Share

6 : Tertipu

Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.

Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.

“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.

Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekeliling sunyi dan sepi. Tidak ada yang berubah dari rumah itu, kecuali tumpukan piring kotor, gelas-gelas yang semuanya kotor serta butir-butir nasi yang memenuhi meja makan tempatnya duduk saat ini.

Helaan napas panjang keluar dari mulut wanita dua puluh enam tahun itu. Ternyata setelah tiba di rumah, ia tidak bisa langsung beristirahat.

Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari luar, tidak lama pintu rumah terbuka. Cahaya dengan dua pria temannya masuk diringi tawa yang menjijikkan menurut Akar.

“Dari mana dan mau apa kamu bawa temanmu kemari?” sergah Akar dengan wajah tidak bersahabat. Dia tidak melarang siapapun datang ke rumahnya asalkan saat siang hari. Ini sudah lewat jam main, terlebih mereka— teman Cahaya adalah pria.

“Apa pedulimu?” serang Cahaya. Sungguh tidak ada hormat dari remaja itu untuk sang ibu.

“Kamu bilang wanita ini tidak di rumah? Gimana, sih, Ya. Sudahlah, kita pulang!” Mereka bubar, dua remaja laki-laki itu urung untuk melakukan rencananya yang entah apa, karena Akar sendiri tidak tahu maksud dari mereka.

“Puas sekarang?! Kenapa hidupmu tidak pernah memudahkan hidupku? Seharusnya kamu yang mati, bukan ayah!” cela, Cahaya.

“Seharusnya aku yang mengatakan itu, Aya! Seharusnya memang aku tidak hadir di rumah ini dan merawatmu,” timpal Akar santai. Dia sudah sangat lelah dengan pekerjaan di kantor sebagai OG.

Pulang ingin beristirahat, akan tetapi justru dibuat naik darah oleh bocah berusia dua belas tahun itu.

“Bagus kalau kamu menyesal sekarang, mending kamu pergi dari rumah ini. Toh, ibuku masih mau dan mampu mengurusku!” balas Cahaya dengan sengit.

“Benarkah? Benarkah seperti itu? Jika itu benar, anaknya tidak akan mencuri uang dari wanita yang mati-matian dibenci olehnya, bukan?”

Tanpa diduga, tangan kecil itu dengan kurang ajar menampar pipi Akarsana. Seharusnya Akar bisa saja menghalaunya akan tetapi tindakan tiba-tiba itu membuat Akar lengah. Pipinya terukir lima jari remaja tidak tahu malu tersebut.

Sunggingan senyum jahat Cahaya mengembang. Seakan dia menang melawan Akarsana.

Siapa kira, bahwa Akar justru membalasnya dengan menekan rahang Cahaya dengan kuat. “Kamu kira kamu siapa? Sekuat apa pun kamu menolakku, kau— tetap akan membutuhkanku, Aya! Dengar! Aku tidak akan ke mana pun sampai kau bisa mengurus dirimu sendiri dengan becus.”

Akar mendorong wajah itu hingga remaja tanggung tersebut terhuyung beberapa langkah ke belakang. “Tidak bisakah kamu menurut dan berterima kasih padaku? Jika kau tidak mau berbaik hati, setidaknya ikuti aturan di rumah ini dan ikuti peraturanku.”

Cahaya bungkam. Dia kira, Akar adalah wanita lemah sama seperti para perempuan di luaran sana yang tidak akan berani membalas segala tindakan anak kecil. Namun, Cahaya salah. Pikirannya hanya satu. Jika, dia melawan sekali lagi, bukan tidak mungkin wanita di hadapannya akan pergi dan Cahaya tidak akan lagi mendapatkan uang saku untuk sekolahnya.

Sebelum Cahaya pergi, Akar kembali berucap, “jika kamu ulang mengambil uangku lagi, untuk satu bulan kedepan kamu tidak akan mendapatkan jatah makan dan uang saku. Lalu, kamu pikirkan sendiri biaya SPP dan segala keperluanmu.”

Cahaya beringsut. Ia lantas menutup pintu kamar dengan kasar. Sementara Akar, mengernyit, ia masih merasakan kebas di pipi dan mengelusnya. Air matanya luruh, dia bisa berpura-pura kuat dan tegar. Dia bisa berani menghadapi apa pun yang terjadi antara dirinya dan Cahaya. Namun, semua itu tidak menutupi bahwa Akar sangat rapuh, bagaikan digerogoti rayap dari dalam, tetapi dia diharuskan untuk tetap tumbuh.

“Dulu— kukira menikah denganmu mampu membuatku bahagia, Mas. Ternyata kebahagiaan yang kau janjikan hanya sesaat. Delapan bulan? Apa-apaan? Aku baru menikah sekali, aku menerimamu dengan segala kekurangan yang tidak kau sebutkan, lalu— sekarang kau pergi begitu saja?” amukan Akar terlepas begitu ia mengurung diri di kamar.

Ia melemparkan bantal ke lantai, mengobrak-abrik tatanan seprei dan selimut. Bahkan ia menggulingkan lampu tidur di samping nakas. Kamarnya sudah tidak lagi rapi. Akar melampiaskan kemarahan pada benda-benda yang ada di sana.

Raungannya ia bekab dengan bantal. Tersedu-sedu sendirian. Dia merasa tertipu dengan segalanya.

**

“Maukah kamu menikah denganku, Akar? Aku memang bukan pria kaya raya, aku masih menjadi karyawan, tetapi aku bisa mencukupi kebutuhanmu.” Kata-kata yang terlontar dari mulut Ranu sungguh terdengar seperti sebuah kejujuran.

Namun, pernahkah dia menyebutkan bahwa dirinya memiliki anak seusia Cahaya?

“Aku memang duda, aku sudah memiliki satu anak. Dia ikut dengan ibunya, saat ini.”

Akar mengira kata saat ini bersifat untuk selamanya. Atau batas waktu yang lama. Akan tetapi dia salah. Kata saat ini yang diungkapkan oleh Ranu adalah hanya untuk sementara.

Tiga bulan setelah Akar menyetujui lamaran itu, dia langsung dinikahi secara siri, ya! Secara siri, bodohnya Akar mau-mau saja. Sungguh gadis desa yang malang bukan?

Begitu tiba di rumah Ranu, saat sore. Di situlah pertama kali, Cahaya bertemu dengan Akar. Begitupun dengan mantan istri pertama Ranu.

“Tidak buruk, kukira kau akan mencari wanita yang lebih berpengalaman ketimbang aku,” ledek wanita dengan polesan lipstik setebal aspal jalan tol.

“Tutup mulutmu dan pergilah dari rumahku!” usir Ranu kala itu.

“Ini rumahku, juga! Kamu tidak berhak mengusirku,” balas perempuan yang tidak Akar tahu siapa namanya.

“Tidak lagi! Sejak perceraian dan hak asuh anak ada ditanganku, kamu tidak berhak lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Dan— jangan pernah temui anakku!” marah Ranu pada mantan istrinya.

Akar hanya diam melihat pertengkaran itu dan tahu bahwa dirinya telah ditipu oleh Ranu. Apa yang dia lihat dari laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya? Akarsana terduduk lemas di kursinya.

Setelah kepergian wanita itu, Cahaya masuk ke kamarnya dan Ranu duduk di sisi Akar. Ia meraih jemari tangan wanita itu.

“Apa ini semua?” Gadis itu berbicara dengan serak. Ia bahkan tidak ingin menatap wajah Ranu.

“Maafkan aku, Akar. Kamu tidak seharusnya melihat pertengkaran ini,” sesal Ranu.

“Bukan itu. Kamu bilang anakmu ikut dengan ibunya ‘kan?”

“Aku bilang saat itu. Tapi— ya, aku salah karena tidak mengatakan bahwa hak asuh anak ada di tanganku. Dia— dia wanita jalang, Akar. Aku tidak mau anakku mengikuti jejaknya,” jelas Ranu dengan serius kala itu.

“Kenapa kamu tidak jujur padaku, Mas?”

“Aku hanya takut kamu tidak jadi menikah denganku, Akar.”

“Aku mencintaimu karena aku kira hanya kamu laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, Mas. Aku—” Akarsana tidak bisa meneruskan ucapannya. Dia hanya menggedikkan bahunya. Kata-katanya hilang begitu saja.

“Aku minta maaf, seiring berjalannya waktu aku akan membuka semuanya, Akar. Tapi tolong maafkan aku. Aku akan menikahimu secara resmi setelah hari ini. Aku janji,” ujar Ranu.

“Maka, bolehkah aku meminta satu permohonan padamu?”

“Apa Akar? Aku akan kabulkan apa pun itu asalkan aku mampu.”

“Jangan gumuli aku sampai kamu benar-benar meresmikan hubungan kita secara hukum dan agama,” pungkas Akarsana. Masih dengan suara yang lirih.

“Tentu saja, tentu Akar. Itu bukan hal yang sulit, karena aku menikahimu bukan karena nafsu semata. Aku mencintaimu karena kegigihan dan ketangguhanmu, Akar.”

“Terima kasih, Mas.” Ranu memeluk tubuh Akarsana.

Memiliki wanita mandiri dan pekerja keras adalah satu impian Ranu. Dia bisa berjuang bersama dalam membina rumah tangga. Hingga, permintaan Akar pun tidak akan terasa berat untuk saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status