Pernikahan Aisyah yang sudah di depan mata harus dibatalkan karena alasan yang tidak masuk akal oleh kekasihnya. Bagaimana kelanjutan hidup Aisyah setelah batalnya rencana tersebut? Akankah di menerima pinangan sepupunya yang selalu mengejek bahkan membuatnya menangis di waktu kecil?
Lihat lebih banyakHappy reading
***
Keheningan malam meliuk menarikan suara hati. Kilatan cahaya mengiris perih luka yang baru tergores. Petir yang menyambar menghancurkan kepingan hati yang dimiliki, berserakan tak berbentuk layaknya pasir gurun tertiup angin, tak mungkin lagi disatukan menjadi sebongkah rasa yang utuh.
Kakinya meluruh ke lantai diikuti benda pipih berwarna silver yang terlempar dari tangan. tubuhnya serasa tak bertulang saat ini. Suara gaduh akibat ulahnya, mengusik ketenangan malam. Musnah sudah harapan, patah sudah hatinya. Bagaimana bisa hati yang telah dijaga selama tujuh tahun, tega menghancurkan segala yang telah di bangun dengan sekejap mata. Hanya sekejap, satu kedipan mata, semua selesai.
"Ais, suara apa itu?" teriak seseorang dari ambang pintu kamar gadis yang dipanggil namanya.
Sorot mata tajam mengintimidasi apa yang dilakukan si gadis. Sementara itu, sang putri masih asyik dengan nyayian patah hatinya. Tak terhitung jumlah air mata yang telah mengalir di pipi gadis bertubuh mungil dengan tinggi 150 cm tidak menjawab lelaki paruh baya yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ais, kamu dengar apa yang Bapak katakan, kan?" Lelaki paruh baya itu berjalan mendekati putri semata wayangnya.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya si lelaki. Menguncang pelan kedua bahu putrinya. Lelaki paruh baya itu mulai panik melihat kekacauan di kamar tersebut dan juga tangisan si anak gadis.
Suara tangisan gadis dengan tinggi 150 cm itu, makin mengeras. Tak peduli tanggapan orang di dekat yang disayanginya. Sakit ... sakit, hanya itu yang terus dia rasakan.
"Kenapa ... kenapa harus seperti ini? Apa kesalahanku?" ucap si gadis lirih. Setelahnya, semua menggelap dalam pandangan mata dan akhirnya gadis tak mengingat apa pun.
"Bu ... Ibu ...," teriak sang kepala rumah tangga. Sekuat tenaga, lelaki paruh itu memanggil istrinya. Panik karena tidak tahu haruis berbuat apa. Satu-satunya sang permata hati sedang tidak baik-baik saja.
Dari kamar utama rumah tersebut yang berada di lantai bawah, tergopoh seorang perempuan paruh baya yang dipanggil, membuka pintu kamar. Jelas, suara teriakan tadi, berasal dari kamar putri semata wayangnya yang berada di lantai dua.
"Bu ... Bu, cepat ke sini," teriak sang suami sekali lagi. Suaranya begitu keras dan bergetar. Sang nyonya rumah yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan putrinya.
"Iya, Pak. Ibu menuju ke sana," sahut sang nyonya rumah.
"Ada apa, Pak?" tanya perempuan paruh baya, sang nyonya rumah. Dia terus bergerak ke kamar sang putri hingga netranya melihat sendiri bagaimana keadaan si buah hati.
"Pak, Ais, kenapa?" teriak sang nyonya rumah ketika melihat putri semata wayangnya terkulai di pelukan sang suami. Indera si uah hati terpejam dengan tubuh yang begitu lemah.
"Bapak, enggak tahu kenapa, Bu. Cepat telpon dokter. Dia pingsan setelah menangis tadi." Kepanikan itu masih jelas tergampar di wajah si lelaki yang mulai tampak banyak kerutan.
Sang nyonya rumah mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Semua berserakan.
"Astagfirullah." Hanya itu, yang mampu perempuan paruh baya tersebut lafalkan ketika mengetahui keadaan putrinya. "Ibu akan telpon dokter sekarang juga."
"Bu, cepatlah," titah sang kepala keluarga. Memindahkan tubuh sang putri ke pembaringan.
"Iya, Pak. Ibu akan telpon dokter sekarang juga."
Kepanikan, membuat sang nyonya rumah tak mampu berpikir jernih hingga harus turun untuk menelepon dokter. Padahal, di dalam kamar Aisyah pun ada telepon yang bisa digunakan.
"Duh, kenapa belum diangkat juga, sih. Kasihan Ais," gumam sang nyonya rumah. Beberapa kali, perempuan paruh baya itu menekan nomor sang dokter untuk memastikan.
Beberapa menit menunggu, panggilannya tak juga terangkat. Si ibu mulai resah. Kembali, dia bergegas ke kamar sang putri dengan membawa kotak obat. Keringat mulai membasahi wajah yang mulai dipenuhi keriput.
"Pak, teleponnya belum diangkat sama dokter. Ini, Ibu, bawakan kotak obat. Kita kasih minyak kayu putih saja untuk menyadarkan Aisyah." Perempuan paruh baya itu menyodorkan kotak berwarna putih ke hadapan sang suami.
"Apa sebaiknya kita bawa ke klinik saja?" Suara lelaki yang masih mendekap putrinya itu terdengar bergetar, ketakutan.
Happy Reading*****Burhan memutar bola matanya. Niat semula ingin menggoda putri semata wayangnya dengan mengajukan syarat bahwa Aisyah harus menikah jika ingin mencari kerja ke Surabaya lagi. Namun, ketika mengingat jika semua itu tidak mungkin, sang kepala keluarga pun urung mengatakannya. "Pak, apa syarat yang harus Ais lakukan untuk bisa kembali kerja ke Surabaya lagi?" rengek Aisyah. "Lupakan saja, anggap Bapak nggak pernah ngomong seperti tadi. Pokoknya, kamu harus berusaha mendapatkan pekerjaan di sini dulu," kata Burhan setengah memaksa dan berharap putrinya berubah pikiran."Bapak, ih," ucap Aisyah manja dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Burhan. "Kamu itu putri Bapak satu-satunya. Jadi, Bapak ingin selalu melihatmu di rumah setiap kali Bapak pulang, sebelum kamu menjadi seorang istri nantinya." Lelaki paruh baya itu merengkuh Aisyah dalam pelukan. Mencium puncak kepala putrinya berkali-kali. *****Kemilau kekuningan dari sinar mentari mengenai wajah Aisyah
Happy Reading*****Kedua tangan Zaki terangkat, lalu lelaki itu menggoyang ke kanan dan kiri. "Bukan begitu maksudnya, Ais.""Lalu, apa yang Mas maksud? Bukankah kalimatmu tadi dengan jelas mengatakan jika aku lebih baik memperbaiki sikap dengan orang lama. Siapa lagi orang lama yang dekatku jika bukan dia yang sudah membatalkan pernikahan ini," kata Aisyah masih dengan nada jengkel.Zaki menggaruk kepalanya yang tak gatal. Menatap Bibi dan juga omnya. Sementara sang penghulu menatapnya aneh. Kebingungan harus menjawab apa atas perkataan Aisyah tadi, lelaki itu memilih untuk menghindar saja."Om, aku pamit dulu. Ada hal yang masih harus aku kerjakan," kata lelaki yang sejak kecil selalu membuat aisyah menangis. Zaki pamit pada Burhan, langsung berdiri, melangkahkan kakinya."Buru-buru sekali, Mas. Kita belum ngobrol, lho," timpal Burhan, "Masak cuma gara-gara omongan tadi Mas Zaki tersinggung. Kamu kan tahu gimana Ais, dari dulu pasti meminta penjelasan sejelas-jelasnya atas perkata
Happy Reading*****Burhan menatap keponakannya dengan senyuman. "Panjang ceritanya, Mas," jelasnya pada Zaki."Bukannya mereka sudah pacaran lama dan saling mencintai?" tambah Zaki masih dengan rasa penasaran yang begitu kuat.Burhan mengembuskan napas panjang. Berat rasanya mengungkap hal yang menjadi aib keluarga. Apalagi saat ini keadaan Aisyah masih tidak baik-baik saja."Pak, saya tidak akan memaksa njenengan jika memang tidak bisa menceritakan alasannya," kata sang penghulu."Pihak laki-laki membatalkan rencana pernikahan ini, Pak." Burhan akhirnya mengeluarkan apa yang mengganjal di hati. Raut kesedihan kentara sekali di wajahnya."Kok, bisa?" tanya Zaki dan sang penghulu bersamaan."Bukankah pernikahan ini atas keinginan mereka berdua, Pak?" tambah Rosyid.Burhan kembali mengembuskan napas panjang. "Takdir, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan," jawabnya bijak.Diam-diam, Zaki mengepalkan tangannya. Rasanya, dia ingin sekali memukul lelaki yang telah memperm
Happy Reading*****Beberapa hari berlalu sejak kejadian pembatalan pernikahan oleh Haritz. Putri semata wayang Burhan tersebut terus mengurung diri di kamar. Walau kedua orang tuanya sudah membujuk bahkan berusaha mengajak keluar. Namun, kenyataannya luka karena patah itu sangat dalam.Hari ini, dia berniat menghirup udara segar. Jadi, dia beranjak dari pembaringan. Aisyah mengamati pantulan wajahnya di cermin. Kulit itu tak sebersih biasanya, pori-pori tampak membesar, noda jerawat tampak jelas, melingkar hitam. Dua hari saja semua telah berubah. Koleksi make up milik Aisyah sama sekali tak tersentuh olehnya beberapa hari ini.Semua aktifitas berhenti, hanya untuk memikirkan, mengapa dan mengapa cinta itu bisa dengan mudahnya lenyap. Apa karena wajahnya seperti ini hingga Haritz mengatakan bahwa cintanya sudah habis."Tapi, aku dulu sangat menjaga kulit wajahku. Nggak mungkin, Hany karena wajahku kusam, Mas Haritz tega mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan," gumam Aisyah sambi
Happy Reading*****Mendung bergelayut manja di langit siang hari ini. Memberikan kesyahduan pada setiap insan yang berada di bumi. Menutupi panasnya mentari serta panas perasaan dicampakkan oleh seseorang yang sangat dicintai."Pak, kenapa Ais belum bangun juga? Padahal, sekarang sudah hampir Ashar," ucap Endang disertai usapan di kepala putri semata wayangnya."Sabar, Bu. Kita tunggu sampai Ashar. Jika dia belum bangun juga, kita terpaksa harus membawanya ke rumah sakit." Sejak tadi, Burhan juga cemas dengan keadaan putrinya. Namun, dia berusaha tetap tenang dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.Perlahan bola mata Aisyah bergerak-gerak, jemarinya juga mulai merespon sentuhan dari Endang. Kemudian, gadis berkulit kuning langsat itu membuka mata dengan sempurna. memandang kedua orang tuanya bergantian. Kesedihan di mata keduanya terlihat dengan jelas."Pak, Bu, maaf," ucap si gadis setelah berhasil duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Aisyah menamp
Happy Reading*****"Bu, sudah!" teriak Aisyah histeris.Tubuh gadis dengan berat sekitar 42 kg itu ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu?"Ais," panggil Endang. Dia dengan cepat memegang kepala putri agar tidak sampai membentur lantai yang keras hingga menyebabkan cedera. "Pak ini gimana?"Burhan menoleh pada istrinya. Cepat, dia memindahkan Aisyah ke sofa panjang di ruangan tersebut. Setelahnya, dia menatap nyalang pada lelaki yang sudah sangat mengecewakan sang buah hati. "Kamu memang lelaki munafik. Jadi, selama bertahun-tahun kamu sengaja memberi harapan palsu pada putriku. Sekarang dengan entengnya kamu mengatakan nggak cinta pada Aisyah," kata Burhan.Sebuah pukulan kembali melayang di wajah Haritz. Bukan lagi tamparan ringan seperti yang dilakukan Endang, tetapi Burhan mengerahkan semua energin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen