“Siapa?”
Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.
“Aku pulang duluan ya.”
Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.
“Rey!”
Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.
Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.
Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.
“Lita,” panggil Rey sambil tersenyum lembut.
“Kamu udah menunggu sejak tadi?”
“Baru aja kok, ayo.”
Pasangan dengan baju berwarna senada itu berjalan bersama menuju kendaraan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Kamu mau mampir kemana dulu?”
“Hmm, ke G*lico yuk beli es krim.”
“Okay, ayo kesana."
/drrttt…/
Percakapan keduanya berhenti karena suara getar ponsel milik Rey. Pria bermata coklat gelap itu mencoba tetap fokus menyertir, tapi ponselnya terus berbunyi.
“Sayang, itu chat atau telepon coba cek, mungkin ada yang penting.”
Lita mengambil ponsel milik Rey di saku jas pria itu lalu membuka pesan yang masuk. “Ada pesan dari pak Danang, kamu katanya diminta kembali ke kantor sekarang, lalu pesan lainnya dari grup.”
“Kembali ke kantor? Ini kan udah waktunya pulang. Pak Danang tidak bilang alasannya?” tanya Rey bingung.
“Tidak sih, tapi katanya penting… Ehmm kalau begitu antar aku pulang aja, kita ke G*lico nya lain kali.”
Meski Lita tidak keberatan dan memahami situasi kekasihnya, Rey merasa kesal karena harusnya ia bisa menghabiskan waktu bersama perempuan yang dicintainya.
“Jangan cemberut begitu dong,” ucap Lita yang tersenyum hangat.
Pria yang sedang fokus menyetir itu menghela nafas panjang. “Okay, kamu jawab aja aku masih di perjalanan dan akan segera kembali.”
Lita mengetikkan kalimat seperti yang diminta Rey. Setelah berhasil mengirimkan pesan tersebut, ia meletakkan ponsel itu di dashboard mobil.
“Akhir pekan nanti mau jalan-jalan?” tanya Lita setelah terdiam selama beberapa waktu.
Rey mengernyitkan dahinya. “Boleh, mau kemana?”
“Ke Bandung atau Bogor mungkin?”
Suasana hati pria yang sedang fokus menyetir itu tampak membaik begitu mendengar saran dari Lita. “Hmm sepertinya lebih bagus ke Bandung kalau mau wisata alam.”
“Okay kita kesana nanti,”
Pasangan tersebut tidak tahu bahwa apa pun yang mereka rencanakan nantinya tidak akan pernah bisa dilakukan bersama. Semua hal yang berkaitan dengan Lita akan berubah dan berbalik arah dari yang seharusnya.
***
Beberapa hari kemudian…
.
.
Akhir pekan yang dinantikan sepasang kekasih itu akhirnya tiba. Lita telah bangun sejak pagi untuk menyiapkan bekal berupa makanan ringan yang bisa dimakan bersama dengan Rey saat jalan-jalan nanti.
Lita dan Rey berencana berwisata ke kebun teh. Berlibur dengan suasana alam memang menjadi pilihan banyak orang setelah lelah dengan semua urusan kantor.
Perempuan berambut panjang itu menatap puas ke arah dua kotak bekal yang sudah rapi. Tatapannya beralih ke jam digital di atas meja dekat dengan ranjangnya.
“Tinggal mandi, siap-siap bentar, waktunya pas sebelum Rey datang,” ucap Lita dengan senyum senang.
/Drrttt…/
Sebuah panggilan masuk dari Rey muncul di layar ponsel milik Lita.
‘Hmm? bukannya janjinya jam 9? Ini masih jam 8,’
/Klik…/
“Hai Rey, kita janjinya jam 9 kan?” tanya Lita memastikan.
“Sayang, maaf… .” Suara pria iu terdengar ragu dan dipenuhi rasa kecewa yang bisa dirasakan oleh Lita.
Dahi perempuan itu mengernyit. “Ada apa?”
“Kita sepertinya tidak bisa pergi, aku tiba-tiba dihubungi pak Danang untuk menemani beliau ke luar kota untuk peresmian lokasi pembukaan cabang… .”
Lita memandang bekal makanan yang sudah dibuatnya dengan ekspresi kecewa. “Akhir pekan begini?”
“Iya… Justru memang sengaja dilakukan pada akhir pekan karena waktu yang tepat untuk sekalian promosi.”
“Oh begitu… Tidak apa-apa kok, kalau pak Danang ngajak kamu, berarti beliau naruh kepercayaan besar dong,” ucap Lita berpura-pura ceria.
“Aku minta maaf… .”
“Tidak apa-apa kok, kita bisa pergi lain kali.”
“Maaf aku tutup dulu.”
“Iya hati-hati di jalan Rey, semangat!”
/Klik…/
Perempuan berambut panjang itu duduk terdiam di tempatnya. Ia memejamkan matanya perlahan. Intuisinya merasakan sesuatu yang aneh tapi ia sendiri tidak tahu apa itu. Mata Lita terbuka lagi lalu pandangannya beralih ke kotak bekal di meja.
“Harus ku apakan makanan ini?” gumam Lita pelan.
Pandangan matanya beralih ke arah baju yang sudah ia siapkan. ‘Apa aku jalan-jalan sendiri aja?’
Lita akhirnya memutuskan untuk tetap mandi dan bersiap. Ia tidak ingin suasana hatinya memburuk hanya karena tidak jadi pergi berlibur bersama Rey.
Setelah mempertimbangkan pergi ke Bandung terlalu jauh, ia akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman kota yang tidak jauh dari kostnya.
Lita duduk sendiri di kursi taman yang kosong. Ia memandangi beberapa keluarga yang sedang bermain bersama di taman itu.
Saat melihat ke bocah kecil yang berlarian, Lita tiba-tiba teringat dengan anak kecil bernama Alen yang ditemuinya di Semarang.
‘Apa bocah itu mencari ku?’ tanya Lita dalam hati.
“Litara?”
*****
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Lita tetap bekerja seperti biasa meski suasana hatinya tidak seceria sebelumnya. Ia tetap bisa bersikap profesional dan tersenyum ramah kepada orang lain. Kedatangannya ke tempat kerja Rey pada hari itu tidak dikatakan kepada kekasihnya karena Lita tahu, hal itu tidak akan memperbaiki keadaan dan justru bisa memperburuk. Ia tetap bersikap biasa dan berusaha menanyakan kabar Rey lebih dulu. Walaupun terkadang pikiran buruknya muncul, Lita tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah kembalinya Rey dari luar kota, pria itu menemui Lita sekali dan mengatakan hal yang sama. Ia masih belum bisa sering menemui Lita dengan alasan pekerjaan yang masih menumpuk. Hari berlalu tapi hubungan yang sudah terlanjur renggang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Janji yang diucapkan Rey hampir semuanya dibatalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Namun Lita tetap menunggu dan mencoba mengerti kesibukan kekasihnya yang
“Kamu bercanda?” Rey menatap ke arah lain, tapi tatapan matanya tampak sayu. “Tidak… .” “Sebenarnya ada apa Rey? Bukannya kamu janji mau membicarakan semua dengan ku? Apa yang salah? Beritahu aku supaya bisa ku perbaiki…,” ucap Lita memohon. Impian tentang pertunangannya yang akan dilakukan pada tahun berikutnya padam begitu saja. “Aku tidak bisa lagi… .” “Tapi kenapa Rey? Aku nggak bisa menerima ini.” Pria di hadapan Lita terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia menatap Lita selama beberapa waktu. “Kita sudah tidak sejalan… .” Ingatan Lita kembali membawanya pada saat pertama kali ia melihat ekspresi Rey yang seperti itu. Ia ingat saat pria itu menanyakan tentang sesuatu yang tidak dipahami olehnya. “Beritahu aku bagian mana dariku yang tidak sejalan lagi dengan mu? Kita kan sudah berjanji untuk terbuka dalam komunikasi.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku tidak bisa lagi bersama
Waktu berlalu dengan cepat, hari libur telah selesai beberapa hari lalu. Semua kembali ke pekerjaannya masing-masing meski sebagian dari mereka masih enggan melakukan rutinitas yang membosankan. Selama liburan, Rini dan teman-temannya berusaha menghibur Lita. Mereka juga mencoba menanyakan kepada Rey tentang alasannya memutuskan Lita, tapi pria itu tidak pernah menjawab pesan yang dikirimkan Rini maupun yang lainnya. Lita juga pernah mencoba menghubungi Rey lagi dengan mengirim pesan menanyakan kabarnya, tapi pria itu juga tidak membalas pesannya. Lambat laut Lita berusaha merelakan hubungannya yang telah berakhir. Ia tidak ingin terjebak hal lalu dan tidak bisa melakukan apa pun. Perempuan itu berusaha untuk tetap terlihat tegar dan fokus dengan pekerjaannya. Sesekali Lita masih melihat fotonya dengan Rey di ponselnya dan membaca chat lama dengan mantan kekasihnya itu. Namun ia berusaha keras agar tidak membiarkan kesedihan menggerogoti pikirannya. I
Pandangan mata Lita beralih ke bocah yang digendong pria itu. Ia terdiam di tempatnya dan tidak bergerak sedikit pun. Udara di ruangan tersebut terasa lenyap begitu saja dan membuatnya merasakan tekanan yang menyesakkan. “Mama!” Suara riang bocah itu semakin membuat detak jantung Lita menjadi tidak teratur. Ia berusaha mengendalikan dirinya tapi ia tetap terdiam membeku dengan semua kejadian yang tiba-tiba muncul di pikirannya. “Mama?” Ekspresi bocah itu tampak bingung. Pria itu menurunkan putranya kemudian ia duduk di sofa pada tengah ruangan tersebut. “Pa, kok mama diam saja?” “Hmm mungkin mama sedang terkejut dan menganggap ini mimpi...” Alen menatap Lita dengan ekspresi bingung lalu mendekat. “Mama kenapa diam saja? Mama tidak merindukan ku ya?” Lita tergagap saat bocah itu menyentuh tangannya. Ia ingin menegur bocah itu agar tidak memanggilnya mama, tapi ia takut Alen akan bersedih. “Ah maaf… Aku– ya ku pik