Alesha mengangguk.
“Kau jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin tanpa rasa kasihan langsung menarik lakban yang menutup mulut Alesha. Tarikan lakban yang kuat membuat seakan bibir Alesha ikut tertarik juga.
“Apa yang Wiliam katakan padamu?”
Alesha menatap Garvin dengan sorot kebenciannya. “Aku lelah. Semuanya nampak membingungkan. Tidak bisakah kau langsung membunuhku saja?”
Jawaban Alesha membuat Garvin mengepalkan tangannya. Emosinya kini mulai naik. “Kau ingin aku membunuhmu?”
Alesha mengangguk. “Seharusnya aku tidak terlibat dengan kalian. Tapi setidaknya aku tahu pembunuh Aldrich, antara kau dan Wiliam. Aku bisa pergi dan menyusul Aldrich. Kalian bisa bertengkar sesuka hati kalian.”
Tidak ada harapan untuk hidup. Alesha benar-benar putus asa. Tidak ada kejelasan yang nampak di depan matanya. Semuanya abu-abu dan membingungkan. Selain teka-teki tentang pembunuh Aldrich sebenarnya. Ia juga akan dibuat semakin penasaran bagaimana kehidupan Aldrich di sini.
Alesha memutuskan untuk menyerah. Mengakhiri hidupnya adalah jalan pintas yang dipilihnya.
“Aku tidak membunuh orang dengan mudah. Aku akan menyiksanya lebih dulu. Mengurungnya beberapa tahun di penjara bawah tanah. Menyiksanya untuk melampiaskan emosiku.” Garvin mencengkram dagu Alesha. “Apalagi kau kekasih penghianat. Bisa kupastikan jika aku akan membunuhmu dengan cara yang paling keji.”
“Aku tidak bisa berkata kasar.” Alesha memejamkan mata. “Setan!” umpatnya dalam bahasa Indonesia membuat Garvin mengerutkan keningnya bingung.
“Bicara yang jelas!”
“Kill me. Lakukan dengan cepat. Hanya itu permintaanku.”
Garvin menatapnya marah. Tangannya bergerak melepaskan semua atribut yang membelenggu tubuh Alesha. Kemudian menyeret Alesha keluar. Berjalan ke ruang bawah tanah—lorong gelap penuh dengan teriakan memohon pengampunan mulai terdengar. Dengan cahaya yang begitu minim, Alesha tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana orang-orang yang berada di dalam penjara.
Tidak jauh berbeda dengan kediaman Wiliam. Namun Mansions Garvin lebih menakutkan. Setiap penjara ada satu orang yang bertugas menjaga. Keamanan di sini sangat ketat—penghianat ataupun mata-mata yang tertangkap tidak akan bisa lepas.
“Kau akan menggantikan kekasihmu yang melakukan penghianatan.” Garvin mendorong tubuh Alesha masuk ke dalam ruangan kosong yang beralaskan lantai dingin.
Tubuhnya menggigil. Sedikit bersyukur karena Garvin mau memberikannya sepotong dress meskipun dengan kain tipis yang tidak bisa melindunginya dari hawa dingin. Alesha tiba-tiba berlutut di hadapan Garvin.
Garvin yang melihat itu tersenyum tipis. Semua orang akan melakukan hal sama jika berada di posisi Alesha. Mereka akan meminta di lepaskan. Senang mendengarnya—karena Garvin tidak pernah mengabulkan keinginan mereka.
“Ajalku pasti sudah dekat. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Untuk itu aku ingin minta maaf atas semua kesalahan Aldrich yang telah dilakukan padamu. Meskipun aku tidak tahu apakah kau memang bukan pembunuh Aldrich.” Alesha menepuk dadanya sendiri. “Aku tidak keberatan jika di sini ataupun menanggung kesalahan Aldrich. Selagi itu bisa membuatmu memaafkan dia. Aku ingin dia bisa berjalan damai menuju tempat yang lebih baik selain dunia ini.”
Garvin mengernyit. Dugaannya salah besar pada wanita itu. Garvin menatap Alesha yang berada di bawah. Wanita itu menunduk sebentar kemudian mendongak. Garvin tertawa remeh.
“Kenapa tidak sekalian meminta maaf atas dirimu sendiri padaku?”
“Kita sama-sama impas. Sama-sama menyakiti satu sama lain. Aku juga baru bertemu denganmu, tidak banyak kesalahan yang aku perbuat.”
Ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Garvin. Pertanyaan yang bisa dibilang konyol namun sungguh membuat pria itu penasaran.
“Apa yang membuatmu melakukan semua ini untuk Aldrich?”
“Aku mencintai Aldrich. Dia segalanya bagiku.”“Cinta?” Garvin tertawa. Tawa yang menggelegar, tawa yang benar-benar lepas dan murni karena memang lucu. Cinta? Satu kata yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan konyol.Alesha bangun. Berdiri di hadapan Garvin. “Apa ini artinya kau memaafkan Aldrich?”Garvin mendadak terdiam. Menatap Alesha dengan tajam. Dia sedikit menunduk karena tinggi Alesha yang hanya sebatas lehernya. “Tidak ada kata maaf untuk penghianat. Aku harap dia berada di tempat paling buruk selain dunia ini.”Wajah Alesha memerah menahan amarah. Tangannya mengepal—kemudian mengacungkan jari tengahnya pada Garvin. “Doa buruk akan kembali pada sang pemilik. Doa buruk akan menjadi boomerang untuk pemiliknya.”“Mau kupotong jarimu hah?!”Alesha segera menekuk jarinya kembali.“Sekarang nikmati hidupmu di penjara ini. Kau akan mend
Tubuh Alesha ditarik oleh dua pria. Diseretnya melewati lorong gelap. Digelandang masuk ke dalam ruangan lain yang tidak kalah mengerikan. Ruangan dengan aroma amis yang begitu pekat. Juga ada beberapa kerangkeng besi yang menempel di tembok. Alat-alat berat lain yang ditaruh di sebuah rak terbuka.Alesha mencoba memberontak melepaskan diri. Tapi orang-orang itu begitu mudahnya memasang kerangkeng pada tubuhnya. Tubuhnya berada di atas dan membentuk huruf X dengan kerangkeng yang melilit.“Jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin mengambil duduk di sofa. Mengambil rokok kemudian menyulutnya perlahan.“Apa kau selama ini mendapatkan harta dari Aldrich?”“Itu urusan pribadiku,” jawab Alesha.CETARSebuah cambuk menyambar tubuhnya. “Akkh.” Alesha meringis kesakitan.“Jawab dengan jujur atau kau akan mendapatkan cambukan dan pukulan. Kutanya sekali lagi apa kau selama
Alesha bertepuk tangan pelan. “Selamat untuk kalian berdua.” “TUTUP MULUTMU! JANGAN BERBICARA!” kesal Garvin berteriak. Xavier tersenyum. Ia mendekati Alesha. “Kami tidak seperti yang kau pikirkan.” Mengusap dahi Alesha pelan. “Namaku Xavier, semoga cepat sembuh.” Alesha membalas senyum Xavier sembari mengangguk. “Aku pergi dulu.” Xavier menunjukkan jarinya. “Jangan menyiksanya jika ingin dia segera sembuh!” katanya pada Garvin. “Kau menyukainya?” tanya Garvin. Alesha mengangguk pelan. “Siapa yang tidak suka dengan pria tampan dan penuh keramahan seperti Xavier. Semua wanita pasti juga akan menyukainya.” “Waah. Tidak kusangka kau akan berpaling dari kekasih yang kau cintai itu secepat ini.” Garvin menggeleng dengan tangan yang bersindekap. “Aku hanya menyukainya. Sebatas kekaguman seperti mengidolakan seorang aktor.” Alesha bangun dan duduk sembari menatap Garvin. Berada di ruangan yang jauh lebih baik dari penjara. Kamar ini sangat luas dan nyaman. Juga kasur empuk yang ia du
“Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi semesta tidak pernah berpihak padaku. Aku tidak mau menyusahkan diri sendiri dengan memikirkan hal yang tidak bisa terwujud. Aku hanya akan mengikuti alur.” Itulah jawaban Alesha beberapa menit yang lalu, jawaban yang mampu membuat Garvin terdiam kehabisan kata-kata. Mereka sampai di sebuah gedung. Begitu ramai dengan orang-orang kelas atas. Ada banyak sekali security yang berjaga di luar gedung. Dilakukan pengecekan sangat ketat sebelum masuk. Tamu akan diijinkan masuk apabila menunjukkan undangan. Tanpa undangan tidak akan bisa masuk. Garvin berdiri di sebelah Alesha. Tanpa aba-aba, tangannya bergerak menarik Alesha mendekat dari samping. Memeluk pinggang wanita itu dengan erat. “Kenapa seperti ini?” tanya Alesha. Ia tidak nyaman tangan kekar Garvin bertengger di pinggang rampingnya. Ia mendongak meminta penjelasan pada Garvin. “Jawab aku.” “Diam saja.” Garvin menatap sekitarnya. Garvin tidak serta merta datang seorang diri. Ia membawa
Benar dugaan Garvin. Dia juga menunduk berpura-pura ketakutan seperti yang orang-orang lakukan. Pesta seperti ini sangat rentan dengan penjarahan. Pasti ada Mafia yang mengincar karena Pesta terisi dengan orang-orang kalangan atas yang bergelimang harta. Mereka yang ketakutan akan senantiasa melepaskan barang-barang mereka. Seperti seorang pria tua buncit yang bersembunyi di bawah kolong meja. Ia mengangkat jam tangan bermerek rolex seharga jutaan dollar ke atas. “Aku menyerahkan jamku.” Ada lagi seorang wanita yang melepaskan semua perhiasannya. Dari jumlahnya—Garvin bisa menebak harganya yang hampir mencapi satu juta dollar. Garvin berdiri. Merapikan kemejanya. Ia nampak tidak peduli dengan pria yang telah menatapnya, juga mengacungkan pistol ke arahnya. Garvin dengan santainya menampilkan smikrnya sembari mengarahkan pistolnya ke arah pria itu. “Hentikan,” ucap Garvin santai. “Jangan mencampuri urusanku. Kusarankan kau pergi dari sini.” Pria itu menggunakan sebuah topeng. Tapi
“Dasar bajingan. Kau membahayakannya lagi!” seloroh seorang pria. Xavier menendang kaki kanan Garvin.Garvin membalikkan badannya. “Hentikan. Aku tidak ingin bertengkar denganmu,” balasnya malas. Garvin memang sedang mode senggol bacok. Bahkan anak buahnya saja tidak berani mengeluarkan satu katapun. Bisa-bisa mereka ditelan hidup-hidup oleh Garvin.“Oke-oke.” Xavier yang melihat kemarahan Garvin akhirnya diam untuk tidak mencari masalah pada temannya itu. “Aku sudah mengeluarkan peluru dari dadanya. Beruntung sekali kau langsung membawanya ke sini. Jika kau terlambat satu menit saja—dia tidak akan tertolong. Itu bukan peluru biasa, melainkan peluru yang sudah diracun. Racun itu bisa saja cepat menyebar ke seluruh tubuhnya jika pelurunya tidak segera diambil.”Garvin hanya mengangguk. Pandagannya masih terpusat pada seorang wanita yang berbaring di ruang perawatan intensif dengan alat-alat medis menancap di tubuhnya.“Dia akan bangun dalam hitungan hari. Jangan menunggunya. Bekerjalah
Garvin memang mengelola dua bisnisnya yang mempunyai dua sisi. Prinsipnya, dua bisnis itu akan terus berdampingan dan berjalan meski dengan jalur yang berbeda.~~“Kualitas daun ini tidak begitu baik,” kata Garvin. Ia mengamati daun-daun bahan pembuatan obat terlarang. Ada begitu banyak karung yang bertempuk berisikan sama.“Para petani ketakutan mendengar akan ada razia, sehingga mereka memanen daun lebih awal. Tekstur daun yang lebih muda tidak sebaik yang tua, sehingga dalam perjalan ke sini, daun-daun tersebut banyak yang rusak.” Penjelasan dari Christ.Hanya mengangguk. “Apa mereka sudah tahu kualitas daun ini menurun?”Chirst mengangguk. “Mereka tidak berani menurunkan harga karena tidak ada pemasok daun selain kita.”“Bagus.” Garvin berjalan keluar dari gudang. Letak gudang berada di tengah hutan. Jelas, jika letaknya sangat diperhitungkan Garvin agar menghindar dari razia po
Alesha terbangun sore hari. Setelah mendapatkan pemeriksaan cukup intensif, ia dipindahkan ke ruangan pasien biasa. Tubuhnya mulai pulih namun infus masih tertancap pada punggung tangannya. Dadanya masih sesekali nyeri—Alesha tidak tahu jika dirinya tertidur cukup lama. Butuh waktu 12 hari sampai ia terbangun.“Ada yang sakit?” tanya Xavier.Alesha menggeleng lemah. Padahal ia berharap mati—namun ternyata ia masih selamat. Sudah merasakan sakit—tapi tidak jadi mati. Alesha sungguh kesal.“Akh.” Alesha memegang dadanya yang terasa ngilu.“Jangan memegangnya.” Xavier mencegah tangan Alesha yang akan menyentuh lukanya sendiri. “Tanganmu tidak bisa memegang lukamu sembarangan.”“Tapi sakit,” lirih Alesha.“Aku akan memberimu obat penahan rasa sakit.” Xavier memberikan sebuah resep pada perawat yang ada di sana. Setelah perawat pergi—Xavier menatap Ale