Pria dengan garis rahang tegas itu menatap penuh harap pada Kate. Menunggu dengan sabar bola mata cokelat yang menatapnya tak percaya. Perlahan, Kate mendekatkan tubuhnya ke arah Carl. Pria itu tersenyum semakin lebar saat jaraknya dengan Kate semakin sedikit. Perlahan, tangan Kate terangkat ....
“Sepertinya ini lebih baik, agar kau tetap terjaga dari omong kosongmu juga.” Kate mencubit lengan Carl di tangan yang tak terluka dengan cepat. Pria itu memekik kesakitan sesaat sebelum memberi tatapan tanya pada wanita di depannya. Terdengar suara terkekeh dari Lex, asisten sekaligus pengawalnya serta sang sopir. Baru setelah mendapat tatapan tajam melalui spion di bagian dalam mobil, kedua orang itu menghentikan tawa kecilnya.“Kita hampir sampai, Nona.” Setelah suara sang sopir terdengar, Kate memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya tampak seperti jalan satu arah. Hanya bisa dilewati satu mobil. Kanan kiri jalan seperti hanya ada hutan kecil. Masih cukup jauh sampai ia melihat tebing di sisi kiri mobil, menghadap langsung ke laut lepas. Kate beringsut sedikit menjauh dari jendela mobil dan langsung menghadap ke depan. Gerak-geriknya tak lepas dari pengamatan Carl. Akhirnya, mobil sampai di depan sebuah pintu gerbang yang besar dan seperti setengah tak terurus. Begitu gerbang terbuka otomatis, mobil pun memasuki halaman. Lex, segera turun dari mobil lebih dulu dan meneriakkan beberapa kata pada pengurus mansion yang terlihat kuno itu. Kate menatap Carl yang meringis kesakitan saat mencoba turun dari mobil, dengan sigap, Lex segera kembali untuk membantunya.“Langsung ke kamarku,” ucap singkat Carl pada Lex. Tapi, dengan tatapan ke arah Kate. Paham dengan situasi, Lex melakukan kontak mata dengan seorang wanita yang pakaiannya tak jauh berbeda dengannya. Setelah jas hitam rapi.“Selamat siang, Nona Kate. Perkenalkan, saya Mary. Saya bodyguard wanita di mansion ini.”Kate menatap sekilas dengan takjub ke arah wanita berambut pendek di sampingnya itu. Bodyguard wanita cukup jarang ia temui. Gadis bernama Mary itu memiliki postur yang lebih tinggi darinya, tapi, tak cukup besar untuk ukuran seorang bodyguard atau pengawal. Usianya juga lebih muda darinya, tebak Kate dalam hati.“Salam kenal, Mary.” Usai mengulas senyum singkat, Kate mengikuti langkah Carl dan Lex. Begitu juga Mary. Mereka naik ke lantai dua. Kate mengedarkan pandangan ke sekitar. Meski terlihat mansion tua, tapi, interior dan perabotan yang ada di dalam semua cukup modern. Kesan klasik yang Kate cukup suka.“Saya sudah memanggil Dokter Gary. Sebentar lagi ia akan sampai.”Suara Lex dibalas oleh anggukan kepala Carl. Pria itu direbahkan perlahan ke ranjang yang besar. Kate memandang ke sekitar kamar. Kamar yang sangat besar dan sekali lagi, sangat klasik. Kate bisa mencium bau kayu perabotan di situ.“Mary, tolong ambilkan Kate minum. Aku tak mau ia kehausan saat menungguku seperti ini.”“Baik, Tuan.”Seperti halnya Lex yang keluar dari kamar, Mary segera melakukan perintah dari Carl.“Kemarilah, Kate.”Kate berjalan mendekati ranjang, ia ingin memeriksa apakah luka Carl. Kain dari gaun yang dirobeknya tadi telah basah oleh darah. Kate meringis sekilas saat menatap luka itu.“Dokter sudah tiba.”Lex masuk bersama seorang dokter yang cukup tua, dengan rambut putihnya. Tak cocok dengan postur tinggi besarnya, dokter itu tersenyum hangat pada Kate.“Selamat siang, Nona ...?”“Kate, panggil saja saya Kate, Dokter Gary.”“Kate. Permisi.”Wanita berambut cokelat madu itu memberi ruang pada sang dokter untuk merawat luka Carl. Wajah pria tua itu berubah menjadi sinis saat menatap Carl.“Kau berbuat ulah apa lagi sampai terluka seperti ini?”Dengan nada kesal, dokter itu memarahi Carl sepanjang merawat luka. Sementara Carl membalas omelan Dokrer Gary dengan muka malasnya. Kate menyorot tajam ke arah Carl yang terlihat tak sopan pada dokter tua itu.“Aahh, sakit, Pak Tua. Kenapa kau mengikat perban sekuat itu?”Pekikan Carl terdengar kesal, tapi, dokter itu hanya diam seraya menyelesaikan perawatannya.“Salah sendiri, siapa suruh kau terluka?”“Aku terluka untuk menyelamatkan Kate.”“Benarkah? Aku tak percaya.”“Coba kau tanya saja dia. Benarkan, Kate?”“Sepertinya begitu, Dokter.”“Hmm, dia saja ragu kau berbuat demikian.”Kalimat skeptis Dokter Gary dan jawaban Kate yang meragukan membuat Carl menarik napas panjang. Dokter Gary sudah selesai membereskan perlatan medisnya. Ia berdiri menghadap Kate.“Lukanya cukup dalam, harus rutin dibersihkan dan diperban ulang dengan perban yang bersih. Mohon bersabarlah menghadapi pasien yang tidak menyenangkan seperti anak ini.”“Hey,” sahut Carl menginterupsi.“Maaf, Dokter, Anda salah sangka, saya tidak berniat tinggal lebih lama di sini. Sebentar lagi saya juga pulang.”“Oh, kalau begitu, maafkan saya, Nona Kate.”“Siapa bilang kau boleh pergi dari sini, Kate? Tunangan mana yang tega meninggalkan calon suaminya terluka parah karena menyelamatkannya?”“Oh, jadi, Anda calon istri tuan muda Carl, ya?”“Bukan begitu, Dokter ....”“Aku perlu bicara berdua dengan Kate, Dokter.”“Baiklah, tugasku sudah selesai. Aku pergi, Carl. Akan lebih baik kalau kau punya seseorang yang bisa merawatmu. Tak mungkin juga kau menyuruh Mary untuk melakukannya, kan?”“Tentu saja aku tak ingin merepotkan Mary dengan tugas seperti itu, Dokter.”Ini kali pertama Kate mendengar kalimat saling dukung dari dua pria besar di depannya itu sejak tadi. Keduanya lebih banyak bertengkar dan saling olok.“Saya permisi, Nona.”“Terima kasih telah bersedia datang ke sini, Dokter.”Kate mengantar sang dokter sampai ke dekat anak tangga.“Anda tidak perlu mengantar saya sampai sini. Kembalilah ke kamar anak manja itu, Nona.”Kate menahan tawa saat mendengar kata anak manja keluar dari mulut dokter tua yang baik itu. Tampaknya Carl dan Dokter Gary cukup akrab.“Baik, Dokter. Hati-hati di jalan.”“Kate.”Panggilan keras Carl terdengar sampai di telinga Kate yang baru akan kembali ke kamarnya. Menggelengkan kepala dengan jengkel usai melihat sikap tak sopan Carl sekali lagi membuatnya jengkel. Mary dan Lex keluar dari kamar begitu Kate masuk.“Tutup pintunya, aku ingin bicara berdua denganmu.”Kate menutup kembali pintunya dan baru mengerti kenapa Carl mengusir pergi Lex dan Mary dari kamar. Dengan anggun, ia berjalan ke arah ranjang, lalu duduk di kursi samping ranjang.“Duduklah di sini, jangan jauh-jauh.”“Jangan mengaturku, Carl. Katakan, apa yang ingin kau bicarakan?”Carl memperbaiki posisi duduknya seraya meringis menahan sakit. Sesaat, ia menarik napas panjang.“Jangan pergi.”“Apa?”“Jangan pergi dari mansionku. Tolonglah. Aku butuh ... seseorang untuk merawatku yang kesakitan karena luka ini. Seperti yang tadi kau dengar dari Pak Tua itu.”Kate tak segera menjawab. Jeda yang hening. Wanita itu menatap Carl cukup lama. Luka yang diperban dan kemeja putih Carl yang bersimbah darah karena luka tusukan di lengan itu sangat banyak. Kemeja dengan noda darah yang cukup banyak itu ada di lantai. Kate memungutnya, lalu memasukkannya ke keranjang pakaian kotor tak jauh dari lemari.“Aku ingin bertanya. Apa orang yang ada di kerumunan tadi ingin menyerangku atau menyerangmu?”“Menyerangmu. Untungnya aku bergerak cukup cepat dan menangkis serangannya. Dan akhirnya terkena lenganku.”“Apa dia suruhan Leti?”“Mungkin.”Kate duduk kembali ke posisinya di awal. Menatap luka Carl dan menahan untuk tak meringis.“Apa masih sakit?”“Aku bisa menahan sakitnya, tapi, akan sangat repot jika tak ada yang merawatku. Menetaplah di sini, Kate.”“Hanya sampai lenganmu sembuh.”“Apa? Jadi, kau bersedia tinggal?”“Ya, hanya sampai lukamu sembuh. Itu saja.”“Ya, ya, syukurlah, terima kasih, Kate.”Kate menatap sekeliling kamar. Carl mendapati senyum tipis dari Kate saat mengedarkan pandangan ke kamarnya.“Kau suka interior yang klasik, kan?”“Dari mana kau tahu?”“Sejak tadi pagi aku mengikutimu ke kafe barumu, kan, yang sedang di renovasi. Tentu saja aku tahu apa yang kau suka dan tidak hanya dari binar matamu.”“Lebih baik kau segera tidur.”“Aku sudah meminta Mary untuk mengantarmu ke kamar.”“Syukurlah, kupikir kau ....”Kalimat Kate terputus, ia hampir saja akan melanjutkan kalau tak buru-buru berpikir Carl pasti akan menggodanya.“Kau berpikir apa? Berpikir kalau aku akan menempatkanmu di kamar yang sama denganku? Apa itu yang kau mau? Aku tak masalah ....”“Tidak, ini pengaturan terbaik dan tersopan. Aku tidak mau sekamar denganmu.”“Aku mengerti. Setidaknya, kau masih memiliki rasa belas kasih padaku, aku bersyukur. Teruslah mengasihaniku, Kate.”Senyum seringai tampak di wajah Carl, membuat Kate mencibir seraya mendekati pintu keluar kamar.“Hentikan omong kosongmu dan tidurlah.”“Sampai jumpa nanti, sayang.”Kate memicingkan mata dan hendak membalas kalimat yang baru saja didengarnya, tapi, pria itu telah memejamkan mata, seolah tak ingin diinterupsi. Kate memilih segera pergi dari kamar itu.“Nona Kate, saya akan mengantar Anda ke kamar.”“Ya, Mary.” Kedua wanita itu berjalan di lorong lantai dua. Hanya beberapa langkah sampai mereka tiba di depan sebuah pintu.“Ini tempatnya, Nona.”“Panggil saja, Kate. Tak perlu memakai nona.”“Saya ... belum berani, Nona.”“Cobalah beradaptasi, anggap aku sebagai temanmu meski aku hanya tamu sementara di sini.”Mary tersenyum seraya membukakan pintu. Kening Kate berkerut saat memasuki kamar besar dan mewah dengan gaya klasik itu.“Tunggu, Mary. Kamarku tepat di sebelah kamar Carl, kan?”“Ya, di lantai dua hanya ada dua kamar. Kamar Tuan Carlos dan kamar ini, Nona.”“Apa? Aku tidak ingin dekat dengan kamar pria itu.”“Maaf, tapi, hanya kamar ini yang sudah siap, kamar tamu lain telah difungsikan untuk tempat lainnya, Nona.”“Baiklah. Kau boleh pergi dan beristirahat. Aku ingin waktu sendiri sejenak.”“Ya, Nona. Panggil saya saja jika membutuhkan sesuatu. Di telepon kamar itu, Nada bisa menggunakan nomor 1 untuk memanggilku, dan nomor 2 terhubung langsung dengan stat dapur.”“Aku mengerti. Terima kasih, Mary.”Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang