Dengan sekali tendang, Sanjaya membuat meja terguling dan semua barang di atasnya hancur.
Beberapa orang sudah menyingkir, menjauh, musik sudah dimatikan. Mereka tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi tidak ingin ikut campur, Sanjaya sepertinya salah satu orang berpengaruh dan mereka tidak ingin mengambil resiko.
"Cari wanita itu, atau aku leburkan tempat ini menjadi abu!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung pergi meninggalkan Madam yang menggigil ketakutan.
Tapi pendiriannya tetap teguh, rumah bordirnya adalah yang terbaik, tidak mudah membangun reputasi ini. Jika dia memberikan informasi tentang wanita yang memang minta kerahasiaan identitasnya, maka di masa depan mungkin tidak akan ada yang mempercayakan diri mereka di tempatnya lagi. Itu sama saja menghancurkan bisnisnya.
*
Sebuah mobil sport berwarna merah darah dengan dengan logo kuda loncat berhenti tepat di depan pintu masuk Bank swasta, anak cabang dari Bank BRC dimana Sanjaya akan bekerja.
"Selamat datang Tu—" ucapan pria berkulit sawo matang langsung terhenti saat Sanjaya mengangkat tangannya.
"Aku tidak ingin mendengar panggilan itu, Kamu tahukan alasannya, Sandy!"
Sandy menunduk dan sedikit mengangguk, "Baik Pak, saya paham!"
Sanjaya melangkah masuk diikuti oleh Sandy pengawal sekaligus sekretaris Sanjaya.
Saat pria itu masuk semua orang memberi hormat dengan sedikit menundukkan tubuh mereka. Bersiap melakukan briefing di pagi awal kepemimpinannya.
"Tidak usah formal, biasa saja!" tegas Sanjaya.
Sanjaya tidak haus hormat, dia hanya ingin ketenangan dan melakukan tugasnya dengan baik. Karena itulah dia ada disini, disalah satu anak cabang Bank BRC dan menolak kepemimpinan di kantor pusat.
"Siapa saja tim marketing disini?" tanya Sanjaya dengan memandang satu persatu wajah karyawannya.
Tujuh orang melakukan hand up. Sanjaya kemudian mengalihkan pandangannya pada Sandy. "Shandy, saya ingin data tim marketing lengkap ada di ruangan saya."
"Baik Pak," jawab Sandy sambil melirik Tuannya.
Namun, padangan Sanjaya terpaku pada seorang wanita yang baru saja masuk kedalam dengan rambutnya yang sanggul rapi, terlihat sedikit kemerahan jika berdiri tepat di bawah sinar matahari.
Wanita itu tengah melakukan fingerprint dan mulai berjalan dengan begitu gemulai, itulah yang ada didalam benak Sanjaya yang melihat wanita itu seperti seorang bidadari yang turun dari kahyangan
Wanita itu memakai rok span diatas lutut dengan blazer berwarna biru tua. Namun, sepertinya Sanjaya tidak memperdulikan penampilan wanita itu, fokusnya hanya tertuju pada satu titik. Bibir penuh wanita itu yang di dilapisi oleh gincu berwarna nude.
"Apa kamu tahu ini jam berapa?" tanya Sanjaya menahan gejolak dalam tubuhnya yang mulai berdesir hebat.
Wanita itu mematung dengan bola matanya yang terbuka lebar, menatap lurus ke arah Sanjaya sampai netra mereka bertemu, tapi dengan cepat wanita itu menunduk, memutus kontak di antara mereka, dan Sanjaya tahu wanita itu menghindarinya.
"7:30 Pak."
Tubuh Sanjaya membatu dengan detak jantung yang sangat kuat. Suara itu, suara itu terdengar begitu familiar di telinganya.
Tapi, apakah dia pemilik suara yang sama, yang telah membuatnya mengerang dan mendesah dalam waktu yang bersamaan? Tapi, sepertinya tidak mungkin, tidak mungkin pegawainya melakukan hal serendah itu jika melihat dimana dia bekerja. Bisa saja wanita ini meminjam uang perusahaan, bukan malah melelang tubuhnya.
"Kenapa baru datang? Kamu tahukan, Bank buka jam delapan tepat?!"
Sanjaya tahu wanita ini sama sekali tidak terlambat, tapi ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya sedikit tertarik, terutama bibir penuhnya yang penuh misteri ditambah dengan suaranya yang tidak asing. Anggap saja Sanjaya gila karena berpikiran mesum terhadap pegawainya, tapi peduli setan, dia ingin segera membuktikannya dan kembali menikmati tubuh wanita itu.
Dengan sedikit tergagap, wanita itu menjawab ucapan Sanjaya, "Ma-maaf Pak, tadi sedikit ma—"
"Jangan bilang karena macet, itu jawaban klise yang paling tidak ingin saya dengar!"
"Maaf, Pak. Tapi, memang macet," tukas wanita itu dengan sungguh-sungguh.
Sanjaya tidak benar-benar mengacuhkannya, dia hanya ingin tahu lebih dalam tentang wanita ini dan membuktikan apa yang ada dalam pikirannya. Tidak mungkin ada suara yang begitu mirip, bahkan sama persis. Bukan hanya satu, tapi tiga jika dihitung dengan mendiang istrinya.
"Tim marketing, ikut saya, kita meeting pagi ini!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung melangkah pergi, meninggalkan wajah-wajah tegang yang menatapnya tidak percaya.
Acara briefing berhenti dengan tiba-tiba.
Setelah Sanjaya menjauh, Rena salah satu marketing menarik tangan wanita yang baru saja datang, "Lo kok, telat? Gak baca wa gue, yah?"
Wanita itu menggeleng dengan lemah, terlihat begitu frustasi.
"Udah, ngerumpinya nanti aja. Bos baru kita ini calon pewaris Bank BRC. Jadi mending cari aman aja, lah. Ayo!" ujar Andika memperingati.
"
Di ruangan rapat, tepatnya di lantai dua dimana Sanjaya memulainya dengan menatap satu persatu wajah yang ada disana, yang totalnya ada delapan orang dan berhenti cukup lama pada wanita incarannya.
"Siapa saja tim funding dan tim lending?" tanya Sanjaya sedikit bersemangat mencari tahu di tim mana wanita itu berada.
"Kami tim funding." ujar salah satu pegawai dengan mengangkat tangannya.
Sanjaya menahan senyum saat melihat wanita itu ikut mengangkat tangannya diantara empat orang lainnya.
"Okey, good. Empat founding dan empat lending. Bulan ini kita harus melebihi target, paling tidak 50 persen dari bulan kemarin. Berapa target kita bulan lalu?"
"26 miliar, Pak," jawab Sahrul sedikit ragu.
"Good, bisa lebih terperinci? Kamu, jelaskan rinciannya!" tunjuk Sanjaya pada salah satu tim lending.
"Deposit hampir 20 miliar, bancassurance 800 juta, 50 aplikasi kartu kredit dan tabungan lima miliar," jawab Salma mantap.
"Bagus." Sanjaya bangun dari duduknya dan berjalan ke arah whiteboard, mulai menuliskan sesuatu di sana.
"Saya ingin bulan ini kita mendapatkan 50% dari target bulan lalu, dan mendapat nilai yang lebih tinggi. Cek target kalian sebelumnya dan dikalikan dua!"
Sanjaya tahu ini tidak mungkin, dan sangat mustahil. Tapi sesuatu jika tidak ditekan jelas tidak akan maksimal hasilnya.
"Kamu." tunjuk Sanjaya pada wanita yang diincarnya, "ke ruangan saya dan ikut prospek hari ini!" Setelah mengatakan itu dia langsung meninggalkan ruang rapat, meninggalkan semua orang yang langsung gaduh setelah kepergiannya
"Gila, 50 m, dalam satu bulan?!" tanya Rani pada semua orang dan sentak semua orang mengangguk
"Ini pemerasan otak namanya!" pekik Andika dari tim funding sambil mondar-mandir di ruangan itu.
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana