"Siapa namamu?"
"Maaf Tuan, saya tidak bisa memberitahukannya," tukas wanita bertopeng dengan nada lirih.
Pandangannya terus menunduk kebawah, beberapa kali menghindari tatapan penuh nafsu pria yang mengunci pergerakannya.
Mata Sanjaya melotot mendengar suara wanita itu. Tubuhnya menegang hanya dengan mendengar beberapa patah kata yang keluar dari bibir penuh dengan gincu se merah cabe yang dipakainya.
"Sentuh aku," pinta Sanjaya akhirnya, menghembuskan nafas panjang.
Dia mengendalikan diri dari amarah yang tidak tahu dari mana asalnya. Jika hanya tidak ingin menyebutkan nama, seharusnya Sanjaya tidak semarah ini bukan? Tapi, hanya mendengar suaranya darah Sanjaya seperti menggolak, bahkan serasa ingin meledak.
Wanita bertopeng dengan pakaian yang begitu minim mulai berjalan mendekati Sanjaya, duduk diatas pangkuan pria itu dengan tangan yang melingkar manja di lehernya.
Ujung jarinya yang lentik mulai menyusuri setiap lekuk wajah Sanjaya. Kakinya yang jenjang tanpa alas bertumpu pada lengan kokoh pria itu.
Setiap sentuhan bagaikan sengatan listrik yang menarik seluruh sel darahnya. Siapa wanita ini? Mengapa begitu berbeda dari wanita lainnya? Lebih mirip pada—ahh tidak mungkin! Sanjaya hanya dapat mengerang, mengenyahkan semua kemungkinan.
Wanita ini begitu kaku, tapi bisa menutupinya dengan baik. Bibirnya mulai bermain di daun telinga Sanjaya, membasuh bulu-bulu halus yang tumbuh di rahangnya yang mulai mengeras, bukan karena marah, melainkan nafsu mulai menguasai pria itu.
"Sentuh lebih dalam dalam lagi, Sayang," ujar Sanjaya di sela erangan tertahan.
Tangan satunya yang bebas mulai mengarahkan tengkuk wanita itu agar sejajar dengan Sanjaya.
Mengecapi bibir penuh di sela bibirnya yang terbuka, terasa asing, kenyal dan lembutnya membuat Sanjaya larut dalam pikirannya sendiri.
Manisnya, deretan gigi yang sedang dia susuri begitu sama persis, bahkan permainan bibir wanita itu sama seperti miliknya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa Sanjaya sedikit mengakuinya, walau sebagian otak masih menyangkal keras.
Tangan Sanjaya sedikit menekan, menjelajah setiap inci tubuh wanita itu.
"Engghh …."
Bibir Sanjaya berkedut dengan kelompok matanya terbuka saat mendengar erangan tertahan lolos dari wanita yang sedang dia gigit kecil bibirnya bergantian.
Tangan wanita itu sudah membuka satu persatu kancing kemeja dan menerobos masuk mencari titik sensitif di antara dada bidang dan keras yang dimiliki Sanjaya. Sedikit mencubit dengan pelan saat mendapat sesuatu yang dia inginkan.
Sentuhannya tidak kaku, tapi seperti ragu.
"Eemmhh …."
Semakin gila, Sanjaya mulai menggendong tubuh wanita itu, membaringkannya di ranjang luas dengan sprei berwarna putih bersih.
Menarik dagunya, Sanjaya mulai mengecap bibirnya penuh wanita itu yang terasa semakin tebal akibat ulahnya. Sanjaya mengikis jarak diantara mereka dengan menarik pinggul wanita itu mendekat, membiarkan dirinya berada di antara celah pahanya.
"Ayo kita mulai."
Hembusan napas hangat menerpa wajah wanita itu, dengan jelas Sanjaya dapat melihat rona merah di balik blush on berwarna kuning keemasan.
Wanita itu bangun, mendorong tubuh Sanjaya agar memberi ruang, berdiri dan menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Sebuah cap dan segitiga berenda miliknya dengan warna senada masih melekat pada tubuhnya yang sintal.
"Ijinkan saya melakukannya lebih dulu, Tuan." Suaranya bergetar dan sedikit serak yang semakin membuat Sanjaya gila dengan nafsu yang mulai menguasai dirinya.
Detik berikutnya tubuh Sanjaya menegang, wajahnya sudah se pucat kapas, gairah lenyap dari wajah tampan pria itu, napasnya terdengar kasar di ruangan yang sunyi.
Untuk sesaat suasana terasa begitu hening. Sampai suara dingin yang menusuk mulai keluar dari bibir Sanjaya.
"Siapa kamu? Apa kamu datang untuk membunuhku, katakan?!" Wajah Sanjaya langsung berubah merah. Kali ini bukan karena gairah, melainkan amarah.
Mengapa perubahan terjadi begitu cepat? Antara nafsu dan amarah.
Sanjaya melihat tubuh wanita itu meremang, bahkan seperti menggigil. Menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya.
Sanjaya berdecak, melihat wajah polos yang tertutup topeng yang seolah mengejek dirinya.
Wanita itu turun dari ranjang, mencengkam kuat bedcover yang melilit tubuhnya. "Maaf Tuan, jika Anda tidak puas dengan pelayanan saya, saya akan meminta Madam untuk menggantikan dengan wanita lainnya."
Sanjaya melangkah maju dengan tangan terayun hendak meraih topeng di wajahnya. Tapi, dengan gerakan cepat dan gesit wanita itu menghindar.
"Maaf, Tuan sendiri yang memilih saya. Bahkan, saya tidak membawa senjata apapun," sangkal wanita itu dengan bibir yang gemetar. Tapi, lagi-lagi pengendalian wanita itu begitu hebat, jika tidak di lihat dengan baik.
Sanjaya menatap dengan tajam wanita yang berdiri depannya, terlihat kecil dan begitu rapuh, dan benar, dirinyalah yang memilih wanita ini. Bahkan wanita ini berusaha menghindarinya.
Dengan gerakan elang yang menerkam mangsanya, Sanjaya mulai merengkuh tubuh wanita itu, menyingkirkan sisa benang yang masih menempel, menyatukan bibir mereka kembali. Menyesap habis semua yang ada di dalam sana.
Sanjaya mengabaikan pikirannya, mengikuti nurani yang mulai menguasai jiwa.
Bibir Sanjaya mulai turun menyusuri setiap inci leher jenjang wanita itu, memberi jejak disetiap dia berhenti, menghisap kuat tanpa ampun
Dengan tangannya mencengkram kuat pinggang wanita itu, Sanjaya berkata dengan suara serak. "Puaskan aku malam ini!
*
"Papa harap kamu siap untuk hari Senin. Peresmian akan segera diumumkan."
"Seharusnya Papa tahu, aku tidak ingin lagi menginjakkan kaki di kota itu."
"Sampai kapan? Sudah saatnya kamu melupakan Diandra!"
"Yeah, Papa benar … tapi, tidak semudah itu, Pah!"
Hardian Sanjaya duduk, tatapannya terpaku pada kobaran api abadi di bawah tungku-tungku besar. Ingatanya kembali pada wajah cantik mendiang istrinya yang dihias senyum dan dua lesung pipi. Mengenang itu Sajang tersenyum.
"Melupakan Diandra sama saja memaksa nafasku berhenti!"
Ada kemarahan dalam setiap katanya, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin.
Brata Hardian melirik putranya tajam dan berkata dengan dingin, "Tubuh wanita itu bahkan sudah menyatu dengan tanah. Tidak seharusnya kamu masih hidup di bawah bayang-bayangnya!"
"Tapi nyatanya Diandra masih hidup dalam ingatanku, dan kekal di dalamnya. Sama seperti Mamah, yang tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu!" sindir Sanjaya dengan nada datar.
Apa yang dilakukan oleh Diandra tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Papanya di masa lalu. Mungkin, ini yang dinamakan hukum karma yang berimbas pada dirinya. Melupakan seseorang yang pernah menyatu dengan kita sama saja memisahkan tulang dari daging, itu yang dirasa oleh Sanjaya.Brata berbalik dengan kedua tangan yang terkepal, rasa kecewa jelas terlihat dalam matanya. "Papa tidak ingin ada penolakan Sanjaya! Hari Senin—Papa harap kamu sudah ada disana."Sanjaya mengabaikan ucapan Brata, pandangannya tetap lurus kedepan. Kali ini berargumen pun percuma.Kobaran api dari tungku-tungku raksasa semakin membuat Sanjaya marah atas apa yang dilakukan oleh almarhum istrinya. Inilah salah satu alasan Sanjaya tidak meninggalkan kota yang berbatasan dengan kota Jakarta, dimana pabrik daur ulang besi tua dileburkan berdiri kokoh dan tak pernah padam, nyaris sama seperti kobaran api di dalam hatinya.Pabrik itu beroperasi selama 24 jam, dengan tiga
Dengan sekali tendang, Sanjaya membuat meja terguling dan semua barang di atasnya hancur. Beberapa orang sudah menyingkir, menjauh, musik sudah dimatikan. Mereka tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi tidak ingin ikut campur, Sanjaya sepertinya salah satu orang berpengaruh dan mereka tidak ingin mengambil resiko. "Cari wanita itu, atau aku leburkan tempat ini menjadi abu!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung pergi meninggalkan Madam yang menggigil ketakutan. Tapi pendiriannya tetap teguh, rumah bordirnya adalah yang terbaik, tidak mudah membangun reputasi ini. Jika dia memberikan informasi tentang wanita yang memang minta kerahasiaan identitasnya, maka di masa depan mungkin tidak akan ada yang mempercayakan diri mereka di tempatnya lagi. Itu sama saja menghancurkan bisnisnya. * Sebuah mobil sport berwarna merah darah dengan dengan logo kuda loncat berhenti tepat di depan pintu masuk Bank swasta, anak cabang dari Bank BRC dimana Sanjaya akan bekerja. "Selamat datan
Rani menghampiri wanita incaran Sanjaya dan menepuk pundaknya, "Lo gak papa, kan, Vie?" "Yeah, gue gak papa Ran. Kaget aja pas dateng langsung briefing." tukas Davinka yang langsung berdiri. "Yaudah, gue siapin data calon nasabah dulu sebelum ke ruangan Bos baru kita." "Ganteng ya, Vie. Coba kalau kita belum punya suami, udah pasti paling depan godain Pak bos," ujarnya sedikit terkekeh. "Yah, ganteng buat yang single," sahut Davinka dengan senyum simpul. Tapi, detik berikutnya senyum itu langsung hilang dan tergantikan dengan wajah sendunya, "tapi buat istri kayak kita, tetep suami yang paling tampan, kan? Bagaimanapun keadaannya," sambungnya terdengar lirih. Rani melirik sekitar yang terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing. "Suami Lo udah lebih baik, kan, Vie?" Davinka membalas tatapan Rani dan tersenyum simpul, "Baik, makasih ya. Gue harap pengorbanan gue gak sia-sia." Rani langsung me
Di dalam ruangan Sanjaya, pria itu membuang apapun yang ada disekitarnya dengan marah. Dia yakin tidak salah mengenali orang. Wanita itu memang yang menemaninya kemarin malam. Semua bercak kemerahan itu adalah mahakaryanya. Walau kamar hotel dalam keadaan temaram, Sanjaya tahu setiap inci tubuh wanita yang dia sentuh. "Aagrhhhh!" Shandy berlari kencang ketika mendengar suara barang pecah yang begitu nyaring. Beberapa saat yang lalu Sanjaya meminta dirinya untuk mengosongkan lantai dua yang berdekatan dengan ruangannya setelah Davinka masuk kedalam. Kini, saat melihat tanda di pergelangan tangannya berkedip, Sandy langsung bergegas menuju lantai dua dan menunda rapat dadakan dengan para staf lainnya. "Tuan! Apa yang terjadi?" Sandy begitu panik saat melihat keadaan Sanjaya dengan telapak tangan pria itu yang mengeluarkan banyak darah. Sudah cukup, Tuannya ini sudah begitu menderita selama tiga tahun ini setelah kepergian mendiang istrinya. Sandy sudah tidak tahan melihat pria i
Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran. Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya. Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah. Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana. "Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka. Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar. "Maaf, Bu. Rumah i
"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya. Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya. "Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya. Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah. Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pi
Davinka memajukan bibirnya, apa yang dikatakan oleh Rani memang benar, artis biasa aja paling mahal 30 sampai 50 juta, bagaimana dengan dirinya? Yang pasti tidak bisa menyamai mereka.Rani berbinar dan langsung berdiri. "Lo memang bukan perawan, tapi Lo udah tiga tahun semenjak suami Lo meninggal, 'kan, gak pernah ngelakuin hubungan badan, otomatis Lo beda tipis ama perawan. Ayo! Daripada Lo nemuin orang yang gak jelas, mending gue kenalin sama Madam Gaysa."Davinka sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk mendapatkan uang, selain apa yang dia lakukan sekarang, berdiri di hadapan pria hidung belang yang memiliki tingkat sosial tinggi.Setelah di make over dari ujung kaki sampai ujung rambut, Davinka bersiap untuk tampil memperkenalkan dirinya.Dalam diam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa langkah yang diambil sudah sangat benar.Dari balik tirai Davinka mengamati apa yang dilakukan oleh lima orang peserta yang sudah tampil lebih d
Suara petir menggelegar, bagaimana pria dihadapannya ini sekejam itu. Di dalam sana suaminya bertarung nyawa hidup dan mati. Tapi pria ini benar-benar tidak memiliki hati nurani, dengan tega memintanya menandatangani berkas perceraian! "Bagaimana Anda sekejam ini Tuan Sanjaya? Bahkan suami saya masih bertarung nyawa disana!" tuduh Davinka dengan tubuh gemetar, tangannya menunjuk pintu ruang operasi. Wajah Davinka sudah sepenuhnya merah, air matanya tanpa henti membanjiri pipi dengan bola mata yang terus bergerak karena panik. "Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Kamu bisa tinggal di sini sampai suamimu stabil. Tapi sebelum itu, tandatangani dulu berkas perceraiannya!" Pengacara Sanjaya menyerahkan berkas pada Davinka dan entah bagaimana disana sudah ada cap jari suaminya. Bukan hanya itu, tanda tangan Yudha sudah ada disana. Davinka semakin bergidik ngeri melihat kuasa pria dihadapannya ini yang sepertinya lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa. Melihat