LOGINMeyra menyunggingkan seringai kecil, ekspresi kemenangan terpancar di wajahnya. “Loh? Katanya pasti beliin apa pun yang aku mau?”“Ya nggak semahal itu! Kamu nggak lihat harganya? Masing-masing barang lebih dari seratus juta! Coba kamu hitung berapa totalnya!” geram Evan, suaranya memekik penuh emosi.Jika sebelumnya, di hari-hari biasa, Meyra pasti akan langsung ciut mendengar nada marah Evan. Tapi kali ini, Meyra malah menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara yang memekakkan itu. Dengan santai dia menghela napas lelah.“Emangnya kenapa? Sebelumnya Papa pernah beliin aku gaun lebih dari seratus juta harganya,” balas Meyra ringan.“Itu karena Papa lebih kaya dari aku. Kamu harusnya mikir, dong!” bentak Evan, nada suaranya semakin tinggi, dipenuhi rasa frustrasi karena merasa diperas.Meyra memutar bola matanya, rasa sebal mulai menggelegak.“Ya terserahlah. Nggak usah pulang lagi kalau gitu,” balasnya penuh keberanian, seolah menantang.Hening sesaat memenuhi sambungan telepon.
“Tuan Evan.”Panggilan itu sontak membuat Evan yang asyik berbincang langsung mematikan panggilan di ponselnya. Dengan gerakan refleks, dia menoleh ke sumber suara. Jantung berdebar kencang.Dan ternyata, itu hanyalah Bi Tuti, pelayan setia di rumah ini. Wanita paruh baya itu kebetulan lewat saat kembali dari lantai dua setelah menjemur pakaian.“Ada apa, Bi?” tanya Evan, berusaha menenangkan suaranya yang terdengar panik, sambil menyelipkan ponsel ke saku celana.“Saya udah masak kalau Tuan mau sarapan,” jawab Bi Tuti memberitahu.Evan memutar bola matanya. Lalu mengibaskan tangannya seolah mengusir sesuatu yang mengganggu. “Iya, iya. Sana lanjut kerja aja.”Bi Tuti mengangguk patuh dan melangkah pergi menuju dapur.Diam-diam, Evan menghela napas lega. Hampir saja ketahuan. Dia takut percakapan tadi terdengar olehnya. Namun ternyata tidak.Akhirnya, setelah menenangkan diri, Evan berdiri tegak. Kemudian melangkah menuju kamar tidurnya yang masih tertutup rapat.Evan hanya bisa berdir
Evan berusaha mengambil pendekatan yang lebih lembut. Wajahnya dibuat penuh dengan ekspresi penyesalan yang mendalam."Meyra. Jangan marah, oke? Aku bener-bener lupa sama ulang tahun kamu."Namun, Meyra masih diam membatu. Ia tahu betul perkataan itu hanya untuk merayu dan membuat hatinya yang dulu lemah luluh kembali. Kali ini, ia tidak akan termakan."Kamu mau aku beliin apa, hm? Ponsel baru? Perhiasan? Aku beliin semuanya, ya," lanjut Evan segera membujuknya dengan janji materi."Yang aku mau kamu keluar dari kamar ini. Aku muak lihat muka kamu," ujar Meyra akhirnya bersuara.Namun perkataan itu langsung menohok seperti pukulan fisik bagi Evan. Pria itu terkesiap, syok. Matanya membelalak.‘Dia bisa bicara kasar begini? Ke mana Meyra yang lemah lembut dan penurut itu?’ pikirnya, bingung sekaligus tersinggung."Meyra, dengar dulu penjelasan—" Evan mencoba lagi.Tetapi belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, Meyra kembali menyela."Aku bilang, keluar!" bentaknya.Evan seketika
"Pah. Gimana, dong?" tanya Meyra gelisah. Matanya memandang pria itu penuh kebimbangan.Glen mengernyit, tampak sedikit kesal karena terganggu akan sesuatu. Akhirnya ia berdiri tegap. "Tenang, Meyra. Nggak perlu gugup. Bersikap biasa aja, ya."Meyra mengangguk perlahan, patuh pada perkataannya.Glen tersenyum lembut, puas. "Bagus. Kamu lanjut makan aja. Biar Papa yang temuin."Satu tangan Glen dengan lembut menarik rambut Meyra ke depan. Menata sedemikian rupa sehingga menutupi bagian lehernya. Yang tertutupi sedikit bekas ciuman kemerahan dari semalam.Meyra menyadari maksudnya. Dia langsung merapikan rambutnya lebih tertutup.Glen berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Menutup pintu dengan rapat di belakangnya.Dari lorong menuju ruang laundry, terlihat Bi Tuti keluar dengan tergesa-gesa. Ia juga tentu mendengar teriakan Evan tadi."Bi Tuti," panggil Glen. "Evan biar saya aja yang buka pintu. Kamu beresin botol wine di ruang TV, ya. Jangan sampai ada bekas."Bi Tuti menoleh, sedi
Meyra tentu mengerti maksud sindiran Glen. Seketika wajahnya kembali memerah merona. Alisnya berkerut kesal."Nggak! Aku nggak bakal gitu lagi!" balasnya.Glen tersenyum geli, selalu merasa senang melihat reaksi polos Meyra."Oke, oke. Jangan marah. Ayo, makan dulu."Meyra menghela napas, mencoba meredakan kejengkelannya. Ia mulai menyantap makanan yang Glen bawa.Sedangkan pria itu masih diam duduk di sana. Hanya memperhatikannya makan."Papa nggak makan?" tanyanya heran, berhenti mengunyah.Glen menggeleng pelan."Nanti aja—"Namun kalimatnya terhenti. Tiba-tiba saat dering ponsel di saku celananya bergetar keras, memecah keheningan kamar."Sebentar," ucapnya pada Meyra, lalu berdiri.Meyra mengangguk saja, melanjutkan makannya. Sedangkan Glen mengambil ponsel dan menatap layarnya.Seketika, wajahnya yang tadinya santai dan lembut berubah. Ia mengerutkan kening. Seolah suasana hatinya yang bagus sedikit terganggu oleh sesuatu.Diam-diam Glen melirik ke arah Meyra, yang sedang asyik
Meyra menggeleng dengan cepat, pipinya memerah."N-nggak usah, Pah," tolaknya, malu.Namun Glen sudah lebih dulu menyibak selimut yang menutupi mereka.Kemudian turun dari tempat tidur. Dan berjongkok di depan Meyra yang berada di tepi ranjang.Meyra segera merapatkan kedua kakinya. Menyilangkan kedua lengan di dada untuk menutupi payudaranya yang masih terpapar.Glen menghela napas pelan."Nggak usah malu, Meyra. Papa udah lihat semuanya semalam. Sini, buka kakinya," pintanya.Suaranya lembut namun tegas.Dengan ragu dan perasaan campur aduk. Meyra membiarkan Glen membuka kedua kakinya dengan lembut.Pria itu memerhatikan dengan seksama, matanya fokus. Tangannya perlahan mengusap pelan di area sensitif Meyra yang masih kemerahan.Saat sentuhannya menyentuh bagian yang lecet, Meyra mengeluarkan desahan tanpa sadar."Ah!"Refleks Meyra langsung menutup mulutnya.Glen mendongak, menatap wajah Meyra yang merona."Ternyata memang agak lecet sedikit. Maaf, ya," sesalnya sedikit berbisik.M







