Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma
Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana
Sampai tiba di kantor, Akarsana lekas turun terlebih dulu. “Terima kasih, Pak,” ucap Akar. Kendati, dia kesal tetapi ia tahu bagaimana caranya menghargai kebaikan orang lain.Namun, Tirtha hanya bungkam dan seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Akarsana. Gadis itu lantas merangsek ke dalam kantor dan membagi pesanan mereka, sekaligus memberikan uang kembalian. Tidak sedikit mereka yang memberikan uang kembalian itu pada Akar setelah tahu permasalahan atas keterlambatannya.“Kenapa lama banget?” sergah Cindy, dia juga sudah kelaparan karena menantikan makanannya tidak kunjung datang.“Sepedaku rewel.”“Terus gimana? Kamu ngojek?” Akar menggeleng.“Aku bareng Pak Tirtha. Nggak tahu beliau mau ke mana,” pungkas Akar sebelum Cindy bertanya lebih lanjut.“Pak Tirtha memang sejak tadi belum ke kantor, jadi kalian bareng gitu?” Akar mengangguk dengan wajah yang masih tampak lelah.“Tumbenan, Pak Bos baik,” celetuk Cindy yang langsung didengar oleh Tirtha.“Jadi maksudmu, biasany