LOGINPandangan Meyra sedikit kabur. Dia berusaha menstabilkan napasnya yang masih menggebu-gebu.Glen akhirnya mendongak. Sebagian bibir dan dagunya terkena cairan bening milik Meyra. Namun, bukannya menunjukkan rasa jijik, Glen malah dengan tenang mengusapnya, lalu menjilat sisa cairan itu dengan ujung lidahnya.“I-itu jorok, Pah!” seru Meyra memperingati.Glen hanya menyeringai kecil, tak peduli dengan peringatan lemahnya itu. Dia mendekat, meletakkan kedua tangannya di antara tubuh Meyra.“Menurut Papa ini manis, Meyra. Ditambah kalau sambil lihat kamu lagi klimaks, itu kelihatan seksi banget,” pujinya frontal.Seketika, kata-kata itu membuat Meyra memerah merona dari ujung kepala sampai leher. Debaran di jantungnya yang baru saja reda kembali berdetak kencang, kali ini dipicu oleh sesuatu yang bukan hanya fisik.“Papa udah, ih! Jangan begini. Mas Evan bisa curiga aku ngilang lama-lama,” geram Meyra sedikit sebal, berusaha mengalihkan fokus dari rasa malu yang membakar.Glen terkekeh pe
Meyra terpaku di tempat, masih sedikit terkejut oleh serangan pertanyaan dan suasana yang mendadak tegang. Matanya mengerjap pelan, mencerna situasi. Jantungnya sedikit berdebar kencang.“P-papa kok tau soal itu?” tanyanya sedikit terbata-bata, dengan raut wajah penuh keheranan.Glen mendengus kasar. Dengan nada menyindir dan cemoohan, dia bertanya. “Jawab aja pertanyaan Papa. Kamu masih minta nafkah batin ke Evan setelah tau semuanya? Kamu sudi disentuh sama dia?”Alis Meyra mengerut dalam. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan itu, bercampur rasa tersinggung dan kejijikan yang mendalam terhadap Evan.“Sama sekali nggak! Lihat mukanya aja aku udah muak,” bantahnya dengan tegas.“Terus kenapa kamu ngomong kayak gitu?” desak Glen tak sabar.Meyra menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri agar tidak terbawa emosi. Cengkeraman Glen di pergelangan tangannya pun terasa semakin kuat.“Itu cuma buat alasan aja supaya nggak gampang maafin Mas Evan. Dia nggak akan mau sentuh aku karena
Sosok Evan muncul dan berjalan menghampirinya.“Ck, apa?!” sahut Meyra dengan tatapan sinis. Wajahnya langsung berubah datar.Evan segera menghentikan langkahnya di ambang pintu ruang makan, tertegun melihat reaksi tajam istrinya. “Aku mau tanya di mana baju tidur aku?”“Ya di lemari tempat biasa,” balas Meyra singkat, tanpa menoleh. Dia berbalik dan kembali fokus mencuci alat masak yang sempat terhenti.Namun, Evan masih belum pergi juga. “Aku cari-cari nggak ada, kok.”Seketika, Meyra mendengus kasar, sama sekali tak menyembunyikan kejengkelannya yang sudah di ujung tanduk. Dia melempar spons cuci piring dan pisau dapur yang sudah ia bilas ke bak wastafel hingga menimbulkan suara berdentang keras.“Sini ikut,” ajaknya dengan ketus. Lalu, tanpa menunggu, dia melangkah pergi lebih dulu menuju kamar tidur.Evan terdiam sejenak di tempat, masih sedikit syok dan tak menyangka dengan sikap frontal dan berani Meyra saat ini.‘Dia kok jadi serem gini, sih?’ batinnya heran sekaligus muncul r
“Aku masih belum mau maafin kamu,” ucap Meyra, lebih jelas dan tegas kali ini.Rahang Evan sedikit menegang. Dia melangkah mundur, melepaskan pelukannya.“Terus mau kamu apa, hm? Apa lagi yang harus aku beli buat kamu?” tanya Evan, dengan nada yang sedikit dinaikkan, campuran frustrasi dan kelelahan.Meyra menaruh pisau dapur di tangannya, merasa ingin sekali menggunakan benda tajam itu. Namun akhirnya, dia berbalik menatap Evan.Langkahnya kian mendekat. Satu tangan Meyra perlahan naik, mengusap sisi wajah Evan yang kaku dan menegang. Sentuhannya lembut, namun penuh dengan arti yang tak bisa ditebak.Senyuman manis merekah di bibir Meyra. Dia berbisik lembut di telinga Evan. “Malam ini kita, bisa kan? Atau mau honeymoon aja sekalian?”Mendengar hal itu, seketika Evan menegang seperti patung. Jakunnya naik turun menelan ludah dalam kepanikan. Dia teringat dengan jelas pada larangan tegas Erina untuk tidak menyentuh Meyra sama sekali.Namun di sisi lain, posisi jabatan Evan dipertaruhka
Meyra menyunggingkan seringai kecil, ekspresi kemenangan terpancar di wajahnya. “Loh? Katanya pasti beliin apa pun yang aku mau?”“Ya nggak semahal itu! Kamu nggak lihat harganya? Masing-masing barang lebih dari seratus juta! Coba kamu hitung berapa totalnya!” geram Evan, suaranya memekik penuh emosi.Jika sebelumnya, di hari-hari biasa, Meyra pasti akan langsung ciut mendengar nada marah Evan. Tapi kali ini, Meyra malah menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara yang memekakkan itu. Dengan santai dia menghela napas lelah.“Emangnya kenapa? Sebelumnya Papa pernah beliin aku gaun lebih dari seratus juta harganya,” balas Meyra ringan.“Itu karena Papa lebih kaya dari aku. Kamu harusnya mikir, dong!” bentak Evan, nada suaranya semakin tinggi, dipenuhi rasa frustrasi karena merasa diperas.Meyra memutar bola matanya, rasa sebal mulai menggelegak.“Ya terserahlah. Nggak usah pulang lagi kalau gitu,” balasnya penuh keberanian, seolah menantang.Hening sesaat memenuhi sambungan telepon.
“Tuan Evan.”Panggilan itu sontak membuat Evan yang asyik berbincang langsung mematikan panggilan di ponselnya. Dengan gerakan refleks, dia menoleh ke sumber suara. Jantung berdebar kencang.Dan ternyata, itu hanyalah Bi Tuti, pelayan setia di rumah ini. Wanita paruh baya itu kebetulan lewat saat kembali dari lantai dua setelah menjemur pakaian.“Ada apa, Bi?” tanya Evan, berusaha menenangkan suaranya yang terdengar panik, sambil menyelipkan ponsel ke saku celana.“Saya udah masak kalau Tuan mau sarapan,” jawab Bi Tuti memberitahu.Evan memutar bola matanya. Lalu mengibaskan tangannya seolah mengusir sesuatu yang mengganggu. “Iya, iya. Sana lanjut kerja aja.”Bi Tuti mengangguk patuh dan melangkah pergi menuju dapur.Diam-diam, Evan menghela napas lega. Hampir saja ketahuan. Dia takut percakapan tadi terdengar olehnya. Namun ternyata tidak.Akhirnya, setelah menenangkan diri, Evan berdiri tegak. Kemudian melangkah menuju kamar tidurnya yang masih tertutup rapat.Evan hanya bisa berdir







