Share

8. Tiba-tiba naik jabatan

“Litara?”

Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.”

Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin.

Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?”

“Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.”

“Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?”

“Kalau mau bawa aja semua.”

“Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk.

Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat.

“Kangen anak mu?”

Tatapan Lita langsung beralih ke pria di seberangnya, ekspresi kesalnya terlihat jelas. “Aku belum menikah… .”

“Aku cuma bercanda, hehe.”

“Kenapa senyum-senyum sendiri?”

“Aku cuma sedang ingat bocah yang menggemaskan.”

“Anak mu?”

Gio tertawa mendengar balasan Lita. “Bukan, anaknya bos ku.”

“Bos mu? Kamu bekerja di tempat lain juga?”

“Hmm, Iya, aku harus kerja ekstra supaya dapat uang ekstra juga, hehe,” jawab Gio asal.

Obrolan berlanjut dengan topik lain. Lita mencoba membicarakan tentang phk masal yang sedang terjadi, tapi respon Gio membuat perempuan itu merasa aneh. Pria itu tidak terlihat khawatir dan menganggap apa yang terjadi adalah sesuatu yang wajar.

“Kamu tidak ada niat untuk berhenti bekerja dalam waktu dekat ini?” tanya Gio tiba-tiba.

“Tidak, walau lelah, bekerja di H&U cukup menyenangkan.”

Kedua pandangan mata mereka bertemu, tapi Gio segera mengalihkan pandangannya. “Ya, kamu benar… Tapi mungkin itu tidak sebanding dengan tekanan yang nanti muncul,” ucap Gio dengan suara pelan.

Lita mendengar itu tapi tidak yakin dengan maksud rekan kerjanya tersebut. “Apa?”

Pria dengan rambut bergelombang itu tidak menjawab dan hanya tersenyum lalu memandang ke arah lain.

‘Kenapa ekspresinya seperti orang yang sedang merasa bersalah?’ tanya Lita dalam hati.

***

Beberapa hari kemudian…

.

.

Pagi yang cerah itu dikejutkan dengan adanya kabar pak Angga yang disebut akan dipindahkan ke Semarang sebagai pimpinan redaksi di H-Media.

Tidak hanya itu, pimpinan redaksi, editor eksekutif serta editor pelaksana di media pusat juga mengalami pergantian tiba-tiba.

Hal yang membuat Lita semakin terkejut adalah penetapan dirinya yang diangkat sebagai editor pelaksana yang baru, menggantikan Angga.

‘Kenapa pergantian pimpinan redaksi, editor eksekutif dan editor pelaksana dilakukan di akhir tahun saat hampir memasuki libur panjang?’

Meski sempat merasa curiga, kesibukan Lita yang bertambah membuat perempuan itu perlahan lupa dengan firasat aneh yang dirasakannya. Ia benar-benar fokus ke pekerjaannya dan mengupayakan usaha terbaik karena cukup senang dengan posisi barunya sebagai editor pelaksana.

Fani, pimpinan redaksi yang baru sering memberikannya saran dan membantu jika sedang ada hal yang membuat Lita bingung. Dia perempuan yang ramah dan memiliki wajah menawan. Namun tatapan matanya saat sedang serius sering membuat Lita ingat pada seseorang yang pernah ditemuinya dua bulan yang lalu.

Beberapa hari kemudian suasana kantor kembali tenang usai tidak ada lagi kabar pemutusan hubungan kerja. Semua karyawan yang masih bertahan akhirnya bisa bernafas lega.

Pada kondisi yang sangat sibuk dan bertambahnya beban kerja tersebut, hubungan Lita dan Reyhan masih cukup harmonis. Mereka tetap menjaga komunikasi satu sama lain dan saling berusaha meluangkan waktu meski hanya sebentar.

Sore itu Reyhan sudah menunggu Lita di depan kantor H&U Media. Ia sudah lama tidak pulang bersama dengan Lita karena pekerjaan yang sering membuatnya lembur hingga larut malam.

Seorang perempuan dengan blazer orange keluar dari gedung tersebut dengan terburu-buru.

“Rey… Aku belum bisa pulang… Pekerjaan ku masih belum selesai,” ucap Lita dengan ekspresi lelah.

Reyhan tersenyum meski merasa kecewa. "Okay, aku ngerti, media emang selalu sibuk banget di akhir tahun apalagi suasana politik semacam ini. Kamu nanti pulangnya mau ku jemput?”

“Aku belum tahu bisa pulang jam berapa.”

Reyhan tiba-tiba memeluk Lita. “Nanti kamu telepon aja kalau udah pulang, ku jemput. Walau lembur kamu harus makan dan istirahat sesekali ya.”

Lita membalas pelukan kekasihnya itu. Ia merasa mendapatkan energi tambahan. “Makasih, kamu ngerti banget aku butuh energi.”

Keduanya berpelukan selama beberapa saat untuk saling mengisi energi, lalu melepasnya dengan senyum di kedua wajah itu.

“Aku pulang duluan kalau begitu.”

“Hati-hati di jalan.”

Reyhan mencium kening Lita lagi lalu melangkah pergi sambil sesekali melihat ke arah Lita sebelum masuk ke dalam mobil hitam miliknya.

“Wah, dunia berasa milik berdua ya?”

Lita terkejut lalu menoleh ke arah sumber suara. “Gio… .”

“Saya tidak sengaja lihat kok, ini habis beli es kopi buat persiapan lembur,” jawab Gio sambil mengangkat kantong plastik berisi minuman.

“Kenapa ngomongnya jadi pakai saya? Biasanya aku?” tanya Lita dengan ekspresi heran.

“Ehmm, saya perlu berbicara sopan dengan atasan kan?”

Perempuan berambut panjang yang berjalan di samping Gio itu tertawa. “Ada-ada aja, kalau mau tetap pakai kata yang biasanya juga tidak apa-apa kok.”

“Hubungan mu dengannya baik?” tanya Gio setelah beberapa waktu diam.

“Iya, tahun depan rencananya kami mau bertunangan,” ucap Lita sambil tersenyum.

Ekspresi senang perempuan itu terlihat jelas. Ada semburat merah pada kedua pipinya saat membicarakan tentang Reyhan. Mata gadis itu juga tampak berkilauan seakan bisa melihat masa depannya bersama sang kekasih.

“Aku duluan ya, masih ada yang perlu ke periksa.”

Lita melambaikan tangan lalu berjalan lebih cepat meninggalkan Gio di belakang. Pria itu tersenyum tapi dalam hati ia merasa tidak tega. ‘Kalau Ardan udah kesini, apa dia masih bisa terlihat senang seperti itu?’

Setelah membagikan es kopi untuk rekan kerjanya, Gio langsung melangkah menuju ruangan Lita.

/klek…/

“Ini tadi es kopi bagian bu Litara,” ucap Gio sambil meletakkan es kopi di meja.

“Okay, terimakasih Gio.”

Pandangan Lita beralih ke es kopi yang ada di dalam kantong plastik. Ia sempat mengernyitkan keningnya beberapa saat karena jenis kopi itu adalah salah satu yang disukai olehnya. Namun perempuan tersebut tidak bertanya dan menganggap itu hanya kebetulan saja.

Pembicaraan keduanya terhenti saat terdengar suara ponsel milik Gio. Pria tersebut memeriksa lalu memasukannya ke dalam saku dengan terburu-buru sampai akhirnya ponsel tersebut jatuh.

Pandangan Lita mengarah ke ponsel Gio yang masih menyala dengan tampilan telepon dari seseorang bernama -Bos-.

Gio dengan sigap langsung meraih ponselnya. Ekspresi gugup pria itu membuat Lita heran.

“Ada apa Gio?”

*****

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status