Sorry episode ini agak berat, semoga suka(๑˃̵ ᴗ ˂̵)و
Keesokan harinya, gosip tentang Jessica langsung berubah arah. Dulu, Sheryl diserang sebagai cewek pengganggu, sekarang ia dipuji sebagai tunangan setia yang sabar menghadapi drama mantan. Di media sosial kampus, nama Jessica menjadi bahan cibiran. Banyak akun gosip mahasiswa mulai mengungkap screenshot lama tentang tingkah Jessica yang kasar, unggahan sarkas terhadap ibu Alex, dan sindiran kepada Sheryl. Bella hanya bisa mengamati dari kejauhan. "Aku mulai nggak ngerti ini dunia siapa sebenarnya," katanya sambil menggulir timeline kampus. Revan menimpali, "Kalau dunia ini bisa membalikkan cerita secepat itu, kita harus hati-hati. Mungkin saja—dalam satu bab berikutnya—tokoh utama bisa berubah. Dan kamu bisa tergeser." Bella menghela napas panjang. Ia tahu satu hal pasti: segala sesuatu di dunia ini tidak berjalan semestinya. Dan kalau semua berubah terlalu cepat... Mungkin waktunya semakin sedikit untuk keluar. ••• Setelah kejadian di kampus itu, Bella dan Revan sema
Hari itu kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa mahasiswa berkerumun di lapangan tengah, suara gaduh mulai terdengar hingga ke koridor fakultas. Bella dan Revan, yang sedang menyamar sebagai mahasiswa biasa pada jam makan siang, dengan cepat bergabung dalam kerumunan, berpura-pura ikut penasaran seperti yang lain. Tapi sebenarnya mereka sudah curiga sejak awal melihat dua perempuan saling adu tatapan tajam di tengah keramaian. Lalu—PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Sheryl. "Apa-apaan lo!" Sheryl membentak, matanya melotot marah sambil langsung mendorong perempuan di depannya. Ternyata itu Jessica, mantan pacar Alex. Jessica, yang dikenal sebagai cewek populer dan cukup berpengaruh, tampak murka. "Gara-gara lo, gue diputusin Alex! Lo tuh perempuan nggak tahu diri! Ngejar-ngejar cowok orang!" bentak Jessica, emosinya tak terbendung. Sheryl tentu tak terima. “Yang mutusin itu Alex sendiri! Gue nggak pernah maksa dia! Kalau dia mutusin lo, itu urusan kalian berdua.
"Aku khawatir sama kamu... kamu kelihatan menyimpan beban berat, ada apa?" tanya Regan. Bella menatapnya sesaat, cemas. Ingin jujur, tapi takut. Takut kalau reaksinya seperti dulu, menyudutkan. Tak percaya. Regan pasti akan mengundang psikiater. "Enggak ada apa-apa," jawab Bella singkat. Ia berusaha tersenyum, tapi gagal. Ia malah meringis dan kelihatan sekali sedang cemas akan sesuatu. Regan mencondongkan tubuhnya. Telunjuknya terulur, menyentuh pipi Bella, mengarahkannya agar menatap lurus ke matanya. "Kamu pikir aku bakal percaya wajah kayak gitu nggak nyimpen apa-apa?" Sentuhan itu bukan sekadar lembut. Ada tekanan. Ada dominasi yang mempengaruhi mental Bella. Bella menunduk. Tapi Regan tak membiarkannya. Ia memiringkan wajah Bella lagi, kali ini dengan telapak tangannya, dan kemudian menciumnya di pipi. Perlahan, seolah sedang menguji sejauh mana Bella akan membiarkannya masuk malam ini. Bella diam. Ia tak bisa berpikir jernih. Sentuhan itu... memyenangkan. Tapi j
Malam itu, Bella mencatat kembali apa yang ia pikirkan sejak tadi siang. Ia duduk di sudut tempat tidurnya, kaki dilipat, iPad di pangkuannya. Di layar, halaman demi halaman berisi catatan pribadi terbuka. Semua itu berisi hal-hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun—kecuali Revan. Namun malam ini ia tidak sedang mengirim pesan ke Revan. Ia hanya menuliskan ulang semuanya, dalam bentuk urutan kejadian, seperti potongan-potongan teka-teki. [Judul: Bulan ke-18] – Awalnya cerita tetap di relnya. – Tapi sejak aku bicara jujur ke Regan, perubahan dimulai. – Sheryl tidak bersikap seperti di cerita asli. – Dia tidak membenciku. Dia malah memelukku. – Apa karena aku bersikap di luar naskah? – Revan bilang “cerita ini retak karena kita memilih sendiri.” Bella menatap layar iPad-nya sambil mengingat wajah Sheryl siang tadi. Matanya yang sembab. Pelukannya yang mendadak. Bahkan rasa tulus yang entah kenapa terasa nyata. Ia masih menyimpan pertanyaan terbesar, kalau
Revan dan Bella terus khawatir pada kenyataan itu. Dan Bella, gadis yang awalnya hanya figuran—kini seperti sedang menarik benang dari semua kejadian. Hubungan mereka yang semakin dalam bukan hanya membuat Regan cemburu, tapi juga membuatnya khawatir. Khawatir jika cerita ini benar-benar berubah di luar kendali. Revan mengajak Bella bertemu malam hari, di sebuah café kecil dekat kantor mereka. “Gue udah nemuin sesuatu,” katanya serius. Bella meneguk cokelat panasnya. “Apa?” “Gue coba selidikin siapa yang mulai mengubah arah cerita ini. Ternyata ada satu hal yang gue lupakan…” Ia meletakkan sebuah buku catatan kecil di atas meja. Di sana, Revan menulis urutan peristiwa yang terjadi sejak mereka sadar mereka hidup dalam cerita. “Awalnya cerita masih sesuai. Tapi setelah kamu berani mengungkap perasaan sebenarnya ke Regan, semuanya mulai bergeser.” Bella menatapnya. “Jadi, aku pemicunya?” “Bukan,” jawab Revan. “Kita.” Ia menatap mata Bella dalam-dalam. “Gue rasa,
Malam itu, meski terpaksa, Regan tetap datang dengan sopan. Ia mengenakan setelan formal berwarna abu gelap, rambutnya ditata rapi seperti biasa. Namun ada kantung samar di bawah matanya, memperlihatkan bahwa ia mengalami malam-malam tanpa tidur. Hanya saja orang lain mengira Regan sibukdengan pekerjaan, tapi karena pikirannya yang tak bisa berhenti memikirkan Bella. Ia tiba sedikit lebih lambat dari waktu yng dijanjikan. Bukan karena macet, bukan pula karena lupa, melainkan karena ia ingin memotong durasi pertemuan. Semakin lama ia duduk bersama keluarga Yola, semakin besar tekanan yang akan ia hadapi. Malam itu adalah makan malam keluarga. Bukan makan malam biasa, melainkan makan malam yang pasti ke arah hubungannya dan Yola. Dan Regan tahu betul, malam seperti ini selalu penuh jebakan. Sebelum datang, ia sempat menelpon Yola. "Aku minta tolong, jangan turuti omongan orang tuamu soal mempercepat pernikahan," katanya dengan nada berat. "Kita belum siap. Aku belum siap."