“Perkenalkan, saya Gio, mohon bantuannya dan semoga saya bisa berteman baik dengan kalian semua.”
Perkenalan tersebut berlangsung cepat karena Angga tiba-tiba mendapat telepon. Semua menyambut ramah Gio, tapi Lita merasa sedikit terganggu ketika mendengar tempat asal Gio yang disebut dari Semarang.
‘Apa aku jadi mudah mencurigai orang karena lagi-lagi aku teringat kejadian itu?’ gumam Lita dalam hati.
“Tara, kamu jelaskan ke Gio ya tugasnya apa aja, sekalian bawa dia keliling kantor supaya tahu semua lokasi kantin dan lainnya,” ucap Angga terburu-buru.
“Memangnya bos mau kemana?” tanya Lita yang penasaran dengan sikap Angga yang tampak panik.
“Ada rapat mendadak, udah ya semuanya aku nitip kantor.” Setelah mengucapkan itu, Angga langsung pergi begitu saja.
“Ehmm, jadi darimana saya harus memulai, Lita?” tanya Gio dengan senyum ramah.
Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Sejauh yang ia ingat, teman-temannya memanggilnya Tara.
‘Kenapa dia memanggil ku dengan nama panggilan Lita? Aku kan tidak kenal dia sebelumnya dan dia seharusnya belum tahu nama lengkap ku,’ gumam Lita dalam hati. Ia merasa heran karena nama panggilan itu hanya digunakan oleh keluarga, teman dan orang yang dikenalnya di Semarang.
Lita bangkit dari tempat duduknya lalu menuju sebuah meja kerja yang baru dirapikan. Perempuan yang memiliki tahi lalat dibawah mata kanannya itu menjelaskan pekerjaan yang dilakukan, hal-hal yang harus diperhatikan dan aturan tertulis maupun tidak tertulis yang wajib dipatuhi.
Gio mendengarkan penjelasan itu dengan baik sambil sesekali memandangi wajah perempuan itu.
“Ada yang mau kamu tanyakan?”
“Ehmm, kalau di Semarang kan saya kadang memotret juga kalau bos menyuruh, disini apakah begitu?”
“Tidak sih, itu ada timnya sendiri, lagi pula hampir tidak ada waktu luang karena pekerjaan yang harus dilakukan banyak, jadi ya kita disini hingga sore.”
“Begitu rupanya, sepertinya sistem kerjanya lebih bagus disini… .”
Gio mendengarkan semua ucapan Lita sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti perempuan tersebut dengan langkah ringan.
“Gio, apa kita pernah kenal sebelumnya?” tanya Lita memastikan.
“Tidak, kenapa?”
“Kamu tahu nama ku?”
“Ya?”
Lita mengernyitkan keningnya. “Tidak ada yang memanggil ku dengan nama Lita disini.”
Gio terdiam, ia baru sadar telah melakukan kesalahan. ‘Apa perempuan ini punya nama panggilan berbeda di setiap tempat?’
“Ehmm sebenarnya sejak diberi kabar promosi ke H&U Media, saya mencari tahu tentang semua anggota yang akan bekerjasama dengan saya.
"Maaf jika saya terkesan kurang sopan, saya ingin mengenal semua dengan baik. Saya mengetahui nama kak Litara karena itu saya memanggil kakak dengan nama depan.” ucap Gio memberi alasan.
Lita memijat dahinya. “Oh begitu, selanjutnya panggil saya Tara seperti yang lainnya ya.”
“Kalau boleh saya tahu, kenapa anda tidak mau dipanggil dengan nama Lita?” tanya Gio mencoba mendapatkan informasi.
“Saya tidak terbiasa dengan panggilan itu,” jawab Lita sekenanya.
Gio mengangguk lalu tersenyum. “Baik, saya mengerti.”
‘Tidak terbiasa? Bukannya keluarga dan semua temannya di Semarang memanggilnya Lita? Aneh, aku harus mencari tahu lebih banyak,’ gumam Gio dalam hati.
“Tara!” Seorang perempuan berambut pendek mendekat.
Lita tersenyum lalu memperkenalkan Gio kepada salah satu rekan kerjanya tersebut. Kedua perempuan itu melanjutkan obrolan setelah Gio pamit ke kantin lebih dulu.
“Kamu sudah dengar informasi terbaru?”
“Informasi apa? Aku belum dengar apapun,” sahut Lita dengan ekspresi heran.
Dini menyampaikan informasi dari senior di divisi marketing. Kabar yang didapatkannya menyebut direktur utama yang merupakan putra tunggal pemilik H&U Media akan kembali bekerja di perusahaan tersebut.
Lita mengernyitkan keningnya. Selama bekerja di tempat itu ia memang belum pernah melihat jajaran eksekutif perusahaan. Bahkan ia tidak tahu siapa nama direktur utama yang dimaksud Dini.
***
Beberapa hari setelah itu, suasana kantor media tersebut menjadi heboh karena sebagian karyawan diberhentikan tiba-tiba.
Gosip yang beredar menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan mendadak itu berkaitan dengan permintaan direktur utama, putra sekaligus pewaris tunggal pemilik H&U Group.
Beberapa pembicaraan lain menyebut karyawan yang diberhentikan disebabkan karena terlibat penggelapan uang dan tindakan asusila.
Dari semua rumor yang beredar tersebut, kebenaran tentang sebab pemecatan karyawan itu masih belum diketahui.
“Tara, kamu sudah dengar kabar terbaru?” tanya Lina setengah berbisik.
“Kabar apa?”
“Banyak karyawan yang diberhentikan akhir-akhir ini.”
“Diberhentikan? Menjelang akhir tahun begini?”
Lina mulai menceritakan kabar terbaru yang didapatkan dari beberapa temannya. Ia menyebutkan pengganti dari karyawan yang diberhentikan itu merupakan pilihan direktur semua.
Semua karyawan masih belum mengetahui sebab pasti pemecatan besar-besaran yang dilakukan. Karyawan terbaik juga terkena pemutusan hubungan kerja sehingga menimbulkan rasa was-was pada setiap pekerja.
Kerumunan yang tampak muram itu dikejutkan oleh Angga yang datang membawa es kopi. “Kalian ini siang-siang malah gosip, nih es kopi biar tidak ngantuk."
“Duh pak bos satu ini baik sekali,” ucap Nia sambil tersenyum.
“Eh pak bos, itu orang-orang banyak yang dipecat kenapa ya?” tanya Lina penasaran.
Angga mengernyitkan keningnya. “Saya sih kurang tahu, tapi dari informasi yang beredar, itu permintaan langsung dari pak Direktur.”
Ketiga perempuan di ruangan tersebut saling berpandangan dengan ekspresi heran.
“Alasannya apa ya pak? Setahu saya, Gina dari tim marketing baru aja dapat penghargaan karyawan terbaik se–divisi kan?” tanya Nia bingung.
“Entahlah, mungkin ada kesalahan lain yang kita tidak tahu?” jawab Angga sambil mengangkat bahu.
Gio yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum di balik meja kerjanya. Ia tentu tahu alasan dibalik pemberhentian karyawan secara tiba-tiba dari perusahaan media tersebut. Namun tentu ia tidak akan mengatakannya.
Ekspresi semua orang di ruangan itu tampak buruk. Mereka merasa khawatir jika diberhentikan tiba-tiba menjelang akhir tahun.
‘Kenapa tiba-tiba? Sejak dulu semua baik-baik saja…,’ gumam Lita dalam hati.
Semua melanjutkan pekerjaannya dan mulai melupakan kabar tersebut setelah fokus memeriksa banyaknya artikel yang akan diterbitkan hari itu.
Fokus mereka baru teralihkan ketika pak Angga mengingatkan sudah waktunya pulang. Namun beberapa rekan kerja Lita hanya melambaikan tangan dengan tatapan mata yang masih tertuju ke layar.
“Oh iya Litara, tadi sepertinya ada yang mencarimu di depan,” ucap Gio yang baru saja kembali dari minimarket.
Dahi Lita mengernyit. “Siapa?”
*****
Hembusan angin sore itu membawa aroma hujan. Tidak lama setelah itu gerimis turun. Namun kedua orang itu tidak beranjak dari tempatnya duduk.Meski tidak terkena air hujan langsung, percikan air yang terbawa angin tetap mengenai keduanya. Udara yang semakin dingin itu mulai merasuk ke pori-pori kulit.Ardan memandang ke arah lain dengan ekspresi kosong. Ia kembali teringat percakapan putranya dan Lita beberapa saat yang lalu.Kenyataan bahwa Alen lebih ingin bersama Lita semakin membuatnya tersadar bahwa perannya sebagai ayah selama ini sangatlah buruk.Kalimat yang diucapkan oleh Alen menjadi lebih terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi putranya. Namun meski hatinya terluka, Ardan tetap menginginkan hal yang terbaik untuk putranya.Lita mengeratkan tangannya tanpa bisa menjawab perkataan Ardan. Ia hanya menatap wajah pria itu dengan ekspresi cemas.“Jangan memberitahu Alen dulu, aku akan berbicara dengannya di waktu yang sudah ditentukan. Kita lakukan seperti biasa sampai wak
Selama beberapa hari Lita terus memikirkan apa yang sudah dikatakan oleh Alen. Meski sikap Alen kembali seperti semula, perempuan itu masih merasa cemas.Ia masih belum mengatakan apa pun ke Ardan. Namun seminggu setelah liburan itu Lita akhirnya mulai memikirkan niatnya untuk berhenti bekerja supaya fokus mengurus Alen saja.Tentu saja ia masih perlu menyelesaikan pekerjaan yang ada dan membuat keadaan stabil lebih dulu. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggungjawabnya pada orang lain.Lita menghela nafas lagi. Ia meijat dahinya pelan. Sikapnya itu sejak tadi diperhatikan oleh Ardan, tapi perempuan itu tidak menyadarinya.Ardan sendiri sempat merasa Lita dan Alen menjadi agak berbeda setelah berkunjung ke taman hiburan minggu lalu, tapi pria itu tidak sempat bertanya.Tidak hanya tentang itu. Kejadian-kejadian sebelumnya pun tidak dibicarakan lagi dan dibiarkan menumpuk begitu saja. Hal tersebut membuat Ardan merasa canggung untuk memulai percakapan.“Apa ada masalah?” tanya A
Suasana sore hari di taman hiburan itu menjadi mendung tiba-tiba. Bianglala itu masih tidak bergerak. Semuanya seolah terhenti di saat yang bersamaan.“Alen? Apa maksud mu?” tanya Lita tergagap.Bocah kecil itu tersenyum tapi ekspresinya terlihat sangat sedih. Alen terlihat ragu, seperti sedang memikirkan apakah ia akan melanjutkan perkataannya atau tidak.Matanya mulai berkaca-kaca karena membayangkan kehidupan dimana Lita harus pergi dari hidupnya.Melihat mata Alen yang berkaca-kaca, Lita pindah tempat duduk di samping Alen. Ia membelai lembut kepala bocah itu, mencoba menenangkannya meski ia sendiri sebenarnya sedang merasa tidak tenang.“Alen, apa kamu mendengar ucapan mama saat di penginapan waktu itu?” tanya Lita mencoba memastikan.Alen mengangguk. Namun kali ini ia tidak berani menatap wajah Lita. Ia lebih memilih mengamati sepatu putih yang sedang dipakainya.“Sayang, kamu salah paham. Mama berkata begitu karena marah, maksud mama tidak seperti yang kamu pikirkan.”Bocah kec
Esok harinya Alen bangun pagi sekali karena bersemangat untuk jalan-jalan. Seperti yang sudah dijanjikan oleh Lita, mereka akan pergi ke taman hiburan lagi.Keduanya diantar oleh Zan. Meski awalnya menolak, Lita tidak bisa mengabaikan permintaan Ardan yang ingin menjaga keamanan putranya.Pukul 10 pagi mereka bertiga sampai di taman hiburan L Fantasy di Bandung. Suasana ditempat hiburan itu sudah ramai seperti biasa. Namun cuaca hari itu lebih cerah daripada sebelumnya.Lita sudah melihat prakiraan cuaca sehingga ia sudah menyiapkan topi dan kipas kecil jika nanti Alen kepanasan.“Zan, kamu ikut masuk atau ada hal lain yang ingin kamu lakukan?”“Om Zan pergi saja ya? aku ingin disini berdua saja dengan mama,” sela Alen sebelum Zan menjawab.“Alen, tidak boleh begitu,” ucap Lita yang kemudian mengelus kepala Alen pelan. Namun bocah kecil itu hanya menggembungkan pipinya.Zan yang melihat itu tertawa. “Tidak apa-apa, saya sepertinya akan mengunjungi kerabat saya disini. Tapi tolong jaga
Lita sengaja berangkat lebih lambat dari biasanya supaya bisa menemani Alen sarapan dan mengantarnya ke playgroup.Ia juga pulang lebih awal meski seharusnya masih lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Perempuan itu ingin menemani Alen makan malam sampai bocah kecil itu tidur.Sebagai ganti waktu yang ia gunakan untuk Alen, Lita harus kembali mengerjakan pekerjaannya setelah ‘putranya’ tidur.Perempuan itu mengurangi waktu istirahatnya karena tidak ingin membuat Alen merasa sendiri. Baginya itulah hal terpenting yang harus dilakukannya.Hal itu berlangsung hingga beberapa hari. Tidur setelah jam 2 dini hari lalu bangun pukul 5, kemudian langsung bersiap. Lita menjalani rutinitas itu dan mengabaikan rasa lelah yang mulai menumpuk pada tubuhnya.Tatapan matanya fokus dengan layar di depannya sedangkan tangannya menari lincah di atas keyboard putih. Lita bahkan tidak sadar jika sejak tadi seseorang sedang mengamatinya dari belakang.Pria itu mengamati jam di tangannya lalu masuk ke dalam
Lita, Ardan dan Alen kembali ke Jakarta pada malam hari setelah hujan reda. Suasana hening dalam perjalanan menyelimuti keluarga kecil itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Lita yang menangkap perubahan suasana hati Alen.Bocah kecil di samping Lita itu tersenyum. “Ya aku hanya masih merasa mengantuk.”“Tapi kamu sudah tidur cukup lama loh.”“Hmmm, tapi aku masih mengantuk.”Ardan melirk dari spion tengah lalu kembali fokus menyetir. “Kamu bisa tidur lagi.”“Ya…”Suasana kembali menjadi hening. Lita akhirnya memilih memejamkan matanya karena tidak tau harus bebicara apa.Setelah ia mengungkapkan amarahnya ke Ardan sore tadi, Lita tetap berada di luar ruangan dekat kolam ikan di penginapan itu. Perempuan bermata coklat itu baru kembali begitu matahari tenggelam.Ia tidak tau harus berkata apa kepada Ardan, jadi ia memilih diam seolah tidak terjadi apa pun. Tidak seperti yang dikhawatirkannya, Ardan juga tidak membahas hal itu lebih lanjut. Sikap pria itu tetap sama seperti biasa.Sesampain