Share

5 : Sepeda Butut

Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya.

"Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah.

Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng.

"Aya kenapa—"

"Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya.

Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang.

Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang.

"Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?"

"Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar.

"Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan uang untuk membayar cicilan motor yang biasa digunakan suaminya pulang pergi kerja.

"Lihatlah!" Satu pria lagi melemparkan buku yang berisi data-data pembayaran Akarsana.

Benar! Selama tiga bulan mereka telat membayarnya. Akar ingat betul memberikan uang itu pada sang suami. Dia meminta tolong karena sangat sibuk di resto kala itu.

Ternyata Ranu tidak membayarkan uangnya. Lalu— kemana perginha duit itu?

"Kalau tidak dibayar, buat apa uangnya?" lirih Akar yang masih didengar oleh dua pria berjaket kulit tersebut.

"Ya mana kita tahu! Jadi— kami akan bawa motornya!" serunya lagi.

"Tidak, Pak! Bagaimana saya pergi kerja kalau tidak ada motor?"

"Itu mah urusan kamu! Bukan urusan kami!" Tentu saja mereka tidak acuh. Kerabat bukan saudara apalagi.

Akarsana harus merelakan kendaraan satu-satunya yang dia miliki diangkut leasing. Tidak bisa menahan ataupun menangisinya. Kendati dia bisa saja berteriak kalap, tetapi bukankah itu akan memalukan untuknya?

Setelah kepergian dua laki-laki berotor besar itu, kini Cahaya berdiri disamping Akarsana dengan senyum jahatnya.

"Emang nggak bener jadi istri. Tahunya jajan doang! Mana bisa bantu ngejaga harta suami," sindirnya.

Padahal apa yang bisa Akarsana banggakan dan rebut dari suaminya? Harta saja tidak punya apalagi warisan?

Setelah berkata demikian Cahaya lantas sengaja mendorong bahu ibu tirinya dengan lengannya dan kemudian melenggang pergi.

Wanita dengan rambut bergelombang itu hanya diam membisu. Tidak ada gunanya menanggapi setiap kata yang diucapkan Cahaya. Dia lelah dengan perseteruan yang terjadi.

Akarsana kembali masuk ke dalam. Dia melihat masakannya gosong. Tahu yang dia goreng berubah menjadi hitam seperti arang. Anehnya kompor sudah mati. Dia ingat betul tadi sudah mematikan kompor itu. Belum lagi nasi yang dia letakkan di kotak bekal terguling dan jatuh ke lantai.

"Cahaya," gumamnya. Sangat lirih bahkan hampir tidak keluar suara itu.

Akarsana membersihkan kekacauan yang terjadi di dapur. Ia lantas pergi tanpa membawa bekal. Dia bisa membeli makan siang untuk hari ini saja.

Naik angkutan umum sekali saja tidak akan membuat dirinya rugi bukan? Akarsana akan membeli sepeda kayuh nanti. Dia masih punya uang gaji dan pesangon.

Pukul setengah sembilan, Akarsana tiba di rumah. Dia sangat terlambat. Seharusnya dia tiba lebih pagi.

"Maafkan aku, Cin. Aku terlambat banget," sesal Akarsana. Ia menatap wajah teman kerjanya dengan penuh rasa bersalah.

"Iya, kenapa? Finger dulu sana! Jangan diulangi lagi, ya," ucap Cindy.

Akarsana mengangguk. Pertama ia mendekati finger dan menempelkan jari jempolnya kemudian lekas bekerja. Membersihkan kamar mandi.

Begitu keluar dia kaget karena jam sudah tiba saatnya makan siang. Cindy memberikan catatan padanya. Ia harus membelikan makanan para karyawan itu sesuai dengan catatan di warung yang sudah diberi petunjuk oleh wanita berambut pendek itu. Akarsana harus mengayuh sepeda karena jarak yang cukup jauh.

"Hati-hati, Na!" Akarsana mengangguk. Sementara Cindy sibuk membuat kopi dan lain sebagainya.

**

Di desa, Tirta sudah berpamitan dengan sang ibu dan bapaknya. Pria itu harus kembali ke kota. Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan terlalu lama. Banyak yang harus dipantau. Gudang beras, serta pabrik kertasnya.

"Hati-hati, Nak. Jangan sungkan untuk pulang. Jangan lupa telepon Mama, ya."

"Iya, Ma. Mama jaga kesehatan. Tirta janji akan buat Mama bahagia dan bangga," timpakan Tirtha.

"Bahagia Mama, tuh kalau kamu nikah cepat! Umurmu udah nggak muda," celetuk Awan. Pria itu geram dengan anaknya sendiri. Ada satu penyesalan di dalam hatinya, kenapa dulu ia bersikeras meminta Tirtha untuk meneruskan usahanya di usia sang anak masih sangat muda? Sekarang Awan harus membayar keterlambatan pernikahan pria tersebut.

"Kalau jodohnya sudah datang pasti Tirtha juga menikah, Pa. Tirtha pamit, ya." Ia mencium kembali punggung tangan ibu dan ayahnya. Kemudian menjauh dari sang ibu dan ayah.

Memasuki mobil dan siap untuk menyusuri jalanan siang ini. Sembari mendengarkan musik pada era 90an.

**

Di pasar, Akarsana yang sudah selesai dengan semua titipannya pun tercetus satu ide besar. Dia menyempatkan berkeliling sebentar. Ingin melihat-lihat harga sepeda kayuh serta membeli beberapa bahan makanan. Ia akan berjualan di nasi bungkus di kantornya. Daripada dia atau Cindy harus keluar sejauh ini.

Matanya melihat begitu banyak jenis sepeda yang bagus. Warna-warna yang indah. Mulai dari warna-warna cerah sampai warna pastel.

"Berapa yang hijau cyan itu, Pak?" Akarsana terpana dengan sepeda perempuan dengan keranjang dj bagian depan itu.

"2,5 juta, neng. Bagus itu, mau? Ini memang super banget. Keliatan terbaru," paparnya.

Akarsana sempat terkejut. Siapa kira harga sepeda semahal itu. Alhasil gadis itu hanya meringis keki. Dia ada dana segitu. Namun, kebutuhannya masih sangat banyak. Ia harus berhemat sampai gajian tiba.

"Oh— baik, Pak. Permisi," pamit Akarsana.

Ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah terlalu lama pergi. Saat di tengah jalan ia melihat becak montor yang mengangkut sepada wanita. Hampir mirip dengan yang di toko tadi. Bedanya sepeda ifu sudah lusuh dan banyak karat.

"Pak! Pak!" panggil Akarsana. Ia lantas segera memutar gasnya dan menghentikan bentor yang ada di depannya.

"Iya neng, ada apa?"

"Sepedanya dijual tidak? Itu masih bisa dipakai?"

"Bisa neng, tapi kondisinya sudah begini."

"Berapa, Pak?"

"100 ribu kalau mau bawa dah, neng."

"50 aja gimana, Pak?"

Akarsana masih mencoba menawar dengan harga rendah. Dia masih harus mengecat ulang sepeda itu. Pada akhirnya ia dapat harga tujuh puluh lima ribu. Lumayan, dari pada dia harus mengeluarkan uang dua juta lima ratus ribu.

Akarsana meminta tukang becak ifi untuk membuntutinya hingga tiba di kantor. Setelah membayar ia lantas lekas masuk meski matanya masih melihat kearah sepeda butut berwarna merah kusam itu.

Senyumnya mengembang. Ia langas memberikan makanan itu pada para karyawan. Mereka memilih sendiri pesanan mereka dengan Akar yang menjadi pemandu bicaranya. Memberitahukan apa-apa saja yang ada di dalam sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status