Share

Tidak Ada Maaf Untuk Penghianat

“Apa yang kau lakukan.” Tangan Alesha dicekal oleh Garvin.

Tertangkap basah—pergerakan Alesha langsung dibekukan oleh Garvin. kedua tangannya dicekal di atas kasur. Garvin mengambil jarum itu—menelitinya sebentar. Pertama kali melihatnya—ia langsung tahu jika jarum itu berbahaya. Jika jarum itu mengenai lehernya, dalam hitungan menit ia akan kehilangan nyawa.

“Jawab aku. Siapa yang menyuruhmu?” aura Garvin berubah menjadi sangat dingin. Ia mengambil sebuah borgol di dalam lacinya.

“LEPASKAN AKU! KAU PANTAS MATI!” teriak Alesha berusaha melepaskan diri. Namun kedua tangannya lebih dulu diborgol oleh Garvin.

“Kau sudah mengirim uang ke tempat bordil?” tanya Garvin di sebuah telepon.

“Baru setengah, Sir.”

“Tidak usah kirim. Turuti saja perintahku.”

Disaat Garvin masih bertelepon dengan seseorang. Alesha bangkit—meskipun gerakan tangannya sangat terbatas. Hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap membunuh Garvin. Pria itu harus mati.

Alesha mendekat ke arah dressnya. Mengambil sebuah alat kemudian dengan mudah ia melepaskan borgol dari tangannya sendiri. Mengambil satu alat lagi—pisau lipat yang tersimpan di kantung dressnya.

Alesha mengambil vas bunga dan melemparnya tepat di bagian belakang kepala Garvin. Garvin meraba belakang kepalanya yang sudah mengeluarkan darah. Ia menampilkan smirknya.

“Kau begitu berani denganku.” Garvin mengambil pistolnya.

“Aku tidak akan membunuhmu jika kau mau memberitahuku siapa yang menyuruhmu.” Garvin sudah mengarahkan pistolnya pada Alesha.

Alesha tertawa. “Kau memang suka menembak orang lain bukan? Tembak aku.”

DOOR

Suara tembakan yang dilepas ke udara. Garvin tidak main-main dengan ucapannya. “Aku melakukan kesalahan padamu?”

“Coba tebak kesalahan apa yang kau perbuat padaku hingga wanita anggun sepertiku mau repot-repot merendahkan diri di hadapan banyak orang?” Alesha tertawa sangat keras beriringan dengan tangisnya yang pecah. Alesha ingin menyalahkan diri sendiri karena tidak berhasil membalaskan dendam dengan sempurna.

“Aku tidak akan punya penyesalan apapun jika berhasil membunuhmu.” Alesha berlari dan langsung mengarahkan pisaunya ke arah perut Garvin

Lagi—usahanya gagal. Garvin lebih dulu menendang kedua kaki Alesha sehingga wanita itu terjatuh.

“Akkh.” Alesha terjatuh di lantai. Ia hendak meraih pisaunya kembali. Namun kaki Garvin lebih dulu menginjak punggung tangannya dengan sangat keras.

“Kau benar-benar mengotori tempatku,” desis Garvin benar-benar marah. Dengan sekali tarikan—Alesha berdiri. Garvin tidak akan membiarkan Alesha terbebas begitu saja. Ia menyergap Alesha dari belakang. Kulit mereka saling bersentuhan dengan intens.

Lengan Garvin berada di leher Alesha sehingga membuat perempuan itu kesusahan bernafas.

“Kutanya sekali lagi. Siapa yang menyuruhmu melakukan ini semua?”

“KAU MEMBUNUH KEKASIHKU, RUBAH!”

Garvin semakin menekan lengannya ke leher Alesha. “Siapa yang kau maksud?”

Alesha berusaha melepaskan diri. Menepuk lengan Garvin berkali-kali tidak ada gunanya. Pria itu ingin membunuhnya dengan mencekiknya sampai mati.

“SIAPA?” teriak Garvin tidak sabar.

“Aldrich…” lirih Alesha susah payah. Ia hampir mati jika setelahnya Gavin tidak melonggarkan lengannya.

“Kau pikir aku yang membunuh Aldrich?”

“Siapa lagi kalau bukan kau, Biawak!” teriak Alesha menggebu-gebu. Jelas-jelas ia melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Garvin mengepung dan mentertawakan jasad Aldrich.

“Aldrich adalah anak buahku yang berhianat dan pergi ke kandang lawan. Tetapi bukan aku yang membunuhnya,” ucap Garvin.

“Kau tidak membunuhnya?” tanya remeh Alesha. Ia tertawa—sangat lucu. Garvin harus mendapat penghargaan sebagai manusia paling manipulatif. “KAU KIRA AKU BODOH?! AKU MELIHATMU MENTERTAWAKAN JASAD ALDRICH!”

“DASAR KAU KADAL TIDAK TAHU MALU!” teriak Alesha semakin menjadi-jadi.

Garvin semakin menekan lengannya di leher Alesha. Sungguh menjengkelkan—suara terikan Alesha membuat telingannya berdenging. “Aku semakin ingin membunuhmu.”

Nafas Alesha terasa sangat sesak. Kepalanya pening—pandangannya mulai berkabur dan akhirnya pingsan.

~~

“Di mana uang setengahnya?” tanya seorang laki-laki pada wanita seksi berumuran 40 tahunan.

“Belum dikirim tuan Garvin,” jawab sang wanita. Sebutannya adalah Madam. Seorang pemilik tempat bordir yang melelang wanita pada bos Mafia.

Seorang laki-laki muda mendekat. Berbisik untuk memberitahu sesuatu.

“Tuan Garvin tidak akan membayar jumlah setengahnya,” ucap Madam.

William mengepalkan tangannya. Apa ini artinya Alesha tidak berhasil menjalankan misinya? Biar saja tapi setidaknya ia harus mendapatkan uang yang jauh lebih banyak dari ini.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba menyuruhku memasukkan wanita itu ke dalam daftar wanita yang akan dilelang?”

William tertawa. “Wanita itu punya ambisi yang kuat untuk membunuh Garvin. sayangnya dia bertemu dengan orang tepat sepertiku. Jadi aku memanfaatkannya untuk membunuh Garvin serta menghasilkan uang untukku.”

“Sialan kau William!” teriak marah Madam. “Kau melibatkanku dalam urusanmu dengan tuan Garvin. Jika tuan Garvin menutup tempat usahaku aku tidak segan menghabisimu!”

William menendang bangku yang berada di sekitarnya.

BRAAK

“Kau pikir kau siapa? Beraninya mengancamku.” William mencekik leher Madam.

~~

“Wiliam benar-benar Ular licik. Dia membunuh Aldrich setelah mendapatkan keinginannya. Dia juga memanfaatkan kekasih Aldrich.”

Garvin mengetuk meja kerjanya. “Aldrich menjual informasi yang diketahuinya dari Blackton kemudian menjualnya ke Dark Blood hanya untuk mendapatkan uang. Apa kau berpikir itu masuk akal?”

Christ mengangguk. “Masuk akal menurut saya. Karena Aldrich sangat terobsesi dengan kekasihnya. Dia rela melakukan apapun agar mendapatkan harta dan bisa membahagiakan kekasihnya.”

Garvin bersandar pada kursi kebesarannya. “Entah kenapa aku merasa ada yang janggal saja.” Beranjak dari kursinya—Garvin menatap sebuah lukisan di dinding ruangannya.

“Apa ini artinya anda mengampuni Aldrich?”

Garvin menatap Christ tajam. “Tidak ada maaf untuk penghianat. Aku tidak segan melempar jasad Aldrich ke kandang Serigala, disaksikan para bawahanku. Kau berani menyebutnya pengampunan?”

Chirst segera menggeleng. “Maafkan atas kelancangan saya—Sir.”

“Kau sudah mencari tahu tentang kakasih Aldrich?”

Christ mengangguk. “Ini data yang saya peroleh untuk hari ini. Namanya Alesha Caroline. Seorang Ballerina yang hampir seluruh hidupnnya dihabiskan di Panti Asuhan. Apa anda sudah merencanakan sesuatu padanya?”

“Bagaimana kalau melelangnya seperti kemarin? Pasti banyak pria yang menawarnya juga?” Garvin menampilkan senyumnya yang menakutkan.

Seorang wanita tengah tertidur di atas ranjang dengan posisi kedua tangan dan kedua kaki yang terikat. Kejadian terakhir membuat Alesha sesak nafas dan berakhir pingsan. Beruntung Garvin masih mau menampungnya.

Padahal Garvin ingin sekali langsung menembak kepala Alesha yang berani melempar vas bunga ke kepalanya. Ia duduk di sofa tepat di depan ranjang Alesha tertidur. Sembari menyesap rokoknya—pandangannya tidak terlepas pada sang wanita yang saat ini mulai bergerak.

“Tidurmu nyenyak?” tanya Garvin dengan raut datarnya.

Alesha sudah membuka kedua matanya. Namun tubunya tidak bisa bergerak barang sedikitpun. Semua anggota tubuhnya terikat—mulutnya diperban. Lengkap sudah—seperti lontong sayur yang masih utuh dan hanya terbaring di atas piring.

Tubuh Alesha bergerak. Berusaha melepaskan diri—namun seiring dengan usahanya yang begitu menggebu-gebu. Tali-tali yang mengikat dirinya semakin menyakiti kulit tubuhnya.

Garvin menginjak putung rokoknya. Kemudian mendekat. “Kau ingin kulepas?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status