"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya.
Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya.
"Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya.
Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah.
Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pilihan.
Kaki Davinka tidak lagi sanggup menopang tubuhnya, dia bersimpuh dengan isak tangis yang sudah tidak kuasa dikendalikan lagi. Dunianya hancur, kebahagiaan yang diimpikan sirna sudah. Bahtera rumah tangga yang baru dibina selama tujuh hari, harus gugur dan berakhir dengan perceraian.
Tapi, Davinka bisa apa?
"Bagaimana aku menjelaskan hal ini kepada Mas Yudha jika dia sadar nanti? Apa yang harus aku katakan?" ujarnya lirih.
Raungan Davinka benar-benar terdengar begitu memilukan bagi siapapun yang melintasi koridor itu, koridor yang menjadi saksi di mana dirinya tidak lagi memiliki kendali akan hidupnya.
"Kamu boleh membenci ibu, Vie … tapi ibu harus melakukan hal ini. Kamu mencintai Yudha, bukan? Anggaplah ini pengorbanan cintamu!"
Kejam, sungguh kejam. Ibu mertuanya ini benar-benar kejam. Jika putranya sadar nanti, mungkin saja dia akan membenci ibunya dan lebih memilih mati daripada harus mengorbankan istrinya.
Tapi, cepat atau lambat Davinka memang harus melakukan ini demi melihat suaminya hidup. Tapi kenapa harus Sanjaya?! Pria yang sudah membeli tubuhnya untuk satu malam, pria yang begitu terobsesi kepada mendiang istrinya dan mengira dirinya wanita yang sama! Bahkan lebih parahnya, mengira dirinya akan mencelakai pria itu!
Davinka tidak akan pernah melupakan malam itu dalam sisa hidupnya, malam di mana dirinya menemui seorang mucikari demi mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi suaminya.
Malam itu … di bawah guyuran hujan, Davinka menemui Rani, sahabatnya.
"Rani! Rani!"
Davinka terus neggedur daun pintu sebuah kamar kost dengan seluruh sisa tenaganya. Emosinya sudah terkuras habis, menangis berjam-jam diruang emergency sebuah rumah sakit.
Pintu kamar itu terbuka dan memperlihatkan sosok sahabatnya yang masih terlihat sangat mengantuk karena tidur nyenyaknya telah diganggu. Tapi, itu hanya sebentar, wajahnya langsung tergantikan oleh raut kepanikan karena melihat tubuh kuyup dan gemetar sahabatnya.
"Vie, Lo kenapa mandi hujan kayak gini, sih? Ayo masuk?!" Rani langsung membimbing tubuh Davinka dan membawanya ke dalam kamar mandi. "Lo bilas badan dulu, gue ambil anduk!
Belum juga Rani melangkah pergi tangannya sudah dicekal oleh tangan dingin Davinka. "Gue kesini bukan untuk numpang mandi, Ran! Gue butuh pertolongan Lo!"
Rani membalik tubuhnya, memandang wajah sahabat yang begitu berantakan dengan kelopak mata yang membesar, bibir yang menebal dan dan hidung yang begitu merah, mungkin karena terlalu banyak menangis.
"Lo butuh apa, Vie? Asal bisa gue pasti bantu. Tapi Lo ganti baju dulu!"
Davinka tidak memiliki pilihan lain, selain membiarkan sahabatnya mengurus dirinya seperti boneka lilin yang rapuh. Karena dia memang begitu tidak berdaya.
Setelah Davinka mengenakan handuk kimononya, Rani menggiring tubuh sahabatnya ke sebuah single bed yang tak jauh dari pintu kamar mandi berada.
"Lo butuh apa, Vie? Kenapa bisa kayak gini? Lo berantem sama suami Lo?" cecar Rani akhirnya.
Sebenarnya sudah dari tadi Rani ingin menanyakan sebuah pertanyaan, tapi dia berusaha menahannya karena tidak ingin sahabat jatuh sakit karena menjelaskan dalam keadaan basah kuyup.
Davinka menggeleng. "Mas Yudha kecelakaan, perutnya ketusuk ranting, kakinya kejepit. Dia kritis, Ran …."
Davinka tidak sanggup lagi menahan duka di hatinya, ujian hidup ini begitu berat di awal rumah tangganya. Tangisnya pecah dengan isakan yang terdengar pilu.
"Gimana bisa? Lo bilang mobil Mas Yudha udah masuk tol Cikampek, kan? Kenapa jadi kaya gini?"
Rani ingat betul apa yang katakan Davinka, sahabatnya begitu terlihat bahagia saat memberitahukan dirinya bahwa suaminya akan segera sampai di rumah dan dia bergegas pulang agar dapat menyiapkan kejutan kecil sebelum suaminya datang dan membuat kamar mereka dipenuhi cahaya lilin dengan taburan kelopak bunga mawar, menyambut malam pertama mereka yang sempat tertunda. Tapi, apa yang dia lihat sekarang? Sahabatnya malah mendapatkan duka!
"Gue gak tau gimana kejadiannya, Ran. Pas gue keluar dari kamar mandi, ada telepon dari rumah sakit dan bilang kalo Yudha kritis. Gue butuh banyak uang Ran, uang yang gue dapet dari gade di rumah gak cukup buat biaya operasi dan ruangan ICU. Gue butuh uang banyak Ran! Bantu gue please…!"
Rani merengkuh tubuh sahabatnya, dia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. "Gue gak punya uang sebanyak itu Vie. Apalagi Lo mintanya mendadak gini."
Davinka mendongakkan kepala, menatap wajah sahabatnya yang sedang berdiri. "Lo punya kenalan yang bisa ngasih pinjem duit gak? Rentenir juga gak papa, gue butuh uang banyak, Ran!"
"Apa jaminannya? Kita harus punya jaminan!"
"Gue gak punya apa-apa selain harga diri gue, apa bisa gue gade?" tanyanya tanpa pikir panjang dan langsung di disambut gelengan kepala dari Rani.
Keduanya sama-sama termenung memikirkan cara agar mendapatkan uang.
"Sepupu Lo kerja di bar, kan? Pasti punya kenalan Om-Om hidung belang?" racau Davinka tanpa sadar, tapi dapat didengar jelas oleh Rani.
"Gawur! Gak usah aneh-aneh Lo! Mas Yudha pasti gak setuju kalau tahu ini!"
"Tapi gak ada pilihan, bank buka hari Senin. Gue bisa apa!" tangis Davinka Kembali pecah, kali bahkan lebih kencang.
"Apapun! Selain harga diri Lo, tubuh Lo! Apapun, selain apa yang Lo pikir barusan!"
Tubuh Davinka berguncang hebat, dia benar-benar bingung harus melakukan apa.
"Gue butuh uang itu malam ini, Ran. Paling gak 20 juta dulu," pintanya lirih.
Dia memang membutuhkan uang 50—60 juta untuk operasi dan ruang ICU, ditambah lagi uang deposit selama perawatan yang jumblahnya gak sedikit.
Rani berkata di tengah keheningan, "Artis terkenal aja dihargai 100 juta paling tinggi, Lo siapa?!"
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana