Happy Reading
***
"Ada apa Bapak terus menelponku?" tanya Aisyah.
"Pulang, Ais. Kamu ada di mana?" tanya sang penelpon yang tak lain adalah Burhan.
"Bentar, Pak."
"Bapak tunggu di rumah secepatnya," perintah sang kepala rumah tangga.
"Iya ... iya. Ais segera pulang, Pak."
"Ya, sudah. Bapak tunggu secepatnya." Panggilan mereka terputus setelah Burhan mengucap salam.
Mengembuskan napas panjang, Aisyah segera bergegas mengendari motornya kembali. Sebenarnya, hatinya belum rela pulang. Dia sangat takut jika keadaan kacaunya hari ini, membuat orang tuanya khawatir.
Beberapa puluh menit berlalu, Aisyah sudah sampai di halaman rumah. Ada mobil yang sangat dia kenal terparkir rapi.
Langkahnya gontai memasuki rumah, senyum tak biasa menghias wajah. Rasanya, dia belum sanggup jika benar pemilik mobil tersebut adalah orang yang dicari tadi.
Pintu rumah yang terbuka dan suara perdebatan di ruang tamu membuat Aisyah membelalakkan mata. Si gadis hafal dengan suara orang di dalam itu. Gegas Aisyah memastikan dugaannya. Jantungnya kian berdetak kencang, kakinya bergetar hebat tatkala mendengar perdebatan tersebut.
"Lelaki itu yang dipegang omongan dan janjinya, Mas. Jangan macam-macam!" bentak Burhan.
Nada tinggi lelaki paruh baya tersebut melengking di telinga. Aisyah mulai mendekat ke arah Burhan yang mukanya tampak memerah karena marah. Di samping sang kepala keluarga, ada Endang. Perempuan paruh baya itu tampak mengusap lembut lengan Burhan. Mungkin, untuk meredakan emosi yang mulai menguasai suaminya.
"Tapi, kenyataannya saya harus mengakhiri semua ini, Pak," sahut lelaki yang kemarin masih bersikap sangat mesra pada Aisyah.
"Mas!" panggil si gadis berjilbab dengan kulit kuning Langsat, tepat di sebelah Burhan dan Endang. "Apa kamu belum merasa puas dengan kejutan yang kamu berikan semalam? Mengapa kini harus berdebat dan menyakiti Bapak juga?"
Suara Aisyah bergetar menahan isak. Matanya memerah dan digenangi kabut tebal yang siap turun kapan saja.
"Aku harus bagaimana lagi? Semua itu kenyataan. Aku nggak bisa meneruskan rencana pernikahan kita," jelas Haritz dengan suara berapi-api. Sama sekali tak tersentuh dengan kesedihan gadis yang selama ini sudah menjalin hubungan dengannya.
"Mas, tega kamu," cicit Aisyah.
Burhan menatap sang putri, hatinya teriris melihat kesedihan yang jelas terlihat di mata Aisyah. Tidak ada orang tua yang mampu menahan tangis melihat kesedihan sang buah hati, tetapi Burhan harus menahan air mata itu agar tidak menambah beban kesedihan Aisyah.
"Apa alasanmu memutus hubungan ini secara sepihak? Dulu, bukannya Mas sendiri yang mati-matian memaksa agar kita segera menikah. Aku nggak percaya dengan alasanmu semalam, Mas. Pasti ada alasan lain. Apa kamu tergoda orang lain?" tanya si gadis berjilbab. Riak muka Haritz benar-benar memuakkan.
Lelaki itu terdiam, menatap perempuan yang selama ini sudah menjalin hubungan dengannya. Kata-kata yang terlontar tadi memang benar. Haritz yang selalu memaksa Aisyah untuk segera menyetujui rencana pernikahan mereka.
"Mas, jawab!" bentak Aisyah. Si gadis mulai tak sabar mendengar alasan itu keluar dari mulut Haritz secara langsung.
Haritz memandang wajah orang-orang di depannya satu per satu. Burhan menajamkan pandangannya pada sang calon menantu yang kini telah membelot dan menolak putrinya. Andai tidak ingat hukum yang berlaku di negara ini, mungkin Burhan sudah memukul pemuda di dapannya sampai babak belur. Sungguh kurang ajar, berani menaykiti putrinya.
"Aku sudah memberi penjelasan semalam. Apa masih belum cukup? Jangan paksa aku mengatakan di hadapan kedua orang tuamu," tatapan Haritz nyalang. Tidak mau terintimidasi oleh keluarga Aisyah.
"Benar begitu, Ais?" tanya Burhan, "Apa dia sudah menjelaskan kenapa pernikahan kalian dibatalkan?"
"I-ya, Pak." Wajah Aisyah tertunduk. "Mas Haritz memang sudah menjelaskan alasannya, tapi bagiku sangat nggak masuk akal sama sekali."
"Sekarang, katakan. Bapak juga ingin mendengarnya secara langsung darimu. Apa alasanmu membatalkan semua rancana itu?" Kesabaran Burhan mulai hilang. Haritz dinilai tidak konsisten dan bertanggung jawab sebagai laki-laki.
Sekali lagi, Haritz menatap semua orang yang ada di ruang tamu tersebut. "Saya nggak mencintai Aisyah," ucapnya gugup dan terbata.
"Hah?! Apa yang kamu katakan tadi?" tanya Endang dengan mata melotot. Sementara Burhan, dia membulatkan mata secara sempurna, mendengar kata-kata Haritz.
"Saya nggak mencintai Aisyah," ucap Haritz sekali lagi, menegaskan ucapan sebelumnya.
Endang terdiam karena melihat kesedihan putrinya yang terlihat jelas. Tetapi hatinya memberontak kuat untuk memberi pelajaran pada lelaki di depannya itu. Tanpa kata, perempuan paruh baya tersebut mendekati Haritz dan melayangkan tamparan ke pipi.
Plak ... plak ...
Bunyinya begitu keras hingga membuat Aisyah melotot, Burhan juga sangat terkejut dengan tindakan sang istri.
"Bu, sudah. Kita bisa kena pasal penganiayaan jika memukulnya," bisik Burhan yang gegas mencegah tindakan Endang selanjutnya.
"Manusia macam apa kamu? Jika, kamu nggak pernah mencintai Aisyah, lalu untuk apa kamu melamarmya?" teriak Endang, begitu tak terima dengan perkataan Haritz tadi.
"Bu, sudah!" teriak Aisyah, histeris.
Happy Reading*****Burhan memutar bola matanya. Niat semula ingin menggoda putri semata wayangnya dengan mengajukan syarat bahwa Aisyah harus menikah jika ingin mencari kerja ke Surabaya lagi. Namun, ketika mengingat jika semua itu tidak mungkin, sang kepala keluarga pun urung mengatakannya. "Pak, apa syarat yang harus Ais lakukan untuk bisa kembali kerja ke Surabaya lagi?" rengek Aisyah. "Lupakan saja, anggap Bapak nggak pernah ngomong seperti tadi. Pokoknya, kamu harus berusaha mendapatkan pekerjaan di sini dulu," kata Burhan setengah memaksa dan berharap putrinya berubah pikiran."Bapak, ih," ucap Aisyah manja dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Burhan. "Kamu itu putri Bapak satu-satunya. Jadi, Bapak ingin selalu melihatmu di rumah setiap kali Bapak pulang, sebelum kamu menjadi seorang istri nantinya." Lelaki paruh baya itu merengkuh Aisyah dalam pelukan. Mencium puncak kepala putrinya berkali-kali. *****Kemilau kekuningan dari sinar mentari mengenai wajah Aisyah
Happy Reading*****Kedua tangan Zaki terangkat, lalu lelaki itu menggoyang ke kanan dan kiri. "Bukan begitu maksudnya, Ais.""Lalu, apa yang Mas maksud? Bukankah kalimatmu tadi dengan jelas mengatakan jika aku lebih baik memperbaiki sikap dengan orang lama. Siapa lagi orang lama yang dekatku jika bukan dia yang sudah membatalkan pernikahan ini," kata Aisyah masih dengan nada jengkel.Zaki menggaruk kepalanya yang tak gatal. Menatap Bibi dan juga omnya. Sementara sang penghulu menatapnya aneh. Kebingungan harus menjawab apa atas perkataan Aisyah tadi, lelaki itu memilih untuk menghindar saja."Om, aku pamit dulu. Ada hal yang masih harus aku kerjakan," kata lelaki yang sejak kecil selalu membuat aisyah menangis. Zaki pamit pada Burhan, langsung berdiri, melangkahkan kakinya."Buru-buru sekali, Mas. Kita belum ngobrol, lho," timpal Burhan, "Masak cuma gara-gara omongan tadi Mas Zaki tersinggung. Kamu kan tahu gimana Ais, dari dulu pasti meminta penjelasan sejelas-jelasnya atas perkata
Happy Reading*****Burhan menatap keponakannya dengan senyuman. "Panjang ceritanya, Mas," jelasnya pada Zaki."Bukannya mereka sudah pacaran lama dan saling mencintai?" tambah Zaki masih dengan rasa penasaran yang begitu kuat.Burhan mengembuskan napas panjang. Berat rasanya mengungkap hal yang menjadi aib keluarga. Apalagi saat ini keadaan Aisyah masih tidak baik-baik saja."Pak, saya tidak akan memaksa njenengan jika memang tidak bisa menceritakan alasannya," kata sang penghulu."Pihak laki-laki membatalkan rencana pernikahan ini, Pak." Burhan akhirnya mengeluarkan apa yang mengganjal di hati. Raut kesedihan kentara sekali di wajahnya."Kok, bisa?" tanya Zaki dan sang penghulu bersamaan."Bukankah pernikahan ini atas keinginan mereka berdua, Pak?" tambah Rosyid.Burhan kembali mengembuskan napas panjang. "Takdir, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan," jawabnya bijak.Diam-diam, Zaki mengepalkan tangannya. Rasanya, dia ingin sekali memukul lelaki yang telah memperm
Happy Reading*****Beberapa hari berlalu sejak kejadian pembatalan pernikahan oleh Haritz. Putri semata wayang Burhan tersebut terus mengurung diri di kamar. Walau kedua orang tuanya sudah membujuk bahkan berusaha mengajak keluar. Namun, kenyataannya luka karena patah itu sangat dalam.Hari ini, dia berniat menghirup udara segar. Jadi, dia beranjak dari pembaringan. Aisyah mengamati pantulan wajahnya di cermin. Kulit itu tak sebersih biasanya, pori-pori tampak membesar, noda jerawat tampak jelas, melingkar hitam. Dua hari saja semua telah berubah. Koleksi make up milik Aisyah sama sekali tak tersentuh olehnya beberapa hari ini.Semua aktifitas berhenti, hanya untuk memikirkan, mengapa dan mengapa cinta itu bisa dengan mudahnya lenyap. Apa karena wajahnya seperti ini hingga Haritz mengatakan bahwa cintanya sudah habis."Tapi, aku dulu sangat menjaga kulit wajahku. Nggak mungkin, Hany karena wajahku kusam, Mas Haritz tega mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan," gumam Aisyah sambi
Happy Reading*****Mendung bergelayut manja di langit siang hari ini. Memberikan kesyahduan pada setiap insan yang berada di bumi. Menutupi panasnya mentari serta panas perasaan dicampakkan oleh seseorang yang sangat dicintai."Pak, kenapa Ais belum bangun juga? Padahal, sekarang sudah hampir Ashar," ucap Endang disertai usapan di kepala putri semata wayangnya."Sabar, Bu. Kita tunggu sampai Ashar. Jika dia belum bangun juga, kita terpaksa harus membawanya ke rumah sakit." Sejak tadi, Burhan juga cemas dengan keadaan putrinya. Namun, dia berusaha tetap tenang dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.Perlahan bola mata Aisyah bergerak-gerak, jemarinya juga mulai merespon sentuhan dari Endang. Kemudian, gadis berkulit kuning langsat itu membuka mata dengan sempurna. memandang kedua orang tuanya bergantian. Kesedihan di mata keduanya terlihat dengan jelas."Pak, Bu, maaf," ucap si gadis setelah berhasil duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Aisyah menamp
Happy Reading*****"Bu, sudah!" teriak Aisyah histeris.Tubuh gadis dengan berat sekitar 42 kg itu ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu?"Ais," panggil Endang. Dia dengan cepat memegang kepala putri agar tidak sampai membentur lantai yang keras hingga menyebabkan cedera. "Pak ini gimana?"Burhan menoleh pada istrinya. Cepat, dia memindahkan Aisyah ke sofa panjang di ruangan tersebut. Setelahnya, dia menatap nyalang pada lelaki yang sudah sangat mengecewakan sang buah hati. "Kamu memang lelaki munafik. Jadi, selama bertahun-tahun kamu sengaja memberi harapan palsu pada putriku. Sekarang dengan entengnya kamu mengatakan nggak cinta pada Aisyah," kata Burhan.Sebuah pukulan kembali melayang di wajah Haritz. Bukan lagi tamparan ringan seperti yang dilakukan Endang, tetapi Burhan mengerahkan semua energin