Di tengah perjalan menuju bandara yang dilalui dengan kesunyian, tiba-tiba mobil berhenti di tepi jalan yang mengarah ke pantai. Kening Ella berkerut bingung. Ella yang sedari tadi bergeming menatap keluar jendela pun menggerakan kepalanya menatap Lorenzo di sebelahnya kemudian menatap Alessio yang menjadi supir mereka. “Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Ella, suaranya dingin, keengganannya berkomunikasi dengan Lorenzo masih terasa. “Ikut aku,” titah Lorenzo, tidak sepenuhnya menjawab kebingungan Ella. Ia beranjak turun dari mobil, mengelilingi mobil untuk membuka pintu Ella. Setelah itu mengulurkan tangannya. Ella mengernyit melihat perban yang melilit tangan Lorenzo. Pandangannya terayun antara tangan dan wajah pria itu. Ia ingin bertanya apa sebab luka Lorenzo, namun ia terlalu malas untuk membuka percakapan dan menunjukkan kepulidiannya. Sebalinya, ia fokus pada keadaan sekarang. Ella menatapnya curiga dan waswas. Pasalnya, setiap tindakan Lorenzo tidak terduga dan
Seminggu telah berlalu untuk perawatan intensif Ella. Kesehatan Ella berangsur membaik, tubuhnya mulai pulih. Luka jahitannya telah mengering, dan ia sudah bisa bergerak tanpa khawatir lagi akan rasa sakit yang menyengat. Namun, hubungannya dengan Lorenzo tidak ada perkembangan. Semakin berantakan, tapi tidak dapat berpisah. Perang dingin di antara mereka terasa lebih menyakitkan dibanding dengan teriakan dan umpatan satu sama lain. Ella masih mempertahankan sikap acuhnya. Namun Lorenzo tidak lagi memaksa Ella untuk bicara padanya. Seolah menerima dan mengerti hukuman yang diberikan Ella padanya. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada melihat Ella terluka lagi. Meskipun begitu Lorenzo tetap selalu ada di sana, tidak pernah menjauh walau hanya dinggap angin lalu oleh Ella. Setiap malam, ia menemani gadis itu. Mengamati wajah damainya saat sedang tertidur, mencium puncak kepala dengan penuh kelembuatan. Hanya di waktu gadis itu terlelap ia dapat merasa tenang dengan diamnya Ell
Di keadaan berbahaya seperti ini Ella tetap konsisten menolak untuk bicara dengan Lorenzo. Ia masih diam seribu bahasa. Hanya tatapannya yang berbiaca, menunjukkan ketakutan, tapi di saat yang sama ada perlawanan yang membuat kepalanya tetap mendongak menatap pria itu. Lorenzo menyeringai, ia bergerak cepat mengangkat tubuh Ella dengan kasar. Membuat jeritan keluar dari bibir Ella karena pergerakan tiba-tiba itu menciptakan protes kuat dari luka di tubuhnya. Secara refleks Ella mencengkram bahu Lorenzo. Pria itu melangkah cepat membawanya keluar dari ruangan Daren, meninggalkan kursi rodanya. Ia kembali memasuki kamar rawat inap Ella. Dengan kasar meletakkan tubuh Ella di pinggir ranjang. Kemudian mencondongkan tubuhnya. Satu tangannya bertumpu di sisi tubuhnya, sedangkan tangannya yang lain mencengkeram dagu Ella. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Ella disertai tekanan. Ella masih mempertahankan kontak mata dengannya. Pikirannya sudah menduga hal-hal selanjutnya yang akan terja
“Ada Pamela di sana,” bisik Karen sembari matanya mengintip ke dalam kamar Daren melalui kaca kecil di pintu. Ella menggigit bibir bawahnya, ia menatap Karen skeptis. “Dia tidak akan mengizinkanku masuk. Tante Pamela telah melarangku bertemu dengan Daren,” gumamnya getir. “Lebih bak kita kembali saja, Bu,” lanjut Ella pasrah, wajahnya berubah muram. Karen menghela napas, mengerti masalah yang dihadapi putrinya. Ia membungkuk, menghadap Ella yang duduk di kursi roda. Ia menyentuh tangan Ella yang berada di pegangan kuris roda. “Begini saja,” bisik Karena lembut membuat Ella mengernyit penasaran. “Ibu akan bantu mengalihkan perhatian Pamela agar kau bisa masuk, bagaimana?” lanjut Karen disertai senyum bangga atas idenya. Mata Ella melebar, matanya berbinar penuh harap. Wajahnya kini menjadi lebih ceria. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sumringah, senyum pertamanya yang muncul tanpa beban sejak siuman. “Ibu, terima kasih,” bisinya penuh rasa syukur. Tangannya yang lema
Sejak hari itu, Ella mengabaikan kehadiran pria itu, menganggapnya seolah tidak ada, tidak bicara satu kata pun, tidak meliriknya sedikit pun. Seperti pagi ini, Ella membesarkan volume suara televisi ketika Lorenzo memasuki ruangannya. Ia tahu maksud kedatangan pria itu. Lorenzo menentang sebuah paper bag. Ada aroma mas khas yang sangat familier di hidung Ella, aroma kua cokelat yang Ella duga merupakan isi dari paper bag yang dibawa Lorenzo. Pria itu mendekat, menggeser kursi ke sisi ranjangnya. Tatapan Ella terpaku pada televisi. Wajahnya santai, seolah menikmati siaran televisi. Padahal pikirannya sedang waspada terhadap keberadaan Lorenzo. Tindakan pria ini yang terkadang tidak pernah bisa ditebak membuat Ella selalu memasang pertahanannya. “Ella,” panggilnya, suaranya jauh lebih lembut dari kemarin. Tidak lagi tegas seperti biasanya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya. Tentu saja Ella tidak menjawab. Lorenzo menatap gadis itu yang bersikap seolah tidak mendengarnya. Ia meleta
Langit mulai meredup saat Lorenzo kembali ke rumah sakit, tepatnya kini ia berada di taman rumah sakit. Tempat yang cukup segar, tapi cukup sepi untuk membicarakan hal pribadi. Thomas duduk sendirian di kursi kayu, di bawah pohok oak. Membungkuk dan menunduk menatap bir kaleng di tangannya. Ia melirik Lorenzo yang baru saja duduk di sebelahnya dengan santai. Seketika tubuh Thomas terasa menegang dan kewaspadaan dirinya langsung aktif karena aura menyeramkan yang dibawa Lorenzo. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam yang dibalut jaket kulit. Bersih, tidak ada lagi noda darah yang terlihat. Namun, rambutnya masih berantakan menunjukan masih ada kekacauan dalam dirinya. Seperti biasa wajahnya tegas seolah ia tidak punya emosi lain. Tanpa kata, Lorenzo langsung menyodorkan beberapa lembar foto kepada Thomas dari dalam saku jaketnya. Mata Thomas mendelik, melihat foto Victor Harper dalam keadaan mengenaskan. “Mengenalnya?” tanya Lorenzo basa-basi. Wajah Thomas