LOGINHappy Reading
*****
Langkah si gadis terhenti mendengar teriakan pemilik rumah. Aisyah menengok ke arah bundanya Haritz. Ucapan yang terlontar dari sang pemilik rumah membuatnya tersadar. Demi mengejar penjelasan hingga harus melupakan adab bertamu. Terlihat jelas kemarahan di wajah sang pemilik rumah akibat ulah Aisyah.
"Maaf, Bun. Ais, hanya ingin bertemu dan meminta penjelasan Mas Haritz." Kakinya melangkah turun padahal beberapa senti lagi sudah berada di kamar sang kekasih. Namun, demi kesopanan dan adab yang selalu dijunjung tinggi serta diajarkan kedua orang tuanya, Aisyah tidak berani melanjutkan niatnya.
"Duduklah di ruang tamu. Bunda akan memanggil Haritz," perintah sang pemilik rumah tak terbantahkan.
"Terima kasih, Bun," ucap Aisya patuh.
Si gadis duduk dengan gelisah, sesekali dia mengarahkan pandangannya ke kamar Haritz. Tidak biasa lelaki itu susah dibangunkan. Biasanya, Haritz-lah yang sering menjadi alarm bagi Aisyah. Sebelum subuh, lelaki itu selalu menelepon untuk membangunkannya.
Ketukan pintu terus dilakukan Wiwin, bundanya Haritz, dengan menyebut nama putranya. Wiwin mulai ragu, apakah putranya itu ada di dalam kamar. Biasanya, hanya dengan mengetuk pintu sekali saja, putra semata wayangnya itu sudah memberi balasan, tetapi tidak kali ini.
"Le, bangun. Ada Aisyah nyariin. Katanya, ada hal penting yang harus dibicarakan," ucap perempuan paruh baya berdaster di depan pintu kamar Haritz.
Tak sabar menunggu pintu terbuka, Wiwin mencoba membukanya sendiri. Ternyata kamarnya tidak terkunci. Perempuan berdaster itu mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Kosong, kamar itu tidak berpenghuni. Lemah, perempuan paruh baya tersebut turun dan memberi tahu Aisyah.
"Dia nggak ada di kamar. Apa mungkin sudah berangkat ke Surabaya, ya?" asumsi Wiwin. Bola matanya berputar, mencoba mengingat keberadaan putranya. Namun, ketika mengingat jika Haritz sama sekali tidak berpamitan, asumsinya tadi, terbantahkan.
"Masak balik ke Surabaya, Bun? Dia nggak ijin atau ngomong apa pun ke aku kalau mau balik Surabaya."
"Bunda, nggak tahu juga. Apa mungkin dia masih di rumah temannya, ya? Kemarin, dia pamit akan ke rumah temannya sebentar." Wiwin mulai resah.
"Ke rumah teman? Bukankah seharian kemarin aku dan Mas Haritz pergi ke Kantor Urusan Agama karena ada pengarahan. Setelahnya, dia mengatakan akan mengantar Bunda mengecek persiapan gedung untuk resepsi pernikahan kami, tetapi kenapa Bunda berkata lain. Siapa yang sebenarnya berbohong?" kata Aisyah dalam hati.
"Bunda, yakin, kemarin Mas Haritz mengatakan akan ke rumah temen?"
"Yakin, Ais. Sejak pagi, dia sudah nggak ada di rumah. Katanya, mau bantuin teman," jelas Wiwin membuat Aisyah mengerutkan kening.
"Ya, sudah, Bun. Boleh, Ais, pinjam teleponnya?"
"Pake saja. Bunda mau masak dulu." Wiwin meninggalkan calon menantunya. Tidak mau mendapat pertanyaan yang mungkin akan menyulitkannya.
Aisyah melihat gelagat aneh dari bundanya Haritz. Tatapan matanya kosong seolah ada beban yang menyelimuti hati perempuan paruh baya tersebut. Mana mungkin Wiwin tidak mengetahui jika kemarin Haritz dan Aisyah pergi bersama padahal semua aktivitas keduanya sudah diketahui para orang tuan. Namun, Aisyah berusaha menepis pikiran negatif itu, dia segera menekan nomor lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihnya.
Pemberitahuan bahwa ponsel sedang tidak aktif dari operator membuat Aisyah semakin geram. Mengapa lelaki yang menjadi panutannya itu kini bersikap pengecut. Hanya, berani memutus hubungan melalui telepon saja tanpa mau menemuinya.
"Bunda, Ais, pulang," katanya dengan nada marah. Tidak perlu menunggu jawaban sang empunya rumah, Aisyah sudah ke luar meninggalkan kediaman Haritz.
Aisyah memacu motornya kembali menuju rumah. Tubuhnya terasa begitu lelah menghadapi permasalahannya dengan sang kekasih. Padahal, nyata-nyata keduanya sudah akan menikah. Gedung dan undangan sudah siap. Perhelatan sakral itu akan segera dilangsungkan. Namun, semalam semuanya berubah.
Sengaja, Aisyah mengubah arah tujuannya. Niat semula ingin segera pulang urung. Gadis itu mencoba menenangkan hatinya sejenak di alun-alun kota. Menyiapkan kata serta jawaban atas pertanyaan yang akan dia terima dari orang tuanya nanti. Pasti, Burhan dan Endang menuntut penjelasan atas kejadian yang menimpanya saat ini.
Kilatan mentari mengenai tetesan embun pada rerumputan bak kilauan permata. Menyejukkan hati setiap pemandangnya. Menguapkan masalah yang kini menghampiri Aisyah. Menyisakan rasa syukur meski hatinya hancur.
"Ya Allah, aku nggak mengeluh. Tapi, tolong tunjukkan jalan keluar dari semua permasalahan ini," doa Aisyah. Si gadis berusaha menghirup udara sebanyak yang dia bisa sebelum akhirnya menghempaskannya.
Adakah yang lebih sakit dari ditinggal seseorang yang begitu dicintai tanpa penjelasan? Aisyah mengalaminya. Meskipun setiap insan pasti mengalami episode patah pada masing-masing hati. Namun, gadis itu terjatuh dan tertatih menghadapinya. Andai, semua dapat diprediksi sebelumnya tentu Aisyah akan menyiapkan diri jika waktu itu tiba.
Sayangnya, Aisyah tak pernah tahu kapan badai sakit tak berdarah itu datang. Keadaan putri semata wayang Burhan tersebut ternyata semu, kebahagian yang dirasakannya selama ini, hanyalah fatamorgana. Semakin dia dekati, kilatan kebahagiaan itu semakin menjauh bahkan hilang dengan sendirinya.
Ketika sang gadis mengamati sekelilingnya, Aisyah menatap sepasang suami-istri di depannya. Pasangan tersebut tampak mesra, tangan mereka selalu bergandengan. Si lelaki mengelus lembut perut sang istri yang membuncit, tatapan matanya penuh cinta. Interaksi pasangan tersebut mengingatkan Aisyah tentang impiannya dengan Haritz.
"Ai, jika nanti kamu sudah halal menjadi milikku. Aku mau punya anak sepuluh," ucap Haritz saat itu.
"Itu anak semua, Mas?" tanya Aisyah dengan kening berkerut dan alis yang hampir menyatu.
"Iyalah, Ai. Masak campur anak ayam. Kamu nanyanya aneh-aneh saja."
"Mas, mana kuat aku." Aisyah mengerucutkasn bibir. "Mas, nggak kasihan sama aku?"
"Kenapa mesti kasihan, Ai? Aku akan bantu ngurus mereka, tenang saja," ucap Haritzz enteng. "Kita berdua itu nggak punya saudara. Aku nggak mau anak kita mengalami nasib sama kayak orang tuanya. Kesepian, mau curhat saja bingung sama siapa. Pengen main, tapi nggak punya saudara."
"Ya, tapi nggak sepuluh juga, Mas. Capek ngelahirin akunya."
"Terus, kamu mau berapa?"
"Tiga saja, cukup. Ganjil itu lebih baik, 'kan?"
"Dikit banget, Ai." Haritz memajukan bibirnya. Merajuk seperti anak kecil ketika Aisyah tidak mau mengabulkan permintaannya.
"Mungkinkah, kini semua itu bisa terwujud?" tanya hati Aisyah. Pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh lelaki bernana Haritz.
Aisyah menghentikan lamunannya ketika panas matahari semakin terasa mengenai pergelangan tangan. Dia berdiri dari duduknya, melangkahkan kaki menaiki motor. Kuat, dia harus kuat mengahadapi hidup selanjutnya. Baru saja akan melajukan motor, dering ponselnya terdengar.
Aisyah merogoh saku kulotnya. Ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab dari Burhan.
"Ada apa Bapak terus menelponku?"
Suara azan fajar membangunkan Zaki. Dia melihat jam dinding yang terletak tepat di hadapannya. Sekali lagi dia ingin mencoba meraih puncak nirwana bersama Aisyah.Dia memulai lagi perjalanannya, kali ini persiapannya sudah matang. Dia sudah mengenali medan perjalannya, jadi lebih mudah menggapai bintang terbaik itu. Lenguhan panjang dari Aisyah menandakan bahwa dia pun merasakan hal terindah itu."Mas, sudah cukup, ya!" katanya saat Zaki kembali mengajaknya meraih kebahagiaan itu."Sekali lagi, Sayang. Masih ada waktu sebentar sebelum azan subuh berkumandang.""Mas, Ais capek. Besok lagi, ya?""Hhm, baiklah. Bagaimana kalau sekarang kita mandi bareng saja?"Aisyah sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab pertanyaan Zaki. Dia hanya bisa pasrah ketika Zaki membawanya ke kamar mandi. Bukan hanya kegiatan mandi yang akhirnya dilakukan keduanya, tetapi hal-hal untuk meraih bintang kembali.Suara teriakan dari luar kamar menghentikan kegiatan mereka di kamar mandi. Burhan sudah terla
Rasanya langit tidak perlu mengukur seberapa luas dirinya, demikian juga samudera. Dia tidak akan meminta mengukur berapa kedalaman yang dia miliki. Cinta yang berjalan atas koridor yang telah di tetapkan syariat tentunya akan sangat indah.Berkali-kali Aisyah menanyakan pada suaminya, apa alasannya bisa mencintai dirinya sebegitu besar. Hingga tidak ada ruang lagi untuk perempuan lain. Nyatanya, Zaki tidak pernah memiliki alasan mengapa dia bisa mencintai Aisyah. Dia hanya tahu bahwa hati dan jiwanya selalu nyaman ketika bersama Aisyah."Sayang, apa perlu kamu menanyakan hal itu terus?" Sampai kapan pun Zaki tidak akan pernah memiliki alasan mengapa dia mencintai Aisyah."Ais cuma pengen tahu, Mas. Masalahnya dulu waktu kecil itu, Mas, nyebelin. Suka bikin nangis, gak ada tuh tanda-tanda kalau, Mas, sayang sama Ais." Dia meletakkan kepalanya di dada Zaki ketika mereka berbincang-bincang di malam hari setelah acara resepsi tadi."Sayang, kita salat, yuk! Setelah itu ...?""Ayok! Kok,
Dua orang yang saling mengenal itu keluar dari hotel dengan ekspresi wajah masing-masing. Riana dengan wajah bahagianya karena berhasil menjebak calon suami sahabatnya. Haritz dengan wajah penuh penyesalan karena telah menghianati Aisyah.Haritz memanggil sebuah taksi yang berada di depan hotel. Dia meminta Riana untuk pulang dengan taksi itu. Namun, Riana masih berulah lagi. Dia minta ditemani Haritz sampai rumahnya. Sebagai bentuk pertanggung jawabannya Haritz menerima ajakan Riana."Ri, aku pasti tanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan, tapi berjanjilah kamu tidak akan menghubungi Aisyah dan menceritakannya." Riana mengangguk, dia menyandarkan kepalanya di dada Haritz dengan manja."Mas, aku punya permintaan sama kamu.""Katakan apa yang kamu mau?""Aku akan tutup mulut. Asalkan, Mas Haritz berjanji tidak akan menikahi Aisyah. Setidaknya, sampai aku mengetahui benih yang kamu tanam padaku ini tidak berbuah. Bagaimana?""Lalu, alasan apa yang harus aku katakan pada keluargany
Happy Reading*****Riana tersenyum penuh arti. Sedikit menggeser posisi duduknya, lebih merapat ke tubuh calon suami Aisyah. "Nggak akan pernah ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar setia. Pun termasuk Aisyah. Jadi, lupakan dia sejenak, mari bersenang-senang denganku," bisiknya. Haritz merasakan elusan tangan Riana di paha yang membuatnya sedikit menahan rasa geli di sekitar selakangan. Bukannya lelaki itu tidak mau melakukan seperti teman-temannya, tetapi Haritz masih menjaga amanah Aisyah. Sebentar lagi, dia sudah menikah. Apa jadinya, jika sang kekasih sampai tahu yang dilakukan saat ini.Godaan dari Riana semakin menjadi, perempuan itu sudah melangkah terlalu jauh. Tangannya telah menyentuh apa yang seharusnya tidak boleh disentuh karena berakibat fatal. Namun, Riana terus membangkitkan apa yang telah Haritz tahan sejak tadi.Saat hasrat Haritz telah mencapai puncaknya, dia melupakan siapa perempuan yang kini sedang berada di sampingnya. Dengan kasar Haritz meraup bibi
Happy Reading*****Dentum suara musik memekakkan telinga siapa pun yang tidak terbiasa masuk ke tempat seperti ini. Goyangan kepala serta badan meliuk mengikuti irama musik yang menghentak. Hilang sudah akal warasnya. Demi memenuhi permintaan para sahabatnya untuk mengadakan acara Bachelor party. Haritz rela masuk ke sebuah club malam di kota ini.Sebulan lagi, acara pernikahannya sudah akan dilangsungkan. Sebelum cuti nikahnya dimulai, rekan-rekan kerjanya meminta diadakan pesta lajang. Ketika nanti, dia sudah kembali ke kota kelahirannya tidak akan bisa mengadakan acara yang seperti mereka inginkan saat ini.Gelas demi gelas minuman berwarna merah menyala itu masuk pada kerongkongannya. Sekalipun, dulu sewaktu masa putih abu-abu dia pernah meminum minuman yang serupa, tetapi nyatanya rasa yang dimiliki masing-masing minuman memabukkan itu berbeda. Kadar alkoholnya pun lebih tinggi yang berwarna merah, meskipun masih ada yang lebih tinggi lagi kadarnya.Tegukan pertama membuatnya me
Happy Reading*****"Mas, kenapa berkata kasar seperti itu?" Aisyah hampir saja menangis mendengar kata-kata keras sang suami.Endang mendekati putrinya. Mengelus lengannya. "Dengarkan penjelasan masmu dulu. Dia mengatakannya dengan keras pasti memiliki alasan. Mas Zaki adalah orang yang paling menyayangimu setelah Bapak dan Ibu, jadi dia akan selalu melindungimu, nggak akan membiarkan siapa pun nyakitin kamu," bisiknya pada sang putri."Maaf, Sayang," ucap Zaki. "Mas nggak maksud berkata kasar. Tapi, dialah yang sudah merencanakan semua kesakitanmu dari awal. Benda di foto waktu itu adalah buktinya. Tante Rum yang menemukannya di bawah pohon rambutan depan rumah. Mas sengaja nggak menceritakan semua ini sebelumnya karena nggak mau kamu kepikiran." "Ais, dia nggak pernah tulus menjadi sahabatmu. Bahkan aku, hanya berpura-pura mau bertunangan dengannya. Jika aku menolaknya, dia akan memisahkan kembali orang yang kamu cintai sekarang. Riani nggak pernah bisa melihat kebahagiaanmu." L







