Share

9. Tanda yang tidak disadari

“Ada apa Gio?”

“Tidak, bukan apa-apa… .”

“Kenapa tidak diangkat?”

“Ehmm, bukan sesuatu yang penting.”

Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio.

‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati.

“Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?”

Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita. “Kalau begitu saya permisi dulu.”

Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’

/Tok..tok../

“Ya silakan masuk.”

Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung.

Perempuan tersebut menyampaikan dokumen dan pesan dari pimpinan redaksi baru yang meminta Lita untuk ke ruangannya.

Setelah menyampaikan hal tersebut, perempuan itu langsung pergi. Meski tersenyum saat sedang berbicara, entah kenapa Lita merasakan tatapan yang tidak menyenangkan dari perempuan itu, tapi ia tidak ingin memikirkannya lebih jauh.

Kakinya melangkah pelan menuju ruang pimpinan redaksi yang baru. Disana terdapat beberapa wajah yang baru pertama kali dilihatnya.

“Kalau begitu kami permisi dulu,” ucap pria berambut panjang. Pria itu mengangguk ke arah Lita sebelum pergi bersama dengan rekan lainnya.

'Mereka juga karyawan baru pilihan dirut?' gumam Lita dalam hati.

“Bagaimana pekerjaan mu di posisi baru, Litara? Ada yang masih membuat mu bingung?”

Panggilan nama dari Fani sebenarnya membuat Lita merasa tidak nyaman, tapi ia tidak ingin protes ke pimpinan redaksi hanya karena nama panggilannya.

“Tidak, saya sudah cukup mengerti, jika ada yang tidak saya paham, saya akan langsung bertanya… .”

Fani mengangguk lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari laci mejanya. “Ada topik khusus yang dipesan… .”

Lita meraih lembaran kertas tersebut lalu membacanya dengan teliti. Ia bisa langsung paham apa yang dimaksud oleh Fani. “Baik…”

“Ada satu hal lagi, sebenarnya aku tidak enak meminta ini ke kamu…,” ucap Fani sambil menatap lurus ke arah Lita.

“Pekerjaan khusus?”

Perempuan berkuncir satu itu tertawa kecil. “Tidak, aku sebenarnya diminta untuk ikut menyiapkan penyambutan dirut pada pertengahan Januari nanti, tapi saat itu aku ada urusan lain dan tidak bisa hadir, jadi aku ingin minta tolong kamu untuk menggantikan ku.”

‘Pertengahan Januari? Sekitar satu setengah bulan lagi ya?’ gumam Lita dalam hati.

“Hmmm atau kamu sudah ada acara juga?” tanya Fani lagi.

“Tidak kok, saya siap saja.”

Fani tersenyum. “Terimakasih, aku sebenarnya sempat bingung harus meminta tolong siapa untuk menggantikan.”

“Apa ada hal yang perlu saya lakukan saat penyambutan?”

“Tidak, kamu hanya perlu hadir di ruang pertemuan, semuanya sudah diurus oleh yang lain jadi kamu tidak perlu melakukan apa pun.”

Lita mengangguk meski ia sebenarnya tidak ingin menerima permintaan dari Fani karena tidak begitu senang bertemu dengan para jajaran eksekutif perusahaan.

Ia baru keluar dari ruangan tersebut setelah berbincang sebentar. ‘Dirut yang akan datang Januari nanti itu yang dimaksud Dini sebelumnya ya?’

“Jangan menghubungi ku lagi, ren!”

Langkah kaki Lita terhenti saat mendengar suara Gio. Ia menoleh dan melihat pria itu hampir melempar ponselnya.

Tatapan keduanya bertemu tapi Gio segera mengalihkan pandangannya dan menghentikan niatnya. Ponsel yang ada di tangan ia masukkan kembali ke dalam saku.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Lita yang sudah mendekat ke arah Gio.

“Ehmm, sedikit emosional,” jawab Gio sambil tersenyum miris.

Lita melihat jam tangannya, memastikan sisa waktu istirahat yang ada. “Mau ku belikan makanan manis? Kata orang itu bisa membuat perasaan membaik.”

Gio hanya diam selama beberapa waktu dengan ekspresi yang waktu itu Lita lihat di taman. ‘Lagi-lagi ekspresi bersalah itu… Dia sebenarnya kenapa?’

“Tidak mau?” tanya Lita memastikan.

“Ehmm, selera saya ini mahal, apa tidak apa-apa?” balas Gio dengan ekspresi yang lebih tenang.

Dahi Lita mengernyit. “Sepertinya di kantin tidak ada makanan manis yang mahal… .”

Pria di depan Lita tertawa. “Kalau begitu traktir saya makan siang saja.”

“Okay, ayo.”

Perempuan berambut panjang itu melangkah lebih dulu kemudian diikuti Gio yang segera berjalan di sampingnya.

Keduanya mengobrol tentang hal lain. Lita tidak menanyakan tentang apa yang sedang dihadapi Gio dan hal tersebut membuat pria itu justru merasa lebih tenang.

Sikap Lita yang seolah bisa memahami orang lain tersebut membuat Gio semakin merasa bersalah.

“Kamu bisa memilih makanan yang kamu suka,” ucap Lita membuyarkan lamunan Gio.

Pria berkacamata tersebut tersenyum. “Saya pesan gado-gado aja.”

Lita memandang ke arah Gio sejenak. ‘Apa itu memang makanan kesukaannya atau dia tau kalau itu makanan kesukaan ku?’

Melihat Lita yang tampak bingung, Gio tertawa kecil. “Saya suka makan sayur atau makanan yang ada protein karena saya menjaga keseimbangan gizi.”

“Aku tidak bertanya tentang itu,” sahut Lita sambil tertawa.

Gio hanya tersenyum lalu mulai memesan makanan dan menyuruh Lita untuk mencari tempat duduk lebih dulu.

Pria itu membawakan makanan yang sudah dipesan ke Lita yang sedang duduk sambil tersenyum saat sedang melihat ponselnya.

“Saya jadi tidak enak makan berdua begini… Nanti pacar mu bisa membunuh saya dengan tatapannya,” ucap Gio sambil meletakkan makanan di hadapan Lita.

Perempuan bermata coklat itu tertawa. “Dia tidak sekejam itu.”

Ekspresi perempuan itu terkejut saat melihat tambahan lauk di piringnya. “Gio… .”

“Kamu harus makan yang banyak karena beban kerja mu lebih banyak.”

Lita tersenyum lalu geleng-geleng kepala. “Jadi, berapa semuanya?”

“Entah, saya lupa harganya.”

“Gio, kan aku yang mau traktir.”

Pria berkacamata itu tersenyum. “Saya merasa terhibur, jadi biarkan saya yang mentraktir.”

“Terhibur? Aku tidak sedang menghiburmu…”

Gio hanya tertawa tanpa membalas ucapan Lita. Ia mulai makan dengan tenang sambil tersenyum.

/Drrrttt…/

Tangan kirinya meraih ponsel sedangkan tangan kanan Gio masih fokus menyuapkan makanan ke mulutnya.

Ekspresinya berubah saat melihat layar ponselnya. Ia melirik ke arah Lita sejenak tapi perempuan tersebut sudah terlanjut melihat ke arahnya.

“Angkat saja, aku tidak akan mencuri dengar,” ucap Lita yang kemudian fokus dengan makanannya.

Gio sempat ragu untuk menjawab panggilan tersebut tapi ponselnya terus berbunyi.

/Klik… /

“Ya bos?”

“Apa yang sedang kamu lakukan?”

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status