Home / Romansa / Terjerat Aturan! / 6. Teringat Mas Adam

Share

6. Teringat Mas Adam

Author: Rainy
last update Last Updated: 2022-01-08 14:42:29

.

.

.

Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.

“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.

Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan.

"Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.

“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.

“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.

Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong. Terdiam, aku mengolah situasi yang ada disana.

“Ran, apa kau baik-baik saja?” tanya Winda mendekatiku.

Sesaat setelah dia menyentuh bahuku, getaran rasa pedih kembali menyambar hatiku bagai luapan topan yang bergulung begitu saja. Sudah lama aku menahannya seorang diri. Sekarang sudah tidak sanggup lagi.

“Win … Hiks …,” aku menangis dalam dekapannya. Kutaruh pisau dapurku dan kuhentikan apa yang kukerjakan. Mas Adam telah menjadi rutinitasku. Terpatri kuat dan menjadi kompas, bahkan meskipun aku telah pergi dari sana.

Biasanya setiap bangun pagi, aku akan menyiapkan sarapan pagi untuk pria itu. Setiap sendok yang dia suap kuperhatikan, untuk mengetahui hal yang dia suka atau tidak. Kutulis. Kutandai. Dan kuingat-ingat. Seluruh otakku kuhabiskan untuk memikirkan dan melayaninya. Bahkan mulutku sampai kering untuk menasihatinya.

Tetapi apa yang dilakukan oleh pria itu? Dia tidak pernah puas! Bagai menggarami lautan, semua yang kulakukan adalah kesia-siaan. Dia tidak pernah suka. Memujiku adalah sebuah kenajisan baginya. Dan suaraku dianggap gangguan olehnya.

Kutatap Winda dan kukeluarkan seluruh asa yang selama ini kupendam sendirian. Sampai semua tercurah dan aku merasa lega.

“Sorry Win, aku mendadak teringat Mas Adam,” jelasku sembari mengusap air mataku. Aku tidak tahu dengan perasaanku sendiri yang sangat kacau. Rasa sedih, terluka dan marah seketika bercampur aduk menjadi satu. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

“Rani, tenanglah. Hari ini jangan pikirkan tentang dia. Hm?” ucap Winda seraya memberikan sebuah koper berwarna merah menyala kepadaku.

Sejenak aku termenung memandang koper sebesar itu. Sedangkan Winda, dia malah tersenyum melihat ekspresiku.

Bagai busur pelangi yang Sang Esa bentangkan di awan-awan, isi di koper itu penuh warna. Berbagai macam gaya busana ada disana dengan style kekinian. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Menyipitkan kedua mataku aku mencoba mencerna maksud sahabatku itu. Seluruh baju itu …

“Lihatlah Ran. Ini semua untukmu,” katanya kepadaku.

Baju-baju itu pasti sangat mahal, batinku dengan perasaan tidak nyaman. Bukan karena aku tidak suka, tetapi aku tidak mau merepotkan sahabatku itu.

“Win … Ini-“ Aku mencoba mengutarakan kesungkananku, tetapi Winda terlebih dahulu memotongnya.

“Rani, tenanglah. Aku tidak memberinya gratis padamu. Aku sekarang menjadi seorang desyner dan merintis butikku sendiri. Aku memerlukan seorang model untuk baju-bajuku Ran. Untuk itu, mulai sekarang, kau akan menjadi modelku bagaimana?” Winda menerangkan maksudnya yang membuatku merasa lega. Setidaknya aku tidak perlu berhutang banyak padanya kelak.

“Model? Tapi Win… apa aku bisa melakukannya? Aku kan hanya seorang ibu rumah tangga,” jelasku dengan penuh keraguan.

 “Ckck … Tidak lagi Ran. Kau bukan lagi seorang ibu rumah tangga. Kau adalah Maharani, seorang primadona di SMA dulu. Apakah aku perlu mengingatkanmu?” sahut Winda sedikit melirik ke arah tubuhku yang hanya mengenakan sebuah daster bermotif bunga-bunga.

Aku sedikit menunduk seakan mengerti dengan maksud Winda. Dia benar. Karena selalu berada di rumah, aku hampir tidak pernah memakai baju bagus. Aku tidak pernah memakai lipstick atau sejenisnya. Bahkan seringkali aku lupa mencuci rambutku yang begitu lebat. Aku merasa tidak ada orang yang akan melihatku sehingga aku tidak memperhatikan diriku sendiri sampai mungkin aku tidak menyadari jika aku terlihat sedikit lusuh.

Tawaran Winda seketika menyirami kegersangan hatiku. Mengguyurnya hingga menumbuhkan satu tunas harapan untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Primadona SMA, itulah diriku sebelum dinikahi oleh Mas Adam.

“Lalu apa yang bisa aku kerjakan sebagai modelmu Win? Dan apa yang harus kulakukan dengan semua pakaian pemberianmu ini?” tanyaku kepadanya.

Tersenyum dengan lembut, Winda lalu mengambil satu diantaranya, “Mulai sekarang, setiap hari dan setiap saat, kau harus memakai semua baju buatanku Ran. Dengan kata lain, jadilah promosi berjalanku, termasuk saat kau menjadi sekretaris esok hari. Apa kau bisa?”

Aku berkedip beberapa kali, tawaran Winda begitu menggiurkan. Meskipun yang sebenarnya, aku tahu maksud yang terselubung di dalam tawaran itu. Dia telah mengemasnya dengan sangat baik supaya aku tidak terluka. Winda hanya tidak mau aku dipermalukan di sana, di kantor suami yang mau menceraikanku.

“Baik Win. Aku setuju untuk menjadi promosi berjalanmu,” ungkapku mengikuti scenario sahabatku yang ingin membangkitkan harga diriku.

Mendengarnya, Winda begitu senang. Dia bahkan sampai melonjak kegirangan. Dan setelahnya, ia langsung saja menarikku untuk pergi bersamanya.

“Eh, Win. Tunggu dulu. Aku belum menyiapkan sarapan untuk kita berdua,” kataku kepadanya.

“Ckck … ” Winda hanya tertawa mendengarnya. Sepertinya perkataanku membuatnya merasa geli. “Astaga Rani, 'kan tadi sudah kubilang kalau kamu itu bukan ibu rumah tangga lagi. Berlakulah layaknya gadis. Kita ini masih 25 tahun Ran. Ayo kita makan diluar dan setelahnya mempermak dirimu,” ucapnya terus menarikku untuk menjauh dari dapur yang dianggapnya neraka itu.

"Nikmati aroma kebebasanmu, Ran. Sejenak lupakan sengketamu dengan Mas Adam," Winda mengerlingkan satu matanya kepadaku.

Sengketa? Entah mengapa aku tertawa. Benar sekali. Aku telah menghabiskan waktu 7 tahun hanya untuk mengomeli suamiku bagai dua orang yang selalu bersengketa. Rasanya sudah cukup! Dan sekarang, aku juga ingin mencium aroma kebebasanku, sama seperti dirinya.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Aturan!   30. Seperti Kapal Pecah!

    ...Akhirnya aku menyetujui perkataan Mas Adam. Mau bagaimana lagi, Pak Hakim akan mengadakan inspeksi dan besok aku juga harus membayar arisan. Jadi, ya, aku tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah.Dan sekarang, kami telah masuk area perumahan kami. Suasananya cukup ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 19.00 malam. Beberapa anak muda terlihat sedang bersama-sama hendak pergi ke suatu tempat. Dan beberapa keluarga juga nampak sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Tak heran, ini adalah sabtu malam minggu. Waktu yang tepat bagi orang untuk bersenang-senang, batinku sebelum aku berbicara kepada Mas Adam.“Mas Adam, nanti mau pergi lagi?” tanyaku kepadanya.Ya, Mas Adam dahulu sering merasa terkekang karena aku selalu menuntutnya di rumah setiap malam minggu. Mengingat itu, aku jadi merasa sedih. Jadi aku sekarang sudah menyiapkan hati andaikala dia ingin bersama dengan teman-temannya.“Engga Ran,&r

  • Terjerat Aturan!   29. Intimidasi untuk Pulang

    . . . Perasaanku begitu kacau. Sudah dengan sekuat tenaga aku berusaha melupakan Mas Adam. Tetapi pria itu … dia malah bersikap manis dan membuat jantungku berdetak kembali manakala dia memandangku. Dan seperti sekarang, aku bahkan dibuat tertarik untuk mencuri pandang kepada pria yang sedang membantu memperbaiki lampu yang padam di luar. “Ehem!” sebuah suara tiba-tiba saja menyadarkanku. Aku terkejut karena ibuku mendadak datang ke dapur dan menepukku dari belakang. “Eh, Ibuk kenapa ngagetin Maharani sih?” keluhku seraya meletakkan apel yang baru saja kucuci ke atas piring buah didepanku. “Ran, kamu itu yang kenapa? Dari tadi ibuk manggil kamu tapi kamu itu malah fokus ngelirik suamimu terus dari jendela. Memangnya kamu engga puas apa liat dia siang-malam? Kayak lagi pacaran aja,” sahut ibuku yang dapat didengar oleh Mas Adam dari luar. Aku menutup mulutku karena merasa sangat malu. Astaga, kenapa ibuk mengatakan hal itu sih?!

  • Terjerat Aturan!   28. Khilaf

    Adam Pov...Malam telah berganti pagi di kediaman mertuaku di Bandung. Samar-samar, aku dapat mendengar suara nafas Maharani yang mengalun begitu lembut. Aku tahu dia begitu lelah, karena dini hari tadi aku sempat membangunkannya untuk sekedar berciuman hingga akhirnya aku khilaf dan hampir saja menidurinya andai saja dia tidak mengatakan bahwa dirinya sedang datang bulan.Dan lihatlah, sekarang leher putihnya itu sudah penuh dengan tanda kebiruan. Hanya saja, aku belum begitu puas karena Maharani terus saja berusaha menutupi bagian dadanya yang sedari sebulan lalu sudah membuatku sangat penasaran itu.Ah! Tidak apa-apa! Mungkin sekarang memang belum waktunya bagiku untuk meminta lebih. Jadi aku tidak ingin memaksanya, batinku merasa yakin bahwa hubungan kami akan kembali seperti semula.Sejenak, aku mengamatinya tidur. Isteriku itu sebenarnya memang sangat cantik. Alisnya begitu tebal dan terbentuk secara alami. Bulu matanya begit

  • Terjerat Aturan!   27. Tidur Sekamar

    ...Dari jendela lantai atas, aku dapat melihat Mas Adam dan para pria bercengkerama dengan begitu asyiknya. Ah, aku tidak ingin mengganggu mereka. Jadi tadi aku dan ibu memilih makan di dapur sambil bercerita singkat.Dan sekarang, aku bingung sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebentar lagi, para bapak-bapak itu akan pulang dan Mas Adam akan naik ke lantai atas. Lalu bagaimana ya kalau Mas Adam tahu kalau aku akan tidur sekamar dengan dia? Batinku.Sambil menggigit jariku, aku berpikir serius. Aku yakin Mas Adam tidak akan suka jika aku tidur sekamar dengan dia. Aku masih ingat, 3 tahun lalu dia mengatakan bahwa dia lebih suka tidur sendiri karena aku hanya akan mengganggunya tidur.Memang benar sih! Dulu aku selalu saja menggelendoti dia. Kalau dia tidur, aku suka memeluk dia dengan erat sampai dia merasa kepanasan dan susah bernafas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku dulu kan memang mencari perhatiannya.Mengingat it

  • Terjerat Aturan!   26. Ingin Rujuk?

    ...Setelah Maharani pergi, Bapak terlihat menghela nafasnya dengan berat. Sambil membolak-balikkan ayam bakar itu kembali, Bapak kembali berbicara denganku.“Maharani itu masih kecil, Dam,” ujar Bapak secara tiba-tiba kepadaku. “Teman-teman seumurannya banyak yang masih main-main, jadi kalau Maharani kurang melayani kamu sebagai isteri, Bapak harap kamu bisa mengerti,” tambah Bapak.Mendengar itu, aku menggelengkan kepalaku pelan. Maharani sampai lupa merawatku? Mustahil Pak, batinku seraya mengingat kehebohan isteriku itu dalam melayaniku selama 7 tahun ini.“Tidak Pak, Maharani sangat bisa melayaniku, jangan khawatir,” sahutku sambil mengambil ayam lain untuk kuletakkan ke atas perapian."Baguslah kalau begitu. Itu memang tugas seorang isteri untuk merawat suaminya. Kalau Maharani sampai cuek sama kamu, kamu harus bilang ke Bapak ya, biar Bapak nasihati dia," ucap Bapak."Iya Pak,"

  • Terjerat Aturan!   25. Pulang ke Bandung

    ...Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 3 jam. Setelah travel menurunkanku di pinggir jalan, aku langsung menderek koperku untuk menuju ke rumah besar dengan warna kuning gading disana. Itu adalah rumah warisan kakek untuk Bapak. Melihat bahwa lampu di dalam rumah masih menyala terang, aku langsung tersenyum. Sudah tidak sabar aku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku sehingga aku mempercepat langkahku untuk lekas sampai kesana.“Bapak, Ibu, Maharani pulang … “ sapaku kepada rumah yang nampak sepi itu.Eh? Ini baru pukul 8 malam, pintu tidak dikunci dan lampu masih menyala terang, tetapi mengapa orang-orang sudah pada tidur? Batinku seraya menarik koperku untuk masuk ke dalam rumah.“Ibu… aku pulang,” kataku kembali.Bergegas, aku lalu meletakkan koperku di dekat kursi meja makan. Setelah itu, aku meletakkan tas plastic besar berisi oleh-oleh dari Jakarta dan mengeluarkan isinya satu-persat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status