LOGINUdara sore hari sedikit panas, membuat Axel berkali-kali menuangkan es batu ke dalam gelasnya dan soda lalu menenggaknya hingga habis. Ia melirik ke sebelahnya, Stevano tampak asik bermain ponsel tanpa peduli dengan udara yang membuat tak nyaman. Merek berdua sedang berada di gasebo milik Axel, kedua teman lainnya tidak muncul karena Ryxer sibuk mengantar ibunya dan Nathan sibuk kencan bersama Vera. "Stev, sampai kapan kamu mau berdiam diri di sini?" tanya Axel jengah. Ia sudah menemani Stevano sejak pagi, berhubung hari ini libur Stevano menghabiskan waktu seharian di kediaman Axel. "Sampai bosan," jawabnya santai. Axel mendengus sebal. "Kamu tidak berniat jalan-jalan sama Raisha? masa pasangan suami istri hubungannya hambar kayak gitu." "Biarin, aku yang menikah jadi terserah padaku mau jalan-jalan atau tidak." "Tetap aja, harusnya kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan Raisha bukan denganku!" protes Axel. Stevano mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Axel, pemud
"Apakah suamimu... apakah dia melakukan hal buruk padamu?" tebak Vanessa dengan mata memincing curiga. Raisha mengejutkan dirinya sendiri saat ia menjawab, "Tidak, Tante. Aku hanya ingin bertemu Tante karena sudah lama sekali kita tidak bertemu." Vanessa memandangnya lama, seolah ragu. Namun bibirnya akhirnya melengkung tipis, meski sorot matanya tetap menyimpan kekhawatiran yang sulit disembunyikan. "Baiklah," ujar Vanessa sambil merapikan seragamnya. "Tante senang kamu datang." Raisha mengangguk pelan, menahan segala perasaan yang hampir meluap begitu saja. Ia mengikuti langkah bibinya memasuki lobi rumah sakit. Aroma obat-obatan menusuk hidungnya, mengingatkannya pada berapa banyak malam ia dulu menunggu Vanessa pulang dari shift panjang. Ruangan terasa asing dan akrab sekaligus seperti tempat yang pernah menjadi rumah, tapi kini terasa terlalu dingin untuk ditinggali kembali. Vanessa berjalan pelan menyusuri lorong, lalu mengajak Raisha masuk ke ruang istirahat kecil yang se
Stevano menaikan sebelah alisnya, seakan ia baru saja mendengar kata-kata paling sulit di terimanya. Selama ini Raisha belum pernah menunjukan ketegaran sebesar ini, wanita itu sering menangis namun dalam hitungan detik ia segera membaik dan bersikap manja seperti biasa. Tapi kali ini, semua seakan hilang. Sosoknya sekarang lebih mirip wanita yang menyerah dengan keadaan, dan hanya memikirkan bayi yang di kandungnya. Benarkah ia sudah melukai Raisha terlalu dalam? pikir Stevano. Pikiran itu sempat membuat Stevano goyah, namun sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya untuk menepis perasaan ganjil yang mendadak muncul dalam kepalanya."Baiklah, aku setuju dengan semua syarat yang kamu katakan." Stevano memasukan satu tangannya ke dalam saku celana. "Sebagai gantinya, jangan terlalu dekat denganku di sekolah." Sejenak Raisha merasa hatinya pedih, inikah yang di sebut cinta? rasanya sangat sesak sampai ia ingin menangis. Tapi Raisha sudah berjanji tidak akan menangis lagi, bahkan k
Apartemen tempat Raisha dan Stevano tinggal adalah tempat yang mewah, bangunan yang jendelanya menghadap ke sebelah timur sungai. Stevano menatap dingin ke arah Raisha yang duduk di seberangnya. Pemuda itu membuka suara. "Sebelum kamu marah, dengarkan aku dulu." "Aku butuh penjelasan." Stevano mengangguk. "Anggap saja ini tawaran bisnis." "Aku tidak mau mendengarnya." Wajah Raisha merah padam dan tangannya gemetar. Ia memalingkan wajahnya dengan tajam."Minum jus jerukmu dulu, Ra. Mungkin itu bisa sedikit mendinginkanmu dan membuatmu bisa mendengarkan alasan. Aku menikah denganku bukan karena cinta.""Aku tahu, tapi aku butuh penjelasan tentang hari ini di sekolah." Raisha memandang Stevano tanpa berkedip.Stevano terdiam beberapa saat, lalu tersenyum kecut. "Apa kamu benar-benar membutuhkannya?""Ya, setidaknya aku harus mendengarnya langsung darimu," kata Raisha.Tidak ada air mata yang jatuh di pipinya lagi, ia seakan sudah berubah hanya dalam waktu satu hari."Untuk apa?" tan
Pandangan Raisha dan Vera sontak mengikuti arah telunjuk Bianca, detik itu juga Raisha merasakan seluruh tulangnya luluh lantak. Orang yang di tunjuk oleh Bianca tak lain adalah suaminya sendiri, pikiran buruk mulai menghantuinya ketika Bianca berlari ke arah Stevano dan langsung memeluknya. "Ra ..." Vera menoleh ke arah Raisha, tapi niatannya untuk bertanya mendadak hilang saat melihat ekspresi wajah Raisha yang sedih. "Tidak mungkin, Bianca sama Kak Stevano ..." Tak mau berasumsi begitu saja, Raisha segera menyusul Bianca yang sudah bergandengan tangan dengan Stevano. Di sana juga ada Ryker, Axel, dan juga Nathan. Dari raut wajah mereka bertiga, mereka sama-sama terkejut saat melihat Bianca dan Stevano. "Kak Stevano," panggil Raisha terengah-engah. Stevano menatap dingin pada sosok istrinya tersebut, raut wajahnya menunjukan ketidakpedulian akan keberadaan wanita yang sedang mengandung anaknya. Bianca yang melihat Raisha memanggil pacarnya, mengernyitkan dahi. "Kalian saling k
"Stev, apa sikapmu tadi tidak keterlaluan?" tanya Axel. Ryker mengangguk. "Iya, masa sama istri sendiri dingin seperti itu." "Jangan begitu, Stev. Nanti kalo ada apa-apa baru nyesel loh," tambah Nathan. Namun, Stevano tak menggubris seakan ucapan sahabatnya hanyalah angin lalu yang tidak penting untuk ia dengar dan perhatikan. Melihat tingkah Stevano, Axel menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat ke arah pemuda itu. Ia celingukan ke kanan kiri memastikan bahwa Raisha sudah berada di dalam kamarnya. "Kamu masih suka ketemu sama Bianca?" tanya Axel. Ryker yang duduk di sebelah Axel langsung menoleh, ia membungkukkan badannya ke samping pemuda itu. "Bianca? maksudnya mantannya si Stev, Xel?"Axel mengangguk. "Iya, dia udah sadar dari koma.""Wah, gawat dong. Bianca baru masuk sekolah kita hari ini loh, nih baca di grup sekolah." Nathan menyodorkan ponselnya ke arah Ryker. "Dia anak baru, kalo kayak gini bakal kacau balau deh."Ryker mendecakkan lidah pelan. "Astaga, Stev … kam







