Share

5 : Sepeda Butut

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-02-07 21:09:46

Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya.

"Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah.

Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng.

"Aya kenapa—"

"Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya.

Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang.

Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang.

"Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?"

"Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar.

"Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan uang untuk membayar cicilan motor yang biasa digunakan suaminya pulang pergi kerja.

"Lihatlah!" Satu pria lagi melemparkan buku yang berisi data-data pembayaran Akarsana.

Benar! Selama tiga bulan mereka telat membayarnya. Akar ingat betul memberikan uang itu pada sang suami. Dia meminta tolong karena sangat sibuk di resto kala itu.

Ternyata Ranu tidak membayarkan uangnya. Lalu— kemana perginha duit itu?

"Kalau tidak dibayar, buat apa uangnya?" lirih Akar yang masih didengar oleh dua pria berjaket kulit tersebut.

"Ya mana kita tahu! Jadi— kami akan bawa motornya!" serunya lagi.

"Tidak, Pak! Bagaimana saya pergi kerja kalau tidak ada motor?"

"Itu mah urusan kamu! Bukan urusan kami!" Tentu saja mereka tidak acuh. Kerabat bukan saudara apalagi.

Akarsana harus merelakan kendaraan satu-satunya yang dia miliki diangkut leasing. Tidak bisa menahan ataupun menangisinya. Kendati dia bisa saja berteriak kalap, tetapi bukankah itu akan memalukan untuknya?

Setelah kepergian dua laki-laki berotor besar itu, kini Cahaya berdiri disamping Akarsana dengan senyum jahatnya.

"Emang nggak bener jadi istri. Tahunya jajan doang! Mana bisa bantu ngejaga harta suami," sindirnya.

Padahal apa yang bisa Akarsana banggakan dan rebut dari suaminya? Harta saja tidak punya apalagi warisan?

Setelah berkata demikian Cahaya lantas sengaja mendorong bahu ibu tirinya dengan lengannya dan kemudian melenggang pergi.

Wanita dengan rambut bergelombang itu hanya diam membisu. Tidak ada gunanya menanggapi setiap kata yang diucapkan Cahaya. Dia lelah dengan perseteruan yang terjadi.

Akarsana kembali masuk ke dalam. Dia melihat masakannya gosong. Tahu yang dia goreng berubah menjadi hitam seperti arang. Anehnya kompor sudah mati. Dia ingat betul tadi sudah mematikan kompor itu. Belum lagi nasi yang dia letakkan di kotak bekal terguling dan jatuh ke lantai.

"Cahaya," gumamnya. Sangat lirih bahkan hampir tidak keluar suara itu.

Akarsana membersihkan kekacauan yang terjadi di dapur. Ia lantas pergi tanpa membawa bekal. Dia bisa membeli makan siang untuk hari ini saja.

Naik angkutan umum sekali saja tidak akan membuat dirinya rugi bukan? Akarsana akan membeli sepeda kayuh nanti. Dia masih punya uang gaji dan pesangon.

Pukul setengah sembilan, Akarsana tiba di rumah. Dia sangat terlambat. Seharusnya dia tiba lebih pagi.

"Maafkan aku, Cin. Aku terlambat banget," sesal Akarsana. Ia menatap wajah teman kerjanya dengan penuh rasa bersalah.

"Iya, kenapa? Finger dulu sana! Jangan diulangi lagi, ya," ucap Cindy.

Akarsana mengangguk. Pertama ia mendekati finger dan menempelkan jari jempolnya kemudian lekas bekerja. Membersihkan kamar mandi.

Begitu keluar dia kaget karena jam sudah tiba saatnya makan siang. Cindy memberikan catatan padanya. Ia harus membelikan makanan para karyawan itu sesuai dengan catatan di warung yang sudah diberi petunjuk oleh wanita berambut pendek itu. Akarsana harus mengayuh sepeda karena jarak yang cukup jauh.

"Hati-hati, Na!" Akarsana mengangguk. Sementara Cindy sibuk membuat kopi dan lain sebagainya.

**

Di desa, Tirta sudah berpamitan dengan sang ibu dan bapaknya. Pria itu harus kembali ke kota. Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan terlalu lama. Banyak yang harus dipantau. Gudang beras, serta pabrik kertasnya.

"Hati-hati, Nak. Jangan sungkan untuk pulang. Jangan lupa telepon Mama, ya."

"Iya, Ma. Mama jaga kesehatan. Tirta janji akan buat Mama bahagia dan bangga," timpakan Tirtha.

"Bahagia Mama, tuh kalau kamu nikah cepat! Umurmu udah nggak muda," celetuk Awan. Pria itu geram dengan anaknya sendiri. Ada satu penyesalan di dalam hatinya, kenapa dulu ia bersikeras meminta Tirtha untuk meneruskan usahanya di usia sang anak masih sangat muda? Sekarang Awan harus membayar keterlambatan pernikahan pria tersebut.

"Kalau jodohnya sudah datang pasti Tirtha juga menikah, Pa. Tirtha pamit, ya." Ia mencium kembali punggung tangan ibu dan ayahnya. Kemudian menjauh dari sang ibu dan ayah.

Memasuki mobil dan siap untuk menyusuri jalanan siang ini. Sembari mendengarkan musik pada era 90an.

**

Di pasar, Akarsana yang sudah selesai dengan semua titipannya pun tercetus satu ide besar. Dia menyempatkan berkeliling sebentar. Ingin melihat-lihat harga sepeda kayuh serta membeli beberapa bahan makanan. Ia akan berjualan di nasi bungkus di kantornya. Daripada dia atau Cindy harus keluar sejauh ini.

Matanya melihat begitu banyak jenis sepeda yang bagus. Warna-warna yang indah. Mulai dari warna-warna cerah sampai warna pastel.

"Berapa yang hijau cyan itu, Pak?" Akarsana terpana dengan sepeda perempuan dengan keranjang dj bagian depan itu.

"2,5 juta, neng. Bagus itu, mau? Ini memang super banget. Keliatan terbaru," paparnya.

Akarsana sempat terkejut. Siapa kira harga sepeda semahal itu. Alhasil gadis itu hanya meringis keki. Dia ada dana segitu. Namun, kebutuhannya masih sangat banyak. Ia harus berhemat sampai gajian tiba.

"Oh— baik, Pak. Permisi," pamit Akarsana.

Ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah terlalu lama pergi. Saat di tengah jalan ia melihat becak montor yang mengangkut sepada wanita. Hampir mirip dengan yang di toko tadi. Bedanya sepeda ifu sudah lusuh dan banyak karat.

"Pak! Pak!" panggil Akarsana. Ia lantas segera memutar gasnya dan menghentikan bentor yang ada di depannya.

"Iya neng, ada apa?"

"Sepedanya dijual tidak? Itu masih bisa dipakai?"

"Bisa neng, tapi kondisinya sudah begini."

"Berapa, Pak?"

"100 ribu kalau mau bawa dah, neng."

"50 aja gimana, Pak?"

Akarsana masih mencoba menawar dengan harga rendah. Dia masih harus mengecat ulang sepeda itu. Pada akhirnya ia dapat harga tujuh puluh lima ribu. Lumayan, dari pada dia harus mengeluarkan uang dua juta lima ratus ribu.

Akarsana meminta tukang becak ifi untuk membuntutinya hingga tiba di kantor. Setelah membayar ia lantas lekas masuk meski matanya masih melihat kearah sepeda butut berwarna merah kusam itu.

Senyumnya mengembang. Ia langas memberikan makanan itu pada para karyawan. Mereka memilih sendiri pesanan mereka dengan Akar yang menjadi pemandu bicaranya. Memberitahukan apa-apa saja yang ada di dalam sana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status