mendapatkan keajaiban. "Nyonya!" Teriakan suster membuat Davinka menoleh ke arah sumber suara. Matanya membesar dengan kelopak bibir sedikit terbuka. "Ibu …." Suara Davinka terdengar begitu lirih deng