“Litara?”
Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.”
Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin.
Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?”
“Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.”
“Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?”
“Kalau mau bawa aja semua.”
“Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk.
Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat.
“Kangen anak mu?”
Tatapan Lita langsung beralih ke pria di seberangnya, ekspresi kesalnya terlihat jelas. “Aku belum menikah… .”
“Aku cuma bercanda, hehe.”
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Aku cuma sedang ingat bocah yang menggemaskan.”
“Anak mu?”
Gio tertawa mendengar balasan Lita. “Bukan, anaknya bos ku.”
“Bos mu? Kamu bekerja di tempat lain juga?”
“Hmm, Iya, aku harus kerja ekstra supaya dapat uang ekstra juga, hehe,” jawab Gio asal.
Obrolan berlanjut dengan topik lain. Lita mencoba membicarakan tentang phk masal yang sedang terjadi, tapi respon Gio membuat perempuan itu merasa aneh. Pria itu tidak terlihat khawatir dan menganggap apa yang terjadi adalah sesuatu yang wajar.
“Kamu tidak ada niat untuk berhenti bekerja dalam waktu dekat ini?” tanya Gio tiba-tiba.
“Tidak, walau lelah, bekerja di H&U cukup menyenangkan.”
Kedua pandangan mata mereka bertemu, tapi Gio segera mengalihkan pandangannya. “Ya, kamu benar… Tapi mungkin itu tidak sebanding dengan tekanan yang nanti muncul,” ucap Gio dengan suara pelan.
Lita mendengar itu tapi tidak yakin dengan maksud rekan kerjanya tersebut. “Apa?”
Pria dengan rambut bergelombang itu tidak menjawab dan hanya tersenyum lalu memandang ke arah lain.
‘Kenapa ekspresinya seperti orang yang sedang merasa bersalah?’ tanya Lita dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian…
.
.
Pagi yang cerah itu dikejutkan dengan adanya kabar pak Angga yang disebut akan dipindahkan ke Semarang sebagai pimpinan redaksi di H-Media.
Tidak hanya itu, pimpinan redaksi, editor eksekutif serta editor pelaksana di media pusat juga mengalami pergantian tiba-tiba.
Hal yang membuat Lita semakin terkejut adalah penetapan dirinya yang diangkat sebagai editor pelaksana yang baru, menggantikan Angga.
‘Kenapa pergantian pimpinan redaksi, editor eksekutif dan editor pelaksana dilakukan di akhir tahun saat hampir memasuki libur panjang?’
Meski sempat merasa curiga, kesibukan Lita yang bertambah membuat perempuan itu perlahan lupa dengan firasat aneh yang dirasakannya. Ia benar-benar fokus ke pekerjaannya dan mengupayakan usaha terbaik karena cukup senang dengan posisi barunya sebagai editor pelaksana.
Fani, pimpinan redaksi yang baru sering memberikannya saran dan membantu jika sedang ada hal yang membuat Lita bingung. Dia perempuan yang ramah dan memiliki wajah menawan. Namun tatapan matanya saat sedang serius sering membuat Lita ingat pada seseorang yang pernah ditemuinya dua bulan yang lalu.
Beberapa hari kemudian suasana kantor kembali tenang usai tidak ada lagi kabar pemutusan hubungan kerja. Semua karyawan yang masih bertahan akhirnya bisa bernafas lega.
Pada kondisi yang sangat sibuk dan bertambahnya beban kerja tersebut, hubungan Lita dan Reyhan masih cukup harmonis. Mereka tetap menjaga komunikasi satu sama lain dan saling berusaha meluangkan waktu meski hanya sebentar.
Sore itu Reyhan sudah menunggu Lita di depan kantor H&U Media. Ia sudah lama tidak pulang bersama dengan Lita karena pekerjaan yang sering membuatnya lembur hingga larut malam.
Seorang perempuan dengan blazer orange keluar dari gedung tersebut dengan terburu-buru.
“Rey… Aku belum bisa pulang… Pekerjaan ku masih belum selesai,” ucap Lita dengan ekspresi lelah.
Reyhan tersenyum meski merasa kecewa. "Okay, aku ngerti, media emang selalu sibuk banget di akhir tahun apalagi suasana politik semacam ini. Kamu nanti pulangnya mau ku jemput?”
“Aku belum tahu bisa pulang jam berapa.”
Reyhan tiba-tiba memeluk Lita. “Nanti kamu telepon aja kalau udah pulang, ku jemput. Walau lembur kamu harus makan dan istirahat sesekali ya.”
Lita membalas pelukan kekasihnya itu. Ia merasa mendapatkan energi tambahan. “Makasih, kamu ngerti banget aku butuh energi.”
Keduanya berpelukan selama beberapa saat untuk saling mengisi energi, lalu melepasnya dengan senyum di kedua wajah itu.
“Aku pulang duluan kalau begitu.”
“Hati-hati di jalan.”
Reyhan mencium kening Lita lagi lalu melangkah pergi sambil sesekali melihat ke arah Lita sebelum masuk ke dalam mobil hitam miliknya.
“Wah, dunia berasa milik berdua ya?”
Lita terkejut lalu menoleh ke arah sumber suara. “Gio… .”
“Saya tidak sengaja lihat kok, ini habis beli es kopi buat persiapan lembur,” jawab Gio sambil mengangkat kantong plastik berisi minuman.
“Kenapa ngomongnya jadi pakai saya? Biasanya aku?” tanya Lita dengan ekspresi heran.
“Ehmm, saya perlu berbicara sopan dengan atasan kan?”
Perempuan berambut panjang yang berjalan di samping Gio itu tertawa. “Ada-ada aja, kalau mau tetap pakai kata yang biasanya juga tidak apa-apa kok.”
“Hubungan mu dengannya baik?” tanya Gio setelah beberapa waktu diam.
“Iya, tahun depan rencananya kami mau bertunangan,” ucap Lita sambil tersenyum.
Ekspresi senang perempuan itu terlihat jelas. Ada semburat merah pada kedua pipinya saat membicarakan tentang Reyhan. Mata gadis itu juga tampak berkilauan seakan bisa melihat masa depannya bersama sang kekasih.
“Aku duluan ya, masih ada yang perlu ke periksa.”
Lita melambaikan tangan lalu berjalan lebih cepat meninggalkan Gio di belakang. Pria itu tersenyum tapi dalam hati ia merasa tidak tega. ‘Kalau Ardan udah kesini, apa dia masih bisa terlihat senang seperti itu?’
Setelah membagikan es kopi untuk rekan kerjanya, Gio langsung melangkah menuju ruangan Lita.
/klek…/
“Ini tadi es kopi bagian bu Litara,” ucap Gio sambil meletakkan es kopi di meja.
“Okay, terimakasih Gio.”
Pandangan Lita beralih ke es kopi yang ada di dalam kantong plastik. Ia sempat mengernyitkan keningnya beberapa saat karena jenis kopi itu adalah salah satu yang disukai olehnya. Namun perempuan tersebut tidak bertanya dan menganggap itu hanya kebetulan saja.
Pembicaraan keduanya terhenti saat terdengar suara ponsel milik Gio. Pria tersebut memeriksa lalu memasukannya ke dalam saku dengan terburu-buru sampai akhirnya ponsel tersebut jatuh.
Pandangan Lita mengarah ke ponsel Gio yang masih menyala dengan tampilan telepon dari seseorang bernama -Bos-.
Gio dengan sigap langsung meraih ponselnya. Ekspresi gugup pria itu membuat Lita heran.
“Ada apa Gio?”
*****
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Lita tetap bekerja seperti biasa meski suasana hatinya tidak seceria sebelumnya. Ia tetap bisa bersikap profesional dan tersenyum ramah kepada orang lain. Kedatangannya ke tempat kerja Rey pada hari itu tidak dikatakan kepada kekasihnya karena Lita tahu, hal itu tidak akan memperbaiki keadaan dan justru bisa memperburuk. Ia tetap bersikap biasa dan berusaha menanyakan kabar Rey lebih dulu. Walaupun terkadang pikiran buruknya muncul, Lita tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah kembalinya Rey dari luar kota, pria itu menemui Lita sekali dan mengatakan hal yang sama. Ia masih belum bisa sering menemui Lita dengan alasan pekerjaan yang masih menumpuk. Hari berlalu tapi hubungan yang sudah terlanjur renggang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Janji yang diucapkan Rey hampir semuanya dibatalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Namun Lita tetap menunggu dan mencoba mengerti kesibukan kekasihnya yang
“Kamu bercanda?” Rey menatap ke arah lain, tapi tatapan matanya tampak sayu. “Tidak… .” “Sebenarnya ada apa Rey? Bukannya kamu janji mau membicarakan semua dengan ku? Apa yang salah? Beritahu aku supaya bisa ku perbaiki…,” ucap Lita memohon. Impian tentang pertunangannya yang akan dilakukan pada tahun berikutnya padam begitu saja. “Aku tidak bisa lagi… .” “Tapi kenapa Rey? Aku nggak bisa menerima ini.” Pria di hadapan Lita terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia menatap Lita selama beberapa waktu. “Kita sudah tidak sejalan… .” Ingatan Lita kembali membawanya pada saat pertama kali ia melihat ekspresi Rey yang seperti itu. Ia ingat saat pria itu menanyakan tentang sesuatu yang tidak dipahami olehnya. “Beritahu aku bagian mana dariku yang tidak sejalan lagi dengan mu? Kita kan sudah berjanji untuk terbuka dalam komunikasi.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku tidak bisa lagi bersama
Waktu berlalu dengan cepat, hari libur telah selesai beberapa hari lalu. Semua kembali ke pekerjaannya masing-masing meski sebagian dari mereka masih enggan melakukan rutinitas yang membosankan. Selama liburan, Rini dan teman-temannya berusaha menghibur Lita. Mereka juga mencoba menanyakan kepada Rey tentang alasannya memutuskan Lita, tapi pria itu tidak pernah menjawab pesan yang dikirimkan Rini maupun yang lainnya. Lita juga pernah mencoba menghubungi Rey lagi dengan mengirim pesan menanyakan kabarnya, tapi pria itu juga tidak membalas pesannya. Lambat laut Lita berusaha merelakan hubungannya yang telah berakhir. Ia tidak ingin terjebak hal lalu dan tidak bisa melakukan apa pun. Perempuan itu berusaha untuk tetap terlihat tegar dan fokus dengan pekerjaannya. Sesekali Lita masih melihat fotonya dengan Rey di ponselnya dan membaca chat lama dengan mantan kekasihnya itu. Namun ia berusaha keras agar tidak membiarkan kesedihan menggerogoti pikirannya. I
Pandangan mata Lita beralih ke bocah yang digendong pria itu. Ia terdiam di tempatnya dan tidak bergerak sedikit pun. Udara di ruangan tersebut terasa lenyap begitu saja dan membuatnya merasakan tekanan yang menyesakkan. “Mama!” Suara riang bocah itu semakin membuat detak jantung Lita menjadi tidak teratur. Ia berusaha mengendalikan dirinya tapi ia tetap terdiam membeku dengan semua kejadian yang tiba-tiba muncul di pikirannya. “Mama?” Ekspresi bocah itu tampak bingung. Pria itu menurunkan putranya kemudian ia duduk di sofa pada tengah ruangan tersebut. “Pa, kok mama diam saja?” “Hmm mungkin mama sedang terkejut dan menganggap ini mimpi...” Alen menatap Lita dengan ekspresi bingung lalu mendekat. “Mama kenapa diam saja? Mama tidak merindukan ku ya?” Lita tergagap saat bocah itu menyentuh tangannya. Ia ingin menegur bocah itu agar tidak memanggilnya mama, tapi ia takut Alen akan bersedih. “Ah maaf… Aku– ya ku pik
Lita bangun terlambat setelah semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan tentang semua hal yang terjadi tiba-tiba. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan saat ia pertama kali bertemu Ardan. Meski sudah semalaman memikirkan tentang apa yang harus dilakukannya, Lita tidak menemukan solusi selain mengundurkan diri dan menghilang dari kota itu. ‘Kalau aku menghilang tiba-tiba, apa semua akan lebih baik? Apa bocah itu akan mencari ku?’ gumam Lita dalam hati sambil memandangi jalanan melalui kaca bus trans. Ia sebenarnya enggan berangkat bekerja karena masih tidak siap jika pria itu melakukan hal seperti kemarin. Namun ia tidak bisa izin begitu saja karena hari ini ada rapat dengan para editor. Perempuan itu turun dari bus lalu melangkah dengan perasaan cemas. Ekspresinya semakin buruk begitu ia memasuki tempatnya bekerja. “Selamat pagi Litara.” Lita menoleh ke arah sumber suara. “Pagi Gio.” Pria itu mengernyitkan keningnya. “Pagi begini