Pagi itu Akira begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan barunya. Dia berhasil diterima sebagai asisten CEO di sebuah perusahaan besar. Sebuah jabatan yang terbilang cukup bergengsi bagi seorang lulusan baru seperti dirinya.
Akira bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dan menjalani pekerjaannya sebaik mungkin. Lagi pula dia menggantungkan harapan besar pada pekerjaan itu. Dia berharap gajinya dari pekerjaan baru bisa membuat taraf hidup keluarga mereka menjadi lebih baik.
Saat dinyatakan diterima di Lexie Company, Akira yang sebelumnya bekerja di lembaga English course langsung mengajukan surat pengunduran diri. Dia sempat datang ke sana dan berpamitan langsung dengan teman-teman tutor. Mereka semua merasa kehilangan tapi juga ikut bahagia dengan pekerjaan baru Akira.
Tapi satu orang yang membuat Akira merasa paling berhutang budi adalah sahabatnya, Clarissa. Sahabatnya itulah yang menyarankan Akira untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu bahkan memberikan kartu nama sang sekretaris. Akira merasa tidak akan mencapai posisinya tanpa bantuan dari Clarissa.
Setelah bersiap-siap, Akira sempat melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Dia harus sampai di kantor pada jam tujuh pagi. Akira juga teringat pesan Levin kemarin yang mengatakan bahwa Albert tidak menyukai orang yang tidak tepat waktu. Dia tidak mau merusak first impression sang CEO di hari pertamanya bekerja.
“Kamu sudah siap, Sayang?” sapa Sofia yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Akira. Dia memperhatikan Akira yang sudah tampak rapi.
“Eh, mama. Iya Akira sebentar lagi akan berangkat,” jawab gadis itu sembari mengambil tas dan menyampingkannya di pundak.
“Kamu tidak mau sarapan dulu?” tanya Sofia saat putrinya sudah berjalan keluar kamar.
“Sepertinya tidak. Akira harus segera berangkat ke kantor, Ma. Ini hari pertamaku bekerja. Lagi pula sekretarisnya kemarin mengatakan bahwa atasanku itu tidak suka jika ada karyawannya yang terlambat,” jawab Akira.
“Mama siapkan bekal ya,” tawar Sofia yang langsung ditolak oleh putrinya.
“Tidak perlu repot-repot, Ma. Akira bukan anak kecil lagi. Putri mama ini sekarang sudah menjadi seorang gadis yang dewasa. Akira bisa mengurus diri sendiri apalagi hanya soal makanan. Mama tidak perlu khawatir,” kata Akira sembari menatap lekat wajah sang ibu. Meyakinkan perempuan itu agar tidak terlalu mencemaskan dirinya.
“Baiklah kalau begitu. Jangan lupa makan nanti,” pesan Sofia.
“Doakan pekerjaan Akira berjalan dengan lancar ya, Ma. Semoga ini menjadi awal yang lebih baik untuk kehidupan kita,” tutur Akira sontak membuat sang ibu memeluk dan mencium kening anak gadisnya.
“Maafkan mama ya, Sayang. Seharusnya ini tanggung jawab mama sebagai orang tua. Sekarang kamu harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup kita,” ungkap Sofia berkaca-kaca.
“Sudah cukup, Ma. Mama tidak boleh mengantar keberangkatanku dengan kesedihan seperti ini. Akira tidak suka. Lagi pula aku sangat menyayangi mama. Apa yang aku lakukan tidak ada harganya dibanding kasih sayang mama,” ujar Akira membuat Sofia tersenyum dan kembali memeluknya dengan erat.
“Baiklah kalau begitu, Akira berangkat dulu ya. Mama baik-baik di rumah,” pesan Akira.
Gadis itu melenggang pergi setelah sempat menyalami ibunya. Akira sudah memesan sebuah ojek online yang akan mengantarnya ke kantor. Dia menunggu di jalan raya depan rumah. Setelah drivernya tiba, Akira langsung berangkat dan melambaikan tangan pada ibunya yang masih menunggu di beranda.
Besar harapan Akira pada pekerjaan barunya. Tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia juga harus menyicil pembayaran hutang ibunya. Ya. Tidak mudah ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana. Sang ibu harus berhutang sana-sini untuk membiayai kuliahnya.
Dulu Akira sempat menolak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Meski keinginannya sangat besar tapi dia sadar diri dengan keadaan keluarganya. Keluarga mereka sudah tidak memiliki seorang kepala keluarga untuk menanggung hidupnya.
Tapi waktu itu, Sofia tidak mau mengabaikan pendidikan untuk putrinya. Ibu itu tetap bertekad kuat untuk menyekolahkan Akira meski dirinya hanya mendapat penghasilan dari usaha catering kecil-kecilan.
Sekitar dua puluh menit perjalanan akhirnya sang driver berhenti tepat di depan kantor Lexie Company yang gedungnya menjulang tinggi. Akira pun turun dan membayar ongkos. Setelah Akira mengucapkan terima kasih, driver itu pun melanjutkan perjalanannya kembali untuk mencari penumpang baru.
Akira tersenyum menatap tempat kerja barunya. Dia melangkah memasuki kantor dengan penuh semangat. Tak lupa berdoa dalam hati semoga segalanya dimudahkan terutama bagi dirinya yang pasti masih butuh beradaptasi.
Akira tiba sekitar sepuluh menit lebih awal. Belum banyak orang yang datang. Dia memutuskan untuk menunggu di tempat khusus yang tersedia di front office. Akira belum tahu di ruangan mana dia akan ditempatkan nantinya.
Semakin siang semakin banyak pula karyawan yang berdatangan. Tatapan mereka tak lepas dari tanda tanya saat melihat Akira. Akira bisa memaklumi hal itu karena dirinya adalah orang baru. Tak lama kemudian Levin pun datang dan menyapanya.
“Albert belum datang. Tapi dia sudah memberikan perintah padaku. Sekarang ikutlah denganku,” ajak Levin dan kemudian berjalan lebih dulu.
“Baik, Pak” ujar Akira dan mengikuti dari belakang. Levin membawanya pada sebuah ruangan.
“Ini adalah ruanganku. Tapi mulai sekarang tempat ini juga akan menjadi ruangan kerjamu. Tempatmu di sebelah sana. Dulunya itu adalah meja Tiara,” kata Levin sembari menunjuk sebuah meja dan kursi yang juga tersedia di sana.
“Terima kasih, Pak” ucap Akira.
“Jangan panggil aku dengan sebutan pak. Aku bukan bos seperti Albert dan aku juga tidak setua itu. Panggil saja Levin,” ujar laki-laki itu dengan akrab.
“Baiklah, Levin.”
“Kalau begitu kamu tunggu di sini saja dulu. Nanti Albert sendiri yang akan memberitahu apa saja yang harus kamu kerjakan. Semangat untuk hari pertamamu bekerja dan semoga kita bisa menjadi rekan yang baik.”
“Sekali lagi terima kasih, Levin” ungkap Akira sembari tersenyum. Dia bisa melihat keramahan dari seorang Levin dari interaksi pertama mereka. Akira senang mendapatkan rekan kerja seperti itu.
Seperti yang sudah dikatakan Levin, hari itu Albert memanggil Akira ke ruangannya. Laki-laki itu menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Akira selama menjadi asistennya. Akira menyimak semuanya dengan baik.
Hari itu juga Albert langsung memberikan Akira setumpuk berkas untuk dikerjakan. Akira sempat terbelalak dan menelan ludah kasar. Tapi bagaimana pun juga dia tidak bisa berkomentar.
Albert mengatakan semua itu adalah tugas-tugas yang ditinggalkan Tiara sebelum akhirnya memutuskan untuk resign. Sekarang tugas itu menjadi tanggung jawab Akira untuk diselesaikan. Akira hanya bisa menerimanya dengan lapang.
Akira belum berpengalaman dan Albert langsung memberinya setumpuk tugas. Meski begitu Akira tidak mau menyerah dan menganggapnya sebagai tantangan pekerjaan. Dia berpikir akan bertanya pada Levin jika ada sesuatu yang tidak dia pahami nanti.
“Kenapa kamu melakukan ini, Akira?” tanya Albert tampak berat hati untuk menuruti. Permintaan Akira membuat Albert tidak percaya. “Kamu sudah menjadi seorang ayah. Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku tidak merasakan kasih sayang seorang ayah? Aku ingin kita menata hidup kita lagi dengan semua hubungan yang lebih baik. Ayo kita benar-benar mulai semuanya dari awal, Al. Lagi pula aku sudah tidak punya ayah. Kalau kamu mau mengakui Pak Adrian sebagai ayahmu, maka aku akan mendapatkan sosok ayah juga walau hanya ayah mertua,” ungkap Akira dengan mata berkaca-kaca dan menatap Adrian pada kalimat terakhirnya. Adrian terharu mendengar ucapan Akira. Dia bahkan langsung merangkul istri putranya itu dengan erat. Tanpa ragu Adrian mengatakan bahwa dia akan menganggap Akira sebagai putrinya sendiri. Perlahan suasana haru semakin meliputi ruang kerja Adrian. Meski sempat ragu-ragu tapi akhirnya Albert pun mengikuti jejak Akira. Dia meminta maaf pada Adrian atas semua sikapnya yang tidak menyen
Pagi-pagi sekali Albert sudah bersiap dengan rapi. Akira bahkan turut membantunya dengan senang hati. Perempuan itu memakaikan dasi di leher sang suami. Kini hubungan keduanya jauh lebih membaik.Mereka sepakat untuk memberikan kesempatan pada hubungan mereka. Bahkan mereka mulai menunjukkan perhatian satu sama lain seperti yang dilakukan Akira pagi itu. Sementara Albert hanya terus tersenyum dan memandang lekat wajah istrinya hingga Akira salah tingkah.“Jangan menatapku seperti itu,” tegur Akira tersipu malu.“Apa tidak boleh menatap istri sendiri?” tanya Albert.“Bukan tidak boleh. Aku khawatir saja kalau kamu terus memandangiku bisa berbahaya.”“Memangnya kenapa?” tanya Albert sembari mengerutkan kening. Dia kebingungan dengan maksud perkataan istrinya.“Kalau kamu terus menatapku, kamu bisa terpesona dan tidak jadi pergi ke kantor nanti,” jawab Akira justru menggoda.Albert memutar bola mata malas sementara Akira hanya tertawa melihat ekspresi suaminya. Sesaat kemudian Albert lan
Kabar kembalinya Akira tidak luput dari pantauan Erna. Seorang ibu yang menyimpan dendam terhadap anak tirinya itu tak mau menunda waktu untuk melakukan pembalasan. Erna sudah bersiap untuk melaporkan Akira ke polisi dan menyerahkan bukti rekaman yang dia miliki.Namun kehendak itu tak sampai terjadi karena rencananya kurang rapi. Albert yang cerdik sudah lebih dulu mengendus niat jahat Erna pada Akira. Selama ini diam-diam Albert memang memata-matai gerak-gerik Erna.Dia sadar ibu itu pasti merasa sakit hati karena Albert menjebloskan putranya ke penjara. Albert selalu waspada untuk mencegah pembalasan dari Erna.“Sialan! Bagaimana bisa Erna mempunyai bukti rekaman tentang perbuatan Akira?” ujar Albert merasa kesal setelah mendapat laporan dari orang suruhannya.“Saya kurang tahu, Bos. Tapi dia berencana untuk melaporkan Nona Akira dengan bukti yang dia miliki. Dia ingin balas dendam pada bos lewat Nona Akira.”“Kurang ajar!” umpat Albert.“Apa mungkin ini ulah Adrian? Mungkin saja A
“Apa yang kalian lakukan pada istriku hingga dia menjadi seperti ini?” tanya Albert geram. Anak buahnya memang sudah berhasil membawa istri dan anaknya kembali ke rumah. Namun Albert tampak marah karena Akira dibawa dalam keadaan pingsan.“Maaf, Bos. Kami terpaksa membius Nona Akira,” jawab salah seorang anak buahnya.“Dasar bodoh!” umpat Albert. “Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada istriku karena perbuatan kalian?”“Kami tidak punya pilihan lain, Bos. Nona Akira terus memberontak. Apalagi kami harus menempuh perjalanan dari luar negeri. Kalau pun kami memintanya ikut secara baik-baik atas permintaan Tuan Albert, apa nona akan mau ikut bersama kami begitu saja? Jadi kami terpaksa menculiknya,” bela salah seorang lainnya.“Bos juga meminta kami membawanya kembali dengan cara apa pun,” imbuhnya seolah tak mau disalahkan.“Terserah kalian saja. Lebih baik aku segera menghubungi dokter sekarang juga. Silahkan kalian keluar dari sini,” ucap Albert kesal.Dua lelaki berbadan kekar itu pun
Pagi-pagi sekali Albert sudah berpenampilan rapi. Dia sudah siap untuk mengambil alih posisinya kembali. Ia merasa kondisinya sudah cukup membaik dan bisa mulai bekerja.Pikirannya juga sudah lebih tenang karena sudah mendapatkan kepastikan terkait keberadaan Akira. Dia hanya perlu menunggu hasil kerja anak buahnya. Dia terus memantau dari jauh dan meminta laporan dari mereka.“Kamu yakin sudah bisa masuk kantor, Al?” tanya Sofia saat melihat menantunya keluar dengan pakaian rapi.“Iya, Ma. Aku sudah beristirahat cukup lama. Aku tidak tahu bagaimana kondisi perusahaan sekarang,” jawab Albert. Dia sadar kini dia bahkan tidak punya kaki tangan yang bisa dipercaya dalam urusan pekerjaan seperti Levin dulu. Dia harus mengurus semuanya sendiri.“Baiklah kalau begitu. Tapi jangan terlalu kelelahan ya. Sekarang kamu harus sarapan dulu sebelum berangkat,” pinta Sofia yang mulai menyiapkan porsi makanan untuk menantunya. Albert benar-benar bahagia dilimpahi kasih sayang seperti itu. Rasanya ta
Sebuah pelukan menandai perpisahan. Hari itu Akira mengantar Dannish ke bandara. Dannish akan pulang ke Indonesia.Sesungguhnya laki-laki itu tidak tega meninggalkan Akira hanya berdua dengan Elza di sana. Tapi Akira tetap memaksanya agar pulang demi Maria. Apalagi setelah kejadian pernyataan perasaan yang dilakukan Dannish.Akira merasa sungkan untuk terus melibatkan laki-laki itu lebih jauh dalam masalah kehidupannya. Apalagi Akira juga tidak bisa membalas perasaan yang sama pada Dannish. Akira menolak cinta Dannish.Meski sedikit kecewa, Dannish tetap bersikap bijaksana. Dia mengatakan bahwa pertemanan mereka tidak akan berubah hanya karena hal itu. Dia masih selalu siap menjadi orang terdepan untuk membantu Akira.“Aku ucapkan terima kasih atas semua kebaikanmu. Aku tidak bisa membalasnya. Kamu bahkan meninggalkan pekerjaan dan keluargamu demi mengikuti aku ke sini. Tapi aku dan Elza bisa menjaga diri sendiri. Lebih baik kamu pulang agar Tante Maria tidak sendirian,” kata Akira.“