LOGINHappy Reading
*****
Aisyah memeluk Burhan. Suara petir tersebut benar-benar membuatnya takut ditambah pertanyaan yang belum bisa dia katakan pada sang bapak. Rasa sesak dan berbagai macam rasa masih memenuhi hatinya. Dia sendiri belum tahu apa alasan kekasihnya berbuat demikian.
Pria paruh baya itu merenggangkan pelukan putrinya. Menangkup wajah Aisyah dengan kedua tangannya. Sungguh, kesedihan putrinya membuat kekuatannya runtuh. Andai dia bukan kepala keluarga, mungkin Burhan sudah menumpahkan air matanya saat itu juga.
"Kalau kamu masih belum bisa menceritakan apa yang terjadi, enggak apa-apa. Tapi, ingat baik-baik, Bapak akan selalu ada untuk mendukung dan mendengarkan semua keluh kesahmu," kata Burhan setelah beberapa menit kemudian.
"Sekarang, istirahatlah," tambah sang kepala keluarga.
"Pak, maaf," cicit Asiyah.
Burhan cuma menarik garis bibirnya demi mengurangi rasa sedih sang putri. "Enggak apa-apa. Ais itu satu-satunya permata hati Bapak. Jadi, Ais enggak boleh sedih. Apa pun yang terjadi kita hadapi bersama."
Setelahnya, lelaki paruh baya itu berdiri, meninggalkan Aisyah. Mengajak istrinya yang baru masuk ke kamar tersebut dengan kode mata.
"Istirahat, ya, Nak," kata Endang sebelum meninggalkan kamar Aisyah. Patuh, perempuan yang kesehariannya memakai jilbab itu, mengangguk.
***
Suara azan subuh membangunkan Aisyah dari tidur. Kepalanya terasa berat karena menangis semalaman. Matanya bengkak, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit karena patah hatinya. Selepas kepergian kedua orang tuanya, si gadis tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Pertanyaan mengapa dan mengapa semua itu harus menimpanya, terus terngiang di kepala.
"Aku nggak bisa terus begini. Aku harus bertemu dengannya dan meminta penjelasan," gumamnya. Aisyah bangkit dan menegakkan tubuh.
Segera Aisyah menuju kamar mandi. Pagi ini, ada sesuatu yang harus dia bereskan daripada merasakan sakit di kepala. Menurutnya semua akan jelas, jika ada pertemuan. Tidak ada yang tidak mungkin, jika ada niat. Hubungan yang telah terbangun lama tidak akan dia biarkan hancur begitu saja karena sebuah alasan yang jelas tidak masuk akal.
Aisyah turun dari kamar dengan tergesa.
"Ais, kamu mau ke mana, Nak?" tanya Endang saat mereka berpapasan dengan putri semata wayangnya. Namun, Aisyah tak menghiraukan panggilan ibunya.
"Ais, pergi sebentar, Bu." Si gadis berlari ke arah garasi dan tak menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya. Mengambil motor, Aisya segera melajukannya dengan cepat.
"Maafkan aku, Bu. Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Setelah semuanya jelas, aku akan menceritakan pada kalian apa yang sedang terjadi. Doakan aku bisa mengatasi semuanya," katanya dalam hati.
Secepat keinginan hatinya mengetahui alasan Haritz, Aisyah pun melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Aisyah mengenal Haritz sejak sekolah menengah atas. Lelaki itu adalah kakak kelasnya. Ketika si gadis baru menjadi siswa di sekolah tersebut, Haritz sudah berada pada kelas akhir.
Selang beberapa bulan kemudian, Haritz menyatakan cinta kepada Aisyah. Gayung bersambut atas rasa yang dimiliki Aisyah. Sejak awal pertemuan, sewaktu perkemahan sekolah. Dia sudah menanamkan rasa lebih kepada kakak kelasnya itu.
Perjalanan ke rumah sang pujaan yang seharusnya ditempuh setengah jam. Kini, hanya dilalui lima belas menit saja. Secepat itu Aisyah ingin menuntaskan rasa penasarannya. Tak peduli apa yang dia lakukan bisa mencelakai dirinya sendiri. Sesampainya di depan pintu pagar rumah sang pujaan, Aisyah terdiam.
"Bunda ... bunda ...," teriak gadis itu karena pintub pagar masih terkunci. Tidak peduli keadaan masih pagi, dia sudah berteriak-teriak memanggil sang pemilik rumah.
Tak ada sahutan dari dalam, tangannya mulai memukul gembok yang digunakan mengunci pagar. Bunyi ketukan dari gembok dan pagar besi terdengar menggema. Beberapa tetangga yang berpapasan dan kebetulan lewat, melirik ke arahnya dengan heran.
"Bunda!" teriak Aisyah, sekali lagi. Kesabarannya nyaris hilang, menanti jawaban dari sang pemilik rumah.
"Ya, sebentar." Beberapa saat kemudian, barulah ada sahutan dari dalam rumah.
Perempuan setengah baya tergopoh keluar sambil mengenakan jilbab yang belum terpasang sempurna. Tidak biasa ada tamu sepagi ini berkunjung, apalagi berteriak memanggilnya dengan keras seperti tadi. Perasaan jengkel tampak jelas di wajah perempuan paruh baya itu. Dia sudah menyiapkan kata-kata makian untuk seseorang yang berteriak-teriak tersebut karena sudah sangat mengganggu ketenangannya.
"Lho, Ais?!" ucap si empunya rumah. Bola matanya membulat sempurna. Seketika, semua kata makian yang akan dia lontarkan lenyap sudah. Ternyata, tamu yang mengganggu ketenangannya adalah calon menantunya sendiri.
"Bunda, tolong bukain gembok ini. Ais, ada perlu." Tangan si gadis memegang benda yang terpasang rapat di pintu pagar.
"Iya ... iya, sebentar. Bunda ambil kunci dulu." Si empunya rumah berbalik, berjalan dengan cepat masuk kembali untuk mengambil kunci pagar.
Aisya cuma mengangguk sebagai jawaban perkataan calon mertuanya. Beberapa menit kemudian, saat perempuan paruh baya itu mulai membuka pintu pagar. Aisyah menarik garis bibirnya dengan paksa.
"Maaf ngerepoti, Bun," ucap si gadis.
"Nggak apa-apa, cuma Bunda agak kaget saja," kata sang pemilik rumah. "Ada apa, Ais? Pagi sekali sudah ke sini." Tangannya sibuk membuka pagar yang masih tergembok.
"Ais, ada perlu sama Mas Haritz. Dia ada 'kan, Bun?" tanya Aisyah dengan wajah tegang.
"Masuk dulu. Kita bicara di dalam. Bunda benar-benar nggak nyangka kalau kamu yang berteriak-teriak tadi," kata perempuan paruh baya tersebut.
"Maaf, Bun," ucap si gadis penuh penyesalan.
"Sudahlah, tapi jangan diulangi lagi. Tetangga-tetangga pasti menyangka yang nggak-nggak nantinya." Perempuan berdaster itu berjalan masuk. Aisyah mengikuti langkah calon mertuanya dengan cepat.
Sesampainya di dalam rumah, Aisyah segera naik ke kamar Haritz. Dia sudah tak sabar ingin menanyakan alasan si lelaki memutus sepihak hubungan mereka. Langkah kakinya memburu seiring deru napas yang tersengal-sengal. Hilang sudah sopan santunnya dalam bertamu padahal jelas-jelas sang pemilik rumah menyuruhnya duduk di ruang tamu.
"Ais, tunggu! Berhenti! Rumah ini masih milik Bunda, nggak sepantasnya seorang tamu masuk kamar keluarga kami," teriak sang pemilik rumah yang mengetahui ke mana arah langkah si gadis.
Suara azan fajar membangunkan Zaki. Dia melihat jam dinding yang terletak tepat di hadapannya. Sekali lagi dia ingin mencoba meraih puncak nirwana bersama Aisyah.Dia memulai lagi perjalanannya, kali ini persiapannya sudah matang. Dia sudah mengenali medan perjalannya, jadi lebih mudah menggapai bintang terbaik itu. Lenguhan panjang dari Aisyah menandakan bahwa dia pun merasakan hal terindah itu."Mas, sudah cukup, ya!" katanya saat Zaki kembali mengajaknya meraih kebahagiaan itu."Sekali lagi, Sayang. Masih ada waktu sebentar sebelum azan subuh berkumandang.""Mas, Ais capek. Besok lagi, ya?""Hhm, baiklah. Bagaimana kalau sekarang kita mandi bareng saja?"Aisyah sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab pertanyaan Zaki. Dia hanya bisa pasrah ketika Zaki membawanya ke kamar mandi. Bukan hanya kegiatan mandi yang akhirnya dilakukan keduanya, tetapi hal-hal untuk meraih bintang kembali.Suara teriakan dari luar kamar menghentikan kegiatan mereka di kamar mandi. Burhan sudah terla
Rasanya langit tidak perlu mengukur seberapa luas dirinya, demikian juga samudera. Dia tidak akan meminta mengukur berapa kedalaman yang dia miliki. Cinta yang berjalan atas koridor yang telah di tetapkan syariat tentunya akan sangat indah.Berkali-kali Aisyah menanyakan pada suaminya, apa alasannya bisa mencintai dirinya sebegitu besar. Hingga tidak ada ruang lagi untuk perempuan lain. Nyatanya, Zaki tidak pernah memiliki alasan mengapa dia bisa mencintai Aisyah. Dia hanya tahu bahwa hati dan jiwanya selalu nyaman ketika bersama Aisyah."Sayang, apa perlu kamu menanyakan hal itu terus?" Sampai kapan pun Zaki tidak akan pernah memiliki alasan mengapa dia mencintai Aisyah."Ais cuma pengen tahu, Mas. Masalahnya dulu waktu kecil itu, Mas, nyebelin. Suka bikin nangis, gak ada tuh tanda-tanda kalau, Mas, sayang sama Ais." Dia meletakkan kepalanya di dada Zaki ketika mereka berbincang-bincang di malam hari setelah acara resepsi tadi."Sayang, kita salat, yuk! Setelah itu ...?""Ayok! Kok,
Dua orang yang saling mengenal itu keluar dari hotel dengan ekspresi wajah masing-masing. Riana dengan wajah bahagianya karena berhasil menjebak calon suami sahabatnya. Haritz dengan wajah penuh penyesalan karena telah menghianati Aisyah.Haritz memanggil sebuah taksi yang berada di depan hotel. Dia meminta Riana untuk pulang dengan taksi itu. Namun, Riana masih berulah lagi. Dia minta ditemani Haritz sampai rumahnya. Sebagai bentuk pertanggung jawabannya Haritz menerima ajakan Riana."Ri, aku pasti tanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan, tapi berjanjilah kamu tidak akan menghubungi Aisyah dan menceritakannya." Riana mengangguk, dia menyandarkan kepalanya di dada Haritz dengan manja."Mas, aku punya permintaan sama kamu.""Katakan apa yang kamu mau?""Aku akan tutup mulut. Asalkan, Mas Haritz berjanji tidak akan menikahi Aisyah. Setidaknya, sampai aku mengetahui benih yang kamu tanam padaku ini tidak berbuah. Bagaimana?""Lalu, alasan apa yang harus aku katakan pada keluargany
Happy Reading*****Riana tersenyum penuh arti. Sedikit menggeser posisi duduknya, lebih merapat ke tubuh calon suami Aisyah. "Nggak akan pernah ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar setia. Pun termasuk Aisyah. Jadi, lupakan dia sejenak, mari bersenang-senang denganku," bisiknya. Haritz merasakan elusan tangan Riana di paha yang membuatnya sedikit menahan rasa geli di sekitar selakangan. Bukannya lelaki itu tidak mau melakukan seperti teman-temannya, tetapi Haritz masih menjaga amanah Aisyah. Sebentar lagi, dia sudah menikah. Apa jadinya, jika sang kekasih sampai tahu yang dilakukan saat ini.Godaan dari Riana semakin menjadi, perempuan itu sudah melangkah terlalu jauh. Tangannya telah menyentuh apa yang seharusnya tidak boleh disentuh karena berakibat fatal. Namun, Riana terus membangkitkan apa yang telah Haritz tahan sejak tadi.Saat hasrat Haritz telah mencapai puncaknya, dia melupakan siapa perempuan yang kini sedang berada di sampingnya. Dengan kasar Haritz meraup bibi
Happy Reading*****Dentum suara musik memekakkan telinga siapa pun yang tidak terbiasa masuk ke tempat seperti ini. Goyangan kepala serta badan meliuk mengikuti irama musik yang menghentak. Hilang sudah akal warasnya. Demi memenuhi permintaan para sahabatnya untuk mengadakan acara Bachelor party. Haritz rela masuk ke sebuah club malam di kota ini.Sebulan lagi, acara pernikahannya sudah akan dilangsungkan. Sebelum cuti nikahnya dimulai, rekan-rekan kerjanya meminta diadakan pesta lajang. Ketika nanti, dia sudah kembali ke kota kelahirannya tidak akan bisa mengadakan acara yang seperti mereka inginkan saat ini.Gelas demi gelas minuman berwarna merah menyala itu masuk pada kerongkongannya. Sekalipun, dulu sewaktu masa putih abu-abu dia pernah meminum minuman yang serupa, tetapi nyatanya rasa yang dimiliki masing-masing minuman memabukkan itu berbeda. Kadar alkoholnya pun lebih tinggi yang berwarna merah, meskipun masih ada yang lebih tinggi lagi kadarnya.Tegukan pertama membuatnya me
Happy Reading*****"Mas, kenapa berkata kasar seperti itu?" Aisyah hampir saja menangis mendengar kata-kata keras sang suami.Endang mendekati putrinya. Mengelus lengannya. "Dengarkan penjelasan masmu dulu. Dia mengatakannya dengan keras pasti memiliki alasan. Mas Zaki adalah orang yang paling menyayangimu setelah Bapak dan Ibu, jadi dia akan selalu melindungimu, nggak akan membiarkan siapa pun nyakitin kamu," bisiknya pada sang putri."Maaf, Sayang," ucap Zaki. "Mas nggak maksud berkata kasar. Tapi, dialah yang sudah merencanakan semua kesakitanmu dari awal. Benda di foto waktu itu adalah buktinya. Tante Rum yang menemukannya di bawah pohon rambutan depan rumah. Mas sengaja nggak menceritakan semua ini sebelumnya karena nggak mau kamu kepikiran." "Ais, dia nggak pernah tulus menjadi sahabatmu. Bahkan aku, hanya berpura-pura mau bertunangan dengannya. Jika aku menolaknya, dia akan memisahkan kembali orang yang kamu cintai sekarang. Riani nggak pernah bisa melihat kebahagiaanmu." L







