Share

5. Cangkir yang Hilang

Adam POV

.

.

.

Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.

Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.

“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”

Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.

Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sumpahku sendiri. Kala itu, aku ingat, aku meminta Rani kepada orangtuanya dengan janji untuk menjaganya. Tetapi aku gagal melakukannya. Bukannya aku tidak mencoba, hanya saja, karakter kami sangatlah berbeda. Aku tidak mengerti pemikirannya dan aku menyerah dengan semuanya itu sebelum aku mencoba.

Maaf. Mungkin hanya itu yang bisa kukatakan kepada wanita yang telah menemaniku selama 7 tahun ini. Bagaimanapun, aku adalah seorang pria. Perceraian ini murni adalah tanggung-jawabku dan bukan Maharani. Tetapi aku memastikan akan tetap menghidupinya.

Menggelengkan kepalaku keras, aku mencoba mengusir rasa bersalahku. Hal itu tidak akan kubiarkan mengusikku dan menghancurkan kebahagiaanku. Malam ini, aku telah begitu bahagia tanpa Rani yang memburuku. Untuk apa aku memikirkan hal-hal yang hanya akan merusak suasana hatiku? Batinku dalam hati memantapkan langkahku untuk masuk ke dalam rumah kami berdua.

“Rani, aku pulang,” kataku sekedar berbasa-basi. Aku tahu Maharani mungkin sudah tidur mengingat aku sudah memberitahunya untuk tidak mencampuri urusanku kala kami masih di depan pintu pengadilan pagi tadi.

Tidak ada jawaban. Yups! Aku merasa sangat lega. Tidak ada omelan dan tidak ada kemoceng dari isteriku. Maharani rupanya sudah mulai tahu batasannya. Menghela nafasku, aku lalu menyusuri ruang tamu yang terasa sepi, tidak seperti biasanya. Tetapi aku tidak tahu apa perbedaannya, meskipun aku mengamatinya.

Mataku menyipit dan aku mulai menaikkan kewaspadaanku. Memasuki ruang dapur, aku kembali merasakan keganjalan yang menggelitikku dengan sangat. Sepertinya, ada sesuatu yang salah disana. Sejenak, aku merenungkan keanehan yang kurasakan hingga tanganku memegang sebuah cangkir yang biasa aku pakai untuk minum.

“Papa”

Begitulah tulisan pada cangkir berwarna hitam itu. Tanpa kusadari memoriku seketika berputar di otakku. Aku teringat, dahulu, cangkir itu adalah kado pernikahan yang aku dan Rani terima. Kala itu, wajah Rani merona dan ia berkata kepadaku.

“Mas, coba lihat kado ini,” katanya menunjukkan sepasang cangkir berwarna hitam dan putih.

“Bagus ya. Dari siapa?” tanyaku kepadanya.

“Dari Winda, Mas. Dia itu temanku,” sahutnya kemudian.

“Oh. Bagus,” seketika aku menimpali perkataannya.

Dengan malu-malu, Rani lantas menyodorkan cangkir berwarna hitam itu kepadaku, sementara dia memegang yang berwarna putih.

“Papa” dan “Mama”

Kedua tulisan itu tercetak pada masing-masing cangkir yang kami pegang. Dan sejak saat itu, kami berdua selalu memakainya.

Tetapi sekarang, hanya ada milikku saja disana. Dimana milik Rani? Batinku dengan penasaran. Melangkahkan kakiku, aku mencoba mengintip ke dalam wastafel yang bersih itu. Tidak ada cangkir Rani disana. Aku semakin penasaran hingga aku mulai membuka semua almari di dapur itu. Semuanya bersih dan tertata rapi.

Aku semakin bingung. Ada apa denganku? Seruku di dalam batinku sembari kedua mataku terus mengamati seluruh ruangan yang ada di lantai satu. Beberapa detik aku mulai berpikir sampai aku menangkap suasana ruang tamu dan ruang keluarga yang nampak sama sekali berbeda.

Tidak ada vas bunga. Tidak ada korden berenda-renda. Tidak ada buku-buku memasak di meja itu. Tidak ada foto-foto kami berdua. Sebaliknya, yang ada disana, hanyalah sofa dan perabot yang terasa begitu datar.

Seketika dadaku berdegup dengan kencang. Rasa takut menyelimutiku dan tiba-tiba aku merasakan keringat dingin mulai keluar dari dahiku. Rani, apakah dia … sebelum sempat melanjutkan kata-kataku, aku segera berlari menuju ke kamar miliknya.

“Ran? Rani? Apa kau ada di dalam?” tanyaku lekas membuka pintu kamarnya yang telah kosong.

Plas!

Seketika ada gelenjar aneh yang meledak di dalam dadaku. Rasanya, ada sesuatu yang terlepas dari genggamanku. Rasanya tidak nyaman dan hatiku menjerit merasa tidak rela.

“Shit!” aku mengumpat.

Menyugar rambutku, aku merasa kebingungan sendiri. Kamar itu telah kosong, begitupun dengan seisi rumah kami. Aku mengatur nafasku. Dadaku ingin meledak, entah itu rasa sedih, takut atau marah. Aku sampai tidak bisa mendefinisikanya.

Kejadian ini terlalu mendadak bagiku. Dan otakku tidak bisa memprosesnya. Rani, isteriku itu tidak pernah keluar rumah. Temanpun dia tidak punya. Kemana dia bisa pergi? batinku dengan linglung.

Bergegas, aku merogoh ponselku dan segera menekan nomor miliknya.

“Tut! Tut! Tut! Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada diluar jangkauan,” seketika aku membantingnya! Rani pasti telah mematikan ponselnya.

Aku menjadi semakin khawatir. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Rani? Bagaimanapun, dia masih isteriku! batinku semakin panik.

Bergegas, aku lalu mengambil kunci mobil untuk mencarinya, “Pak, apakah anda melihat isteriku?” tanyaku kepada petugas keamanan yang sedang berjaga di komplek perumahan kami.

Alis satpam itu naik sebelah. Ia sepertinya merasa aneh dengan pertanyaanku. Ya, aku tahu aku aneh dengan menanyakan isteriku sendiri kepada orang asing. Tetapi bisakah dia cepat menjawabnya tanpa berpikir yang macam-macam? gerutuku dalam hati.

“Maaf Pak Adam, isteri anda tidak di rumah?” satpam itu malah berbalik bertanya kepadaku.

Aku sudah tahu, dari ekspresinya ia pasti tidak melihat Rani. Menancapkan gas, aku lalu melaju untuk  menyusuri semua jalan-jalan disana. Satupun, tidak ada jalan yang terlewat. Dan Nihil! Rani tetap tidak kutemukan.

“Brengsek!” aku memukul setir mobilku dengan kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari dan Rani belum juga kutemukan.

Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing. Aku tidak mampu berpikir lagi sampai-sampai aku hendak melaporkan hilangnya isteriku ke kantor polisi terdekat. Sayangnya itu tidak jadi kulakukan setelah aku menerima sebuah pesan darinya.

“Mas, aku di rumah Winda,” tulisnya pada pesan itu yang membuatku bernafas dengan lega.

"Rani, kau hampir membuatku gila!" gumamku dengan lirih.

Isteriku itu begitu polos. Dia tidak pernah bepergian jauh, tidak pernah naik taxi sendiri dan tidak mengenal jalan-jalan di kota itu. Aku menyangka dia akan tersesat atau mungkin hal-hal buruk terjadi padanya. Dan hal itu membuat jantungku rasanya mau copot!

Memutar kemudiku, aku segera kembali ke rumah kami yang sepi itu. Ada sesuatu yang hilang ketika aku kembali memasukinya. Dengan perasaan hampa, aku terus masuk dan menuju ke dalam kamarku. Mungkin dengan tidur, aku bisa mengusir perasaan aneh yang sedari tadi mengusikku. Bukankah seharusnya aku senang dengan kepergian Maharani? 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status