เข้าสู่ระบบMita menghela napas panjang, sebuah tarikan napas yang terasa berat seolah oksigen di ruangan itu mendadak menipis. Tatap matanya tertambat pada wajah Gara yang kuyu.Pemuda di depannya ini tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan pegangan di tengah badai, limbung dan rapuh.Bukan tangis yang pecah dari Gara, melainkan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan, sebuah kesunyian yang menusuk. Kehancuran yang ditahan sekuat tenaga di balik katup bibir agar tidak terdengar sebagai raungan.Sebagai seorang ibu, Mita bisa merasakan getaran itu merambat ke dalam nadinya sendiri. Ia tahu rasa itu, rasa dikhianati oleh sosok yang seharusnya menjadi tempat pulang paling aman.Seketika, bayangan Samudra melintas di benaknya. Mita membayangkan putranya kelak, saat kebenaran tentang ayahnya tidak lagi bisa disimpan rapi di balik laci terkunci.Dada Mita mengencang, ia sadar bahwa luka akibat pengkhianatan tidak pernah memilih usia. Ia menyerang orang dewasa dan anak-anak dengan keganasan yang
Ada ribuan kata yang mendesak di pangkal tenggorokan Gara, berebut untuk keluar, namun tak satu pun yang sanggup menjelma menjadi kalimat utuh.Pikiran Gara serupa benang kusut, bayangan wajah lelah sang Mama berputar liar, bertabrakan dengan nominal lima ratus juta, kabar kehamilan yang menyesakkan, dan sebuah kebohongan kecil yang kini terasa semakin besar.Gara mengeraskan rahang, mencoba mencari pijakan di atas lantai ruang kerja yang mendadak terasa goyah."Apa maksud Papa?" Suaranya rendah, nyaris parau, tertahan oleh ego yang terluka.Sebagai seorang anak, ada insting purba yang bangkit dalam diri Gara setiap kali nama mamanya disinggung dengan nada merendahkan. Terlebih jika itu datang dari Sadewa, pria yang menurutnya adalah arsitek utama di balik seluruh reruntuhan hidup mereka.Andai saja dulu Sadewa tidak berkhianat. Andai saja kesetiaan bukan barang mewah bagi pria itu. Gara yakin, mereka masih akan duduk di meja makan yang sama hari ini, sebagai sebuah keluarga yang utuh
“Penjilat.”Batin Gara berdesis saat melihat Monic melangkah berdampingan bersama Sadewa.Senyum gadis itu terlalu licin, terlalu hafal medan, seolah setiap lengkung bibirnya sudah dilatih di depan cermin selama bertahun-tahun.Ia dan Sadewa hanya saling menatap. Tidak ada pelukan hangat seorang ayah, tidak ada basa-basi yang mencairkan suasana.Dua pasang mata yang sama-sama keras saling beradu tatap dan menyepakati satu arah tanpa perlu suara.Mereka berjalan berdampingan menuju ruang kerja Sadewa. Langkah kaki mereka jatuh dengan irama yang sama, sebuah keserupaan genetik yang dibenci Gara. Pintu kayu jati itu tertutup perlahan, memutuskan hubungan dengan dunia luar.Di luar, udara terasa mencekam. Marina berdiri dengan rahang mengeras, seolah-olah ada rasa pahit yang mendadak meluap dari pangkal lidahnya. Sementara itu, Monic memiringkan kepala, menatap punggung ayah dan anak itu yang menghilang dengan binar yang sulit diartikan.“Kenapa Mama selalu kelihatan benci kalau Mas Gara
Pagi itu datang dengan aroma nasi goreng hangat dan telur dadar manis yang mengepul, sebuah ritual kecil yang biasanya menjadi perekat di antara mereka. Amara menata meja dengan sangat rapi, terlalu rapi, seolah-olah dengan merapikan letak sendok dan garpu, ia bisa merapikan hatinya yang sedang porak-poranda.Amara mematung, telinganya tajam menangkap setiap bunyi. Ia menunggu langkah kaki Gara dari kamar. Menunggu suara berat yang biasanya menyapa pagi dengan kalimat singkat dan santai.Namun, yang merayap masuk ke ruang makan hanyalah sunyi yang menyesakkan.“Gar, sarapan,” panggil Amara.Amara mengatur napas, berusaha agar suaranya terdengar seperti ibu pada hari-hari biasa. Normal. Tidak ada yang salah.Pintu kamar terbuka dengan derit pelan. Gara muncul bukan dengan kaos rumahannya, melainkan dengan jaket kulit hitam yang sudah terpasang rapat. Helm full face menggantung di tangannya. Wajah anak itu bersih, namun dingin, datar seperti dinding yang baru dicat. Matanya tidak meliri
Kalimat itu jatuh tanpa peringatan. Seperti hantaman godam yang menghujam tepat di ulu hati Gara, meremukkan udara di paru-parunya hingga sisa oksigen terasa beracun.“Apa?” Suara Gara pecah, serak oleh ketidakpercayaan yang mendesak keluar. “Mama bercanda, kan? Ini nggak lucu, Ma. Sama sekali nggak lucu.”Amara menatap putra semata wayangnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia seolah membangun bendungan tak kasat mata agar air mata itu tidak tumpah.Di balik selaput bening itu, ada binar ketakutan dan luka yang begitu mendalam, jenis ketakutan yang belum pernah Gara lihat seumur hidupnya, bahkan saat mereka harus bertahan hidup di titik terendah dulu. Saat awal perceraian kedua orang tuanya.Amara menggeleng samar, bibirnya bergetar hebat sebelum akhirnya ia mampu bersuara.“Mama hamil, Gar,” ulangnya. Kali ini dengan penekanan yang menyakitkan, seolah setiap suku kata adalah jarum yang menusuk kulitnya sendiri. “Ini adik kamu.”Dunia di sekitar mereka seketika kehilangan porosnya. Di da
Udara di ruang makan itu mendadak kehilangan oksigennya. Amara menyandarkan punggung ke kursi, gerakannya kaku saat menyeka sudut bibir dengan tisu. Ia lalu meneguk es teh manisnya hingga tandas, berharap rasa dingin itu bisa membekukan debar jantung yang mulai liar.Pasti Sadewa. Nama mantan suaminya itu langsung muncul di kepala seperti duri. Sadewa memang tipikal pria yang akan menghitung setiap helai rupiah yang ia kirimkan untuk Gara, memastikan tidak satu sen pun ‘dicicipi’ oleh Amara.Namun, Sadewa lupa satu hal. Pengadilan telah mengetuk palu; hak asuh ada di tangan Amara. Namanya tertulis sah sebagai wali, yang berarti Amara adalah pemegang kunci tunggal atas rekening, aset, dan segala masa depan Gara.“Kenapa tiba-tiba nanya itu?” Amara akhirnya bersuara. Nadanya datar, terlalu datar, jenis ketenangan yang justru meneriakkan ada sesuatu yang disembunyikan.“Cuma ingin tahu,” jawab Gara pendek. Matanya menatap sang mama tanpa berkedip. “Ingin memastikan kalau semuanya baik-ba







