Share

Terjebak Nafsu Tuan Sanjaya
Terjebak Nafsu Tuan Sanjaya
Penulis: Buenda Vania

Bab 1 Sentuh Aku

"Siapa namamu?"

"Maaf Tuan, saya tidak bisa memberitahukannya," tukas wanita bertopeng dengan nada lirih.

Pandangannya terus menunduk kebawah, beberapa kali menghindari tatapan penuh nafsu pria yang mengunci pergerakannya.

Mata Sanjaya melotot mendengar suara wanita itu. Tubuhnya menegang hanya dengan mendengar beberapa patah kata yang keluar dari bibir penuh dengan gincu se merah cabe yang dipakainya.

"Sentuh aku," pinta Sanjaya akhirnya, menghembuskan nafas panjang.

Dia mengendalikan diri dari amarah yang tidak tahu dari mana asalnya. Jika hanya tidak ingin menyebutkan nama, seharusnya Sanjaya tidak semarah ini bukan? Tapi, hanya mendengar suaranya darah Sanjaya seperti menggolak, bahkan serasa ingin meledak.

Wanita bertopeng dengan pakaian yang begitu minim mulai berjalan mendekati Sanjaya, duduk diatas pangkuan pria itu dengan tangan yang melingkar manja di lehernya.

Ujung jarinya yang lentik mulai menyusuri setiap lekuk wajah Sanjaya. Kakinya yang jenjang tanpa alas bertumpu pada lengan kokoh pria itu.

Setiap sentuhan bagaikan sengatan listrik yang menarik seluruh sel darahnya. Siapa wanita ini? Mengapa begitu berbeda dari wanita lainnya? Lebih mirip pada—ahh tidak mungkin! Sanjaya hanya dapat mengerang, mengenyahkan semua kemungkinan.

Wanita ini begitu kaku, tapi bisa menutupinya dengan baik. Bibirnya mulai bermain di daun telinga Sanjaya, membasuh bulu-bulu halus yang tumbuh di rahangnya yang mulai mengeras, bukan karena marah, melainkan nafsu mulai menguasai pria itu.

"Sentuh lebih dalam dalam lagi, Sayang," ujar Sanjaya di sela erangan tertahan.

Tangan satunya yang bebas mulai mengarahkan tengkuk wanita itu agar sejajar dengan Sanjaya.

Mengecapi bibir penuh di sela bibirnya yang terbuka, terasa asing, kenyal dan lembutnya membuat Sanjaya larut dalam pikirannya sendiri.

Manisnya, deretan gigi yang sedang dia susuri begitu sama persis, bahkan permainan bibir wanita itu sama seperti miliknya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa Sanjaya sedikit mengakuinya, walau sebagian otak masih menyangkal keras.

Tangan Sanjaya sedikit menekan, menjelajah setiap inci tubuh wanita itu.

"Engghh …."

Bibir Sanjaya berkedut dengan kelompok matanya terbuka saat mendengar erangan tertahan lolos dari wanita yang sedang dia gigit kecil bibirnya bergantian.

Tangan wanita itu sudah membuka satu persatu kancing kemeja dan menerobos masuk mencari titik sensitif di antara dada bidang dan keras yang dimiliki Sanjaya. Sedikit mencubit dengan pelan saat mendapat sesuatu yang dia inginkan.

Sentuhannya tidak kaku, tapi seperti ragu.

"Eemmhh …."

Semakin gila, Sanjaya mulai menggendong tubuh wanita itu, membaringkannya di ranjang luas dengan sprei berwarna putih bersih.

Menarik dagunya, Sanjaya mulai mengecap bibirnya penuh wanita itu yang terasa semakin tebal akibat ulahnya. Sanjaya mengikis jarak diantara mereka dengan menarik pinggul wanita itu mendekat, membiarkan dirinya berada di antara celah pahanya.

"Ayo kita mulai."

Hembusan napas hangat menerpa wajah wanita itu, dengan jelas Sanjaya dapat melihat rona merah di balik blush on berwarna kuning keemasan.

Wanita itu bangun, mendorong tubuh Sanjaya agar memberi ruang, berdiri dan menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Sebuah cap dan segitiga berenda miliknya dengan warna senada masih melekat pada tubuhnya yang sintal.

"Ijinkan saya melakukannya lebih dulu, Tuan." Suaranya bergetar dan sedikit serak yang semakin membuat Sanjaya gila dengan nafsu yang mulai menguasai dirinya.

Detik berikutnya tubuh Sanjaya menegang, wajahnya sudah se pucat kapas, gairah lenyap dari wajah tampan pria itu, napasnya terdengar kasar di ruangan yang sunyi.

Untuk sesaat suasana terasa begitu hening. Sampai suara dingin yang menusuk mulai keluar dari bibir Sanjaya.

"Siapa kamu? Apa kamu datang untuk membunuhku, katakan?!" Wajah Sanjaya langsung berubah merah. Kali ini bukan karena gairah, melainkan amarah.

Mengapa perubahan terjadi begitu cepat? Antara nafsu dan amarah.

Sanjaya melihat tubuh wanita itu meremang, bahkan seperti menggigil. Menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya.

Sanjaya berdecak, melihat wajah polos yang tertutup topeng yang seolah mengejek dirinya.

Wanita itu turun dari ranjang, mencengkam kuat bedcover yang melilit tubuhnya. "Maaf Tuan, jika Anda tidak puas dengan pelayanan saya, saya akan meminta Madam untuk menggantikan dengan wanita lainnya."

Sanjaya melangkah maju dengan tangan terayun hendak meraih topeng di wajahnya. Tapi, dengan gerakan cepat dan gesit wanita itu menghindar.

"Maaf, Tuan sendiri yang memilih saya. Bahkan, saya tidak membawa senjata apapun," sangkal wanita itu dengan bibir yang gemetar. Tapi, lagi-lagi pengendalian wanita itu begitu hebat, jika tidak di lihat dengan baik.

Sanjaya menatap dengan tajam wanita yang berdiri depannya, terlihat kecil dan begitu rapuh, dan benar, dirinyalah yang memilih wanita ini. Bahkan wanita ini berusaha menghindarinya. 

Dengan gerakan elang yang menerkam mangsanya, Sanjaya mulai merengkuh tubuh wanita itu, menyingkirkan sisa benang yang masih menempel, menyatukan bibir mereka kembali. Menyesap habis semua yang ada di dalam sana.

Sanjaya mengabaikan pikirannya, mengikuti nurani yang mulai menguasai jiwa.

Bibir Sanjaya mulai turun menyusuri setiap inci leher jenjang wanita itu, memberi jejak disetiap dia berhenti, menghisap kuat tanpa ampun 

Dengan tangannya mencengkram kuat pinggang wanita itu, Sanjaya berkata dengan suara serak. "Puaskan aku malam ini!

*

"Papa harap kamu siap untuk hari Senin. Peresmian akan segera diumumkan."

"Seharusnya Papa tahu, aku tidak ingin lagi menginjakkan kaki di kota itu."

"Sampai kapan? Sudah saatnya kamu melupakan Diandra!"

"Yeah, Papa benar … tapi, tidak semudah itu, Pah!" 

Hardian Sanjaya duduk, tatapannya terpaku pada kobaran api abadi di bawah tungku-tungku besar. Ingatanya kembali pada wajah cantik mendiang istrinya yang dihias senyum dan dua lesung pipi. Mengenang itu Sajang tersenyum. 

"Melupakan Diandra sama saja memaksa nafasku berhenti!" 

Ada kemarahan dalam setiap katanya, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin.

Brata Hardian melirik putranya tajam dan berkata dengan dingin, "Tubuh wanita itu bahkan sudah menyatu dengan tanah. Tidak seharusnya kamu masih hidup di bawah bayang-bayangnya!"

"Tapi nyatanya Diandra masih hidup dalam ingatanku, dan kekal di dalamnya. Sama seperti Mamah, yang tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu!" sindir Sanjaya dengan nada datar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status