Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran.
Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya.
Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah.
Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana.
"Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka.
Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar.
"Maaf, Bu. Rumah itu sudah di gadai di bank, kita tidak bisa menjualnya lagi," ucap Davinka penuh sesal. "Tapi, bagaimana ini bisa terjadi, tadi pagi Mas Yudah baik-baik saja, Bu?" tanya Davinka penasaran.
Wulan mengacuhkan pertanyaan menantunya, baginya membahas soal biyaya operasi putranya jauh lebih penting, "Tapi, Vie … bagaimana dengan Yudha. Ibu sudah tidak punya rumah, semua uang digunakan untuk modal Yudha. Kami sudah tidak memiliki tabungan lagi."
Wulan bersimpuh dikaki Davinka, berharap menantunya dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan putra tunggalnya.
"Kata dokter a-ada se—" Wulan membekap mulutnya, tidak kuasa mengatakan apa yang dikatakan oleh dokter.
Bagaimana bisa semuanya berubah, bahkan belum jam makan siang? Tadi pagi sebelum Davinka berangkat, suaminya sudah lebih baik. Tapi kenapa jadi seperti ini?
Davinka mencengkam kuat lengan Wulan. "Apa, Bu. Apa? Apa yang dikatakan oleh dokter?"
Di depan ruang ICU itu begitu gaduh, tangis Davinka semakin menjadi. Baru saja merasa semua akan baik-baik saja, tapi apa? Tiba-tiba Yudha kembali kritisi.
"Keluarga Pak Yudha?" panggil dokter.
Davinka langsung membalik tubuhnya, menatap wajah dokter penuh harap.
"Pak Yudha harus segera dioperasi sekarang juga. Jika tidak, oksigen tidak dapat mengalir pada otak dengan baik." ujar dokter penuh penekanan. Mengatakan hal ini juga tidak mudah, tapi pasiennya begitu kritis.
"Berapa biayanya, Dok? Berapa yang harus kami bayarkan?"
Davinka harus menayangkan ini agar bisa segera mencari pinjaman untuk operasi suaminya.
Dokter terlihat begitu ragu, jelas membutuhkan biaya yang sangat besar untuk bedah saraf. Sementara mereka sebelumnya sudah mengeluarkan banyak uang untuk oposisi organ dalam, tubuh Yudha tertusuk batang pohon.
"Delapan puluh sampai seratus juta, itu baru biaya operasi. Untuk perawatan selanjutnya kita bisa membahasnya nanti. Waktu kalian tidak banyak, hanya sampai malam ini," tegas dokter lagi.
"Kami harus cari kemana, Dok. Uang itu sangat banyak."
Wulan sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya, semua menjadi gelap, dan tubuhnya terkulai lemas.
"Ibu!" teriak Davinka ketika melihat tubuh ibu mertuanya jatuh dan tergeletak di lantai.
Para suster yang ada disana langsung mengangkat tubuh Wulan dan membawanya ke ruang perawatan.
"Ibu, ibu harus kuat. Ibu pasti kuat!" Davinka terus berlari mengejar para suster yang membawa tubuh ibu mertuanya.
Dia bingung harus melakukan apa, semuanya diluar kendali. Suaminya butuh biaya, ibu mertuanya jatuh pingsan.
Dokter langsung melakukan tindakan pada Wulan, wanita itu terkena serangan jantung ringan.
Saat sadar, Wulan langsung mencari keberadaan menantunya melalui suster, tapi tidak menemukannya.
Sementara, Davinka berulang kali menghubungi kakaknya, tapi ponsel pria itu tidak dapat dihubungi.
Noel, Kakak Davinka saat ini sedang ditugaskan di Singapura. Noel hanya datang saat hari pernikahannya. Sejenak hari pernikahannya, Davinka belum menghubungi kakaknya.
"Apa yang harus aku lakukan. Harus mencari kemana uang sebanyak itu?" gumamnya lirih.
Davinka hanya dapat mondar-mandir di koridor rumah sakit. Memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu, semua aset berharga sudah dijual habis, termasuk dirinya sendiri.
"Aku akan membantumu, Davinka. Asal kamu mau menjadi milikku dan bercerai dengan suamimu!"
Suara itu begitu mengerikan di telinga Davinka. Bagaimana bisa pria tidak berperasaan ada di sini? Apa dia membuntutinya?
Davinka menatap wajah Sanjaya dengan tatapan penuh kebencian, apa yang telah dilakukan oleh pria itu beberapa jam yang lalu membuatnya terguncang dan merasa jijik.
Davinka meletakkan telapak tangan di udara, menahan pria itu yang hendak melangkah maju. "Jangan bermimpi, Pak Sanjaya yang terhormat! Saya tidak akan menjual tubuh saya pada Anda!"
"Benarkah, kita lihat seberapa lama kamu akan bertahan dan membiarkan suamimu terkapar lemah, bahkan mati! Uups, calon mantan suamimu." ujar Sanjaya sambil terus melangkah maju mendekati Davinka dan berbisik di telinga wanita itu, "Kamu tahu dimana tempat menemukanku!"
Davinka tercengang saat tubuh pria itu begitu dekat, bahkan berbisik begitu merdu sampai dia tidak menyadarinya bahwa pria itu sudah berjalan beberapa langkah sampai detik berikutnya, dia dikagetkan oleh suara ibu mertuanya yang mampu menghentikan langkah Sanjaya.
"Saya setuju dengan tawaran Anda, Tuan …."
Suara itu terdengar begitu lirih, tapi bak sambaran petir di siang bolong yang langsung menusuk ulu hati Davinka.
Bagaimana ibu mertuanya sekejam ini, menjual tubuhnya demi nyawa putranya?
"Ibu … bagaimana bisa ibu berkata seperti itu?" pandangan Davinka mulai tertutup oleh kabut yang membuatnya semakin tidak mengenali sosok ibu mertuanya. "Vie akan segera mendapatkan uang itu, tapi tidak dengan menjual diri," ucapnya penuh permintaan.
Wulan berjalan dengan limbung, meraih kedua lengan menantunya yang terasa dingin. "Tapi Yudha membutuhkan uang itu segera, Vie … andai tubuh ibu ini ada yang menawarnya, sudah pasti ibu akan menjualnya."
Davinka menggeleng, tidak percaya dengan penuturan ibunya. Andai ibu mertuanya tahu bahwa, putranya bahkan belum menikmati malam pertamanya.
Malam pengantin yang seharusnya dapat mereka nikmati, nyatanya amlam itu penuh penyesalan karena Davinka mendapatkan tamu bulanannya, dan ketika dia sudah siap dengan semua perayaan kecil menyambut malam pertama, malam itu juga Yudha mendapatkan kecelakaan.
Tapi kini, ibu mertuanya dengan tega meminta dirinya untuk menyetujui tawaran pria asing yang menginginkan tubuhnya.
Gelengan kepala semkain kencang, dengan bibir yang gemetar, Davinka menolaknya. "Maaf, Bu … Vie gak bisa. Gak bisa, Bu."
Davinka berlari kencang menuju ruang ICU, bagaimana dunia ini begitu kejam. Saat dirinya sudah menerima Yudha dan melupakan almarhum suaminya, Tuhan sudah memintanya meninggalkan pria itu, pria yang selalu mengisi kekosongannya setelah kepergian suaminya dan mengantikannya dengan pria asing tak berperasaan.
"Keluarga Pak Yudha!" panggil salah satu suster.
Davinka mengalihkan pandangannya dari ruang kaca, di mana memperlihatkan tubuh suaminya yang terbaring tak berdaya dengan beberapa tim medis yang sedang melakukan tindakan.
"Ya, Sus … bagaimana keadaan suami saya?"
"Maaf, Bu .. Pak Sanjaya semakin kritis, harap segera melakukan pembayaran, Karena operasi akan segera dimulai."
"Tapi Sus, Say—" ucap Davinka terhenti dan tergantikan oleh suara Wulan.
"Lakukan operasi itu dengan baik, kami sudah melunasi pembayarannya, Sus."
"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya. Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya. "Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya. Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah. Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pi
Davinka memajukan bibirnya, apa yang dikatakan oleh Rani memang benar, artis biasa aja paling mahal 30 sampai 50 juta, bagaimana dengan dirinya? Yang pasti tidak bisa menyamai mereka.Rani berbinar dan langsung berdiri. "Lo memang bukan perawan, tapi Lo udah tiga tahun semenjak suami Lo meninggal, 'kan, gak pernah ngelakuin hubungan badan, otomatis Lo beda tipis ama perawan. Ayo! Daripada Lo nemuin orang yang gak jelas, mending gue kenalin sama Madam Gaysa."Davinka sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk mendapatkan uang, selain apa yang dia lakukan sekarang, berdiri di hadapan pria hidung belang yang memiliki tingkat sosial tinggi.Setelah di make over dari ujung kaki sampai ujung rambut, Davinka bersiap untuk tampil memperkenalkan dirinya.Dalam diam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa langkah yang diambil sudah sangat benar.Dari balik tirai Davinka mengamati apa yang dilakukan oleh lima orang peserta yang sudah tampil lebih d
Suara petir menggelegar, bagaimana pria dihadapannya ini sekejam itu. Di dalam sana suaminya bertarung nyawa hidup dan mati. Tapi pria ini benar-benar tidak memiliki hati nurani, dengan tega memintanya menandatangani berkas perceraian! "Bagaimana Anda sekejam ini Tuan Sanjaya? Bahkan suami saya masih bertarung nyawa disana!" tuduh Davinka dengan tubuh gemetar, tangannya menunjuk pintu ruang operasi. Wajah Davinka sudah sepenuhnya merah, air matanya tanpa henti membanjiri pipi dengan bola mata yang terus bergerak karena panik. "Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Kamu bisa tinggal di sini sampai suamimu stabil. Tapi sebelum itu, tandatangani dulu berkas perceraiannya!" Pengacara Sanjaya menyerahkan berkas pada Davinka dan entah bagaimana disana sudah ada cap jari suaminya. Bukan hanya itu, tanda tangan Yudha sudah ada disana. Davinka semakin bergidik ngeri melihat kuasa pria dihadapannya ini yang sepertinya lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa. Melihat
Dokter menatap iba dua wanita dihadapannya. Kabar duka ini pasti akan membuat mereka terpuruk. "Pak Yudha koma—" dokter itu menjeda ucapnya dan menarik napas dengan susah payah sebelum kembali melanjutkan ucapannya dengan suara yang lebih tenang, "beliau menyerah untuk kembali pulih. Kami sudah melakukan yang terbaik, maaf …." Dokter itu terlihat begitu bersalah. Dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga hari, dia sudah memberikan kabar duka yang bertubi-tubi. Davinka kembali menghempaskan tubuhnya ke lantai, menatap semuanya dengan nanar. Wulan bahkan kembali pingsan dalam rangkulan suster dengan tubuh sedingin es. Linangan air mata kembali membasahi pipi Davinka, tatapannya terus menatap lantai seolah disana dia akan mendapatkan keajaiban. "Nyonya!" Teriakan suster membuat Davinka menoleh ke arah sumber suara. Matanya membesar dengan kelopak bibir sedikit terbuka. "Ibu …." Suara Davinka terdengar begitu lirih deng
Wajah yang sedang bersandar pada dinding ruangan pesakitan membuat Davinka berang. Wajah itu begitu mengejek dirinya dengan senyum tipis di sudut bibir. "Apa yang akan terjadi dimasa depan siapa yang tahu, Tuan Sanjaya! Mungkin saja aku akan melahirkan dua, bahkan tiga orang bayi yang sangat lucu," ujarnya sinis. Nadanya jelas menyiratkan ketidak sukaan. Seringai pria itu semakin melebar, menunjukkan gigi putihnya yang rapi, dia kini bahkan mengganti posisi kakinya. Pria ini sangat mendominasi ruangan. "Sayang, jelas kamu akan membuat bayi kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi, bukan dengan raga tanpa jiwa itu," tunjuk Sanjaya pada ranjang dimana Yudha terbaring lemah. Sorot mata Davinka semakin tajam, pria kejam ini memanggil suaminya raga tanpa jiwa. Tidak tahukah dia bawa suaminya hanya tertidur untuk waktu yang tidak bisa ditentukan! Davinka beringsut, pria itu melangkah gontai, gerakannya begitu indah. Setiap langkah seperti sudah diperhitungkan dengan baik. Sanjaya semaki
Sorot mata Wulan penuh akan kebencian, jika saja dulu putranya mendengarkan kata-katanya, tidak mungkin semua ini terjadi. "Kamu memang pembawa sial, Davinka! Siapapun yang berada di sisimu pasti akan menderita! Lihat saja putraku, kamu membuatnya tidak berdaya antar hidup dan mati!" Wulan mengeluarkan hampir semua racun yang bersarang di tubuhnya tanpa belas kasih. Dia sependapat dengan Davinka, ini semua memang karena wanita itu. Andai saja Yudha tidak tergila-gila terhadap Davinka semenjak mereka masih di sekolah menengah atas, Wulan jelas tidak akan setuju Yudha menikahi seorang janda kembang dan sekarang, wanita ini membawa malapetaka bagi putranya. "A-aku akan pergi setelah Mas Yudha sembuh, Bu. Aku mohon …," pinta Davinka semakin lirih. Dia tidak ingin meninggalkan suaminya sekarang, dia ingin mendampingi Yudha dan melihatnya pulih. "Tidak!" tolak Wulan cepet. Entah apa yang akan terjadi jika Davinka masih disini. Dia sendiri tahu
Davinka tidak berani mengangkat wajahnya. Dia tau betul suara siapa itu, pria yang sudah membelinya dan menukar dengan nyawa Yudha. Davinka sangat membenci pria ini sampai ke sumsum tulang. Melihat tawanan yang ketakutan, Sanjaya merasa senang. Wanitanya terlihat begitu jinak dengan tertunduk malu, sangat berbeda dengan beberapa jam lalu yang begitu arogan. Sanjaya langsung naik ke atas ranjang, membaringkan kepalanya di atas pangkuan, mengambil sejumput rambut dan mengendusnya dalam. Merasa kesal, Davinka memalingkan wajah. Tidak ingin melihat wajah pria itu yang tanpa tau malu berbaring di pangkuannya. Sangat menyebalkan! Mata Sanjayat terpejam, tapi lidahnya begitu tajam. "Puaskan aku seperti malam itu! Jika tidak, kamu tahu akibatnya!" Deg! Hatinya bak ditikam belati. Bagaimana Davinka bisa melayani Sanjaya dengan wajah yang terpampang nyata. Malam itu, dia begitu liar karena wajahnya tertutup topeng. Tapi sekarang, Davinka menatap wajahnya pun tidak berani. Apalagi melakuk
Sanjaya tidak bisa mengendalikan diri, cengkraman dan kuku Davinka semakin menambah gairahnya. Dia mengangkat satu kaki Davinka tanpa melepas miliknya.Peluh bukan saja membanjiri tubuhnya, tapi juga menetes membasahi wajah Davinka yang semakin kewalahan mengimbangi nafsu Sanjaya.Wajah cantik Davinka sudah sangat merah dengan rambutnya yang lepek karena keringat, intinya berdenyut hebat seiring kuatnya hentakan Sanjaya hingga menghasilkan gelombang yang sudah tidak bisa dibantah."Ahh … Sayang, kamu sudah mendapat klimaks, hemm? Ini sangat basah, tapi juga nikmat. Kamu selalu hebat saat diranjang, Diandra," racun Sanjaya di tengah hentakan pinggul dengan bokongnya yang padat.Matanya terpejam, wajah istrinya sedang tersenyum dengan bibirnya yang sensual dan merekah seperti bunga mawar.Wanita dalam ingatan Sanjaya menggigit bibirnya dengan kuat disela desahannya yang selalu memanggil nama Sanjaya."Sanja …," panggil wani