Di sebuah cafe, Dinda duduk di sebuah meja dekat jendela. Sesekali ia menyesap minuman yang telah ia pesan sebelumnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang ada didalam genggamannya. Mencoba menghubungi seseorang yang telah berjanji temu dengannya disini.
Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga tak menyadari ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke mejanya. Cukup lama pria itu berdiri disana, tapi Dinda masih tak menyadari dan terus mengotak-atik benda pipih itu.
"Eheem.." pria itu berdehem. Berharap Dinda akan menyadari keberadaannya dan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Tapi tampaknya Dinda terlalu fokus dan tak menghiraukan deheman pria asing itu.
Pria itu terpejam seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya, dan mencoba menyapa.
"Apakah saya boleh duduk disini, Nona?" Tanya pria itu sopan.
Dinda mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sebentar dari layar ponsel. Lalu dengan cepat pula kembali melihat layar ponsel itu.
"Saya sedang menunggu kekasih saya, jadi silahkan anda mencari meja lain." Ucap Dinda dengan ketus. Ia tak suka berbicara dengan orang asing, terlebih ia akan bertemu dengan kekasihnya. Ia tak ingin akan menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka.
"Jadi anda sudah mempunyai kekasih?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut pria itu.
"Iya." Jawab Dinda singkat. Ia mulai gerah dengan pertanyaan tak penting ndari pria asing tersebut.
"Apakah dia pria yang tampan?"
Dinda memutar bola matanya malas menanggapi pria itu, lalu ia mengangkat kepalanya untuk mengusir pria yang keras kepala itu. Tapi ia sangat terkejut ketika matanya bertemu dengan pria yang tadi menggodanya.
"Rio.." Dinda membelalakkan matanya. Tak menyangka akan bertemu sahabat lamanya yang beberapa tahun lalu menghilang.
Pria yang bernama Rio itu hanya tersenyum seraya menaikkan alisnya. Menggoda wanita yang ada dihadapannya.
"Sudah punya kekasih rupanya heem?" Tanyanya menggoda.
"Dasar kau." umpat Dinda seraya meninju lengan pria itu. Ia pun berdiri, dan menyambut uluran tangan Rio.
"Dasar apa? Dasar tampan?"
"Dasar buaya!"
Dinda menyimpan ponselnya ke dalam tas. Rio adalah sahabatnya yang meninggalkannya untuk bekerja di luar kota. Dan siapa sangka kini mereka bertemu secara tidak sengaja.
"Kapan kau kembali?" Tanya Dinda antusias.
"Kemarin." jawab Rio singkat. Dinda mengangkat alisnya ke atas.
"Kau bilang kemarin? Kenapa tidak mengabariku?" Dinda mengerucut kan bibirnya. Sungguh wanita itu terlihat sangat lucu di mata Rio.
"Tadinya aku ingin memberi kejutan untukmu dan Nadira. Tak di sangka kita malah bertemu disini." Ujar Rio menjelaskan.
"Ya, dan kau gagal." Dinda terkekeh. Senyumnya selalu saja manis, mempunyai daya tarik sendiri. Apalagi gigi gingsul wanita itu, semakin membuat senyumnya semakin manis. Membuat yang melihatnya tak akan pernah bosan. Wajah ceria wanita itu, mempunyai nilai tersendiri. Hati Rio selalu berdebar melihat senyum itu, sama seperti sebelumnya. Ia akan selalu berdebar jika berada di dekat janda muda satu Dimata Rio, Dinda masih tetap sama. Malah semakin cantik, tubuhnya yang dulu kurus kini padat berisi.
"Apa aku harus memutar waktu agar semuanya sesuai rencana?" Rio menaikkan alisnya. Mencoba meredam kegugupan dan debarannya dengan bercanda agar tak terlalu tegang.
"Apa anda sudah beralih profesi tuan Rio Abraham?"
"Maunya sih begitu, tapi sepertinya harus berusaha lebih keras lagi."
Dinda mengerutkan keningnya, mencerna ucapan Rio yang ambigu.
"Tadinya aku ingin beralih profesi menjadi Ayah Nadira, tapi sepertinya aku harus kembali menuai kegagalan karena kali ini aku kembali kalah cepat dari calon Ayah Nadira yang baru."
Wajah jenaka yang semula terpasang di wajah Rio, kini berubah menjadi serius. Matanya menunjukkan luka yang tak bisa di jelaskan. Dinda terdiam sesaat. Tapi selanjutnya ia tertawa renyah menanggapi kecanggungan yang tercipta beberapa saat.
"Kau tidak pernah berubah. Selalu saja menggodaku." Dinda meraih minumannya dan menyesap minumannya sampai habis. Menyisakan es batu didalam gelas, lalu ia kembali meletakkan gelas kosong itu ke tempat semula.
"Dan kau juga tidak pernah berubah. Selalu menganggap ucapanku hanya candaan, padahal aku serius padamu." Netra coklat milik Rio tak menatap lekat pada wanita cantik yang ada dihadapannya. Sungguh, sebenarnya ia sangat merindukan sahabat sekaligus orang yang sangat spesial baginya. Dinda Fitriah, selama tujuh tahun tidak ada yang menggantikan posisi wanita itu di hati Rio. Rio mengenal Dinda jauh sebelum Dinda menikah dengan Bayu. Ia sudah mencintai Dinda semenjak mereka menempuh pendidikan di kampus yang sama.
Dinda tidak pernah menanggapi perasaan Rio, karena ia hanya menganggap Rio sebagai sahabat tidak lebih. Dan setelah Dinda menikah dengan Bayu, Rio memutuskan untuk kerja di luar kota seraya mengubur perasaannya. Dan setelah pernikahan Dinda berakhir, Rio ingin cepat kembali dan memperjuangkan rasa yang tak pernah hilang. Tapi ia sedang terikat kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja sehingga harus menunda kepulangan nya ke kota ini. Tapi lagi-lagi ia harus kembali menerima kekalahan. Dinda sudah memiliki tambatan hati, dan itu cukup membuat hati Rio kembali hancur.
Ponsel Rio berdering, dengan cepat pria itu menerima panggilan itu.
"Baiklah saya kesana sekarang." Rio mengakhiri panggilan telepon dan berdiri.
"Aku harus pergi, lain waktu kita harus bertemu kembali. Sampaikan salamku pada Bapak dan Nadira."
"Ohya,juga pada calon suamimu." Rio menekan rasa sakit ketika mengucapkan nya. Entahlah, ia pun tak mengerti mengapa sangat sulit menghapus rasa cintanya pada Dinda.
Dinda mengangguk," kau harus mengunjungi mereka. Karena aku yakin, mereka juga sangat merindukanmu."
"Pasti. Dalam waktu dekat aku akan kerumahmu. Dan aku ingin bertemu calon suamimu, aku ingin sedikit memberikan wejangan padanya. Aku tak akan membiarkan jika nanti ia akan menyakitimu." Ujar Rio serius.
"Baiklah Pak Rio Abraham yang terhormat." Dinda terkekeh. Rio beranjak mendekati Dinda, mengacak rambut Dinda dengan gemas.
"Hey! Kau merusak rambutku." Protes Dinda tak terima. Ia segera memperbaiki rambutnya yang acak-acakan seraya mengerucutkan bibirnya.
"Maafkan aku tuan putri." Rio membantu memperbaiki rambut Dinda dengan lembut.
"Kau menyebalkan Rio."
Rio terkekeh, ia semakin gemas melihat wanita itu.
"Lihatlah bibirmu. Seperti minta cium! Apa kau menginginkan ciuman dariku tuan putri?" Rio menggoda Dinda, ia tersenyum tanpa dosa. Refleks Dinda menutupi bibirnya dengan kedua tangannya, matanya melotot memperingati.
"Aku tidak akan menciummu disini, tapi aku akan mencium mu nanti di ranjang pengantin kita." Bisik Rio menggoda, selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak. Puas mengerjai sahabat lamanya itu. Ia melangkah meninggalkan Dinda seraya melambaikan tangannya.
"Dasar gila! Dari dulu tidak pernah berubah. Tetap somplak dan menyebalkan." Gerutu Dinda seraya menggelengkan kepalanya. Ia tak menyadari jika apa yang mereka lakukan tadi tak luput dari pandangan sepasang manik coklat yang tak jauh dari sana. Menahan rasa cemburu yang hampir meledak daritadi. Pria itu berjalan mendekati meja dimana Dinda berada, berdiri tepat di belakang Dinda.
"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara.
Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. Ia merasakan hawa di cafe ini berubah. Sepertinya akan terjadi perang dunia ketiga.
“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
“Apa? Maksudnya ... Dinda hamil anak Alvian?” tanya Rio terkejut.“Astaga aku keceplosan. Aku lupa ada manusia lain di sini.” Amira menepuk jidatnya dengan kencang.“Jawab aku! Apa benar Dinda mengandung anak Alvian?”Kedua wanita itu saling pandang, kemudian kompak kembali melihat pria satu-satunya yang ada di sana saat itu. Dengan wajah terkejut dan mata penuh tanda tanya serta kebingungan yang sangat kentara.Dinda menghela napas berat, sementara Amira memukul mulutnya karena merasa bersalah tidak bisa mengontrol ucapannya.“Maafkan aku, Din.” ujarnya lemah.“Kenapa minta maaf?”“Ya karena aku tidak bisa menjaga ucapanku.”“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Lambat laun semua orang juga akan tahu, kan?”“Iya, tapi kan ....”“Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa benar Dinda sedang mengandung anak si brengsek itu?” tanya Rio sekali lagi, kali ini dengan rasa marah yang akan meledak. Dinda terpekur menatap lantai berwarna putih yang berada di bawah. Meremas kedua jemari yang saling be
‘Cinta bukan tentang dua raga yang selalu bersama. Tapi tentang pengorbanan serta dua hati yang menerima kenyataan bahwa tak selamanya cinta akan berakhir Bahagia'***“Aku akan menikah.” ujar Dinda dengan suara serak. Wanita itu menunduk, menahan kuat-kuat air mata yang kembali menganak sungai.“Jangan bercanda, sayang. Ini sama sekali tidak lucu.” kata Alvian seraya tertawa kaku. Wanita yang di hadapannya hanya diam seribu basa, tak berani sekedar mengangkat kepala. Melihat ujung kaki yang kini mulai terasa dingin.“Sayang, jangan suka mengerjaiku. Kau tidak berubah, selalu sukses membuat jantungku seakan lepas karena kejahilanmu.” Alvian mengangkat wajah wanita itu, kembali menariknya dalam pelukan.“Aku tidak bercanda, mas.” kata Dinda lagi. Ia menggigit bagian bibir bawahnya dengan kuat, meremas jemarinya yang berkeringat.“Sayang, please. Aku baru kembali dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin melepaskan rindu yang selama ini terpendam. Kau tahu? Aku bagaikan mayat hidup. Aku ha
Ketika dua hati yang saling merindu bertemu, meleburkan lara yang selama ini membelenggu. Tapi semua hanya lah sebatas cinta yang semu, saling merindu tapi cinta tak di izinkan menyatu. *** “Apa aku boleh duduk di sini?” tanya seorang pria berkemeja hitam, berdiri di hadapan Dinda seraya memasang wajah ramah penuh senyum. Tapi yang di tanya hanya diam tak merespon. Menatap jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Ntah apa yang tengah di pikirkan wanita itu, sehingga tak menyadari seorang pria yang sedari tadi berdiri memandangnya. Merasa di abaikan, pria itu sengaja duduk di sebelah wanita yang sedang melamun itu. Menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, netranya tak merasa jenuh memandang keindahan yang di ciptakan Tuhan. Meski terlihat sedikit pucat dan tanpa memakai make up, wajah Dinda malah terlihat cantik alami. “Cantik ... Dan kamu akan selalu cantik.” gumamnya seraya tersenyum. “Eh, siapa kamu?” suara Amira membuat Dinda dan pria itu terkejut. Pria it
Cinta ini akan tetap bersemayam di relung hati, Tak kan ku biarkan namamu mati. Ia akan tetap abadi, meski pun engkau telah pergi. ❤️❤️ “Sialan tu Si Alvian, sok suci banget jadi cowok. Kalo nggak karena hartanya, mana mau aku capek-capek ngejar dia!” seorang wanita berambut pirang dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sebuah apartemen. “Memangnya kenapa dia?” tanya seorang pria yang menghampirinya dengan membawa sebotol soda lalu memberikannya pada Amanda. “Kamu tahu sayang, dia itu terlalu dingin dan cuek. Aku tidak bisa sedikit pun merayunya. Bahkan aku sampai nyaris telanjang di depannya, tapi tidak ada sedikit pun ketertarikan di matanya!” wanita itu mendengus kesal. Meneguk soda yang telah di buka sebelumnya. “Wow ... Apa kau benar-benar melakukannya?” tanya sang pria dengan penuh selidik. “Iya, sayang. Aku bahkan menggodanya mati-matian. Meraba tubuhnya yang sangat ... Uhh atletis.” membayangkan betapa sempurnanya tubuh Alvian membuat wanita itu menggigit
“Pergi dari sini! Dasar wanita jalang!” seorang gadis yang nyaris telanjang jatuh terjerembab ke lantai setelah di hempaskan begitu saja oleh Alvian. Gadis itu meringis, menahan nyeri di lutut dan sikutnya yang memerah.“Dasar bajingan sok suci!” umpatnya kasar seraya menatap tajam pria yang berdiri di depan pintu kamar.Alvian berjongkok, meraih dagu gadis itu. Awalnya lembut, tapi lama-lama pria itu mencengkeram dagu Amanda dengan kuat sehingga kini gadis yang awalnya menatapnya dengan nyalang, kini meringis kesakitan.“Lepaskan brengsek!” teriak Amanda seraya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman tangan Alvian di dagunya. Tapi usahanya sia-sia karena tenaga Alvian lebih besar darinya. Sehingga ia hanya bisa meringis, menahan sakit.“Wanita murahan seperti kamu, tidak pantas ada di ranjangku! Kamu itu ... Pantasnya berada di rumah bordir. Atau menjadi simpanan om-om yang membutuhkan jasa kamu. Jadi ....” Alvian menggantung kalimatnya dan mencengkeram lebih kuat dagu wanita itu