Alisha kembali ke kamar dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup, ia memukul-mukul dahinya pelan.
“Bodoh banget sih lo, Sha,” gumamnya kesal pada diri sendiri. Ia menjatuhkan diri ke atas kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya cahaya temaram dari jendela yang menerangi sebagian ruangan. Kenapa tadi dia harus ngomong begitu? Kenapa nggak bisa diem aja? Ia membalikkan badan, menelungkup di kasur, lalu meremas bantal kuat-kuat. Pipinya panas, entah karena malu... atau karena sesuatu yang lain. Kalimat Bara tadi terus terputar di kepalanya. "Kalau kamu penasaran, lain kali ketuk pintu saja." Nada suaranya datar. Tatapannya dingin. Tapi kenapa kalimat itu terdengar seperti tantangan? Dan kenapa... jantungnya masih berdebar sampai sekarang? Alisha memejamkan mata, berharap bisa mengabaikan suara di kepalanya. Tapi semakin ia mencoba, justru kalimat Bara tadi makin nyaring terngiang. Kalimat itu... terdengar biasa, bahkan dingin. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di balik nada suaranya yang membuat Alisha sulit bernapas dengan tenang. Bara tahu. Dia tahu Alisha nguping. Dia juga tahu Alisha yang selalu mencuri-curi pandang tiap mereka bertemu. “Duh, gila sih...” gumam Alisha sambil menutup wajahnya dengan bantal, “Kenapa sih harus ngomong kayak gitu?” Rasa malu semakin menyelimuti tubuhnya. Jantungnya juga makin berdetak cepat. Pipinya panas. Ia malu bukan cuma karena ketahuan, tapi juga karena... Bara bicara padanya lebih dari biasanya. Alisha menarik napas panjang lalu duduk di tepi kasur. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh pelipis. “Jangan ge-er, Sha. Dia pasti cuma ngerjain lo. Biasa aja.” Esok paginya, mereka berdua kembali bertemu ketika sarapan pagi. Suasana di meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Alisha duduk di ujung meja, menyibukkan diri dengan roti yang belum ia gigit sejak lima menit lalu. Tangannya sibuk mengoles selai, tapi pikirannya ke mana-mana. Ia mencuri-curi pandang ke arah seberang—ke arah Bara. Tapi saat matanya akhirnya berani sedikit menatap ke atas ... Deg. Bara sudah lebih dulu menatapnya. Tatapan itu datar. Tapi cukup untuk membuat tangan Alisha berhenti bergerak. Bara lalu kembali menunduk, melanjutkan sarapannya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Alisha menunduk dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya yang semakin memanas. “Gawat…” bisiknya pelan dalam hati, “Kenapa deg-degannya nggak kelar-kelar sih…” “Ayo, berangkat, Chris,” kata Papa Christine tiba-tiba sambil melirik jam tangannya. Namun belum sempat Christine berdiri, suara Bara menyela dengan cepat. “Biar aku yang anterin, Pa.” Semua menoleh. Termasuk Alisha. Papa mengangkat alis, sedikit heran. “Kamu nggak sibuk hari ini?” Bara mengangguk santai. “Nggak. Sekalian cari barang juga.” “Oke, ya udah kalau kamu mau.” Christine mengernyit, "Tumben." "Sekalian mau keluar cari barang," ulang Bara tegas sambil mengambil kunci mobil di meja. "Oh, oke," sahut Christine singkat lalu melirik mamanya yang sedang duduk di meja makan. "Gitu dong, Bara. Keluar cari udara segar. Jalan-jalan kemana gitu. Nikmati masa liburan kamu sebelum nanti sibuk persiapan kursi CEO," kata mama Christine sambil tersenyum bangga. "Iya, ma," jawab Bara pendek lalu berjalan menuju pintu. Christine melirik ke arah Alisha. Keningnya mengernyit saat melihat Alisha tampak gugup, bahkan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Christine mendekat sedikit, menatap curiga. “Kenapa, Sha? Kok lo gugup gitu?” Alisha menoleh cepat, panik. Tidak mungkin dia menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya semalam. Apalagi soal film itu. Dan... tatapan Bara. “Enggak, Chris. Nggak ada apa-apa,” elaknya cepat, mencoba tersenyum. Christine masih menatap curiga, “Yakin?” “Iya, suerr...” kata Alisha sambil mengangkat dua jari. Meskipun belum puas, Christine akhirnya memercayai ucapan Allisha. Ia melipat tangan di dada. “Oke deh kalau gitu. Tapi bikin heran juga ya, tumben banget Kak Bara nawarin nganterin gue ke sekolah. Aneh.” Alisha hanya bisa diam menunduk. ******* “Chris, lo pulang duluan aja, ya? Gue ada perlu, pulangnya naik ojek aja, nggak apa-apa,” kata Alisha saat keluar kelas ketika mereka pulang sekolah. “Kemana, Sha?” tanya Christine heran. “Mau lihat kos-kosan yang bakal gue tempatin.” “Oh, udah nemu?” “Iya, kemarin nemu di sosmed. Harganya murah, lokasinya juga deket sekolah. Jadi lebih praktis nanti.” “Ya udah, biar gue temenin,” tawar Christine antusias. “Eh, nggak usah, nggak apa-apa. Biar gue sendiri aja, Chris.” “Beneran?” “Iya, santai aja.” Christine mengangguk-angguk. Ia kemudian berpisah dari Alisha dan menuju gerbang. Ketika akhirnya keluar dari gerbang sekolah, ia mendapati mobil Bara sudah terparkir di pinggir jalan. Bara membuka jendela saat melihat adiknya datang sendiri, “Temen lo mana?” “Siapa?” “Alisha.” “Oh, dia lagi cari kos. Katanya balik sendiri naik ojek. Tapi… kok kakak yang jemput? Tumben banget!” “Nggak boleh?” Tanya balik Bara, ekspresinya datar. “Ya boleh sih… cuma, tumben aja,” sahut Christine sambil masuk ke mobil. “Gabut di rumah.” Jawab Bara singkat. Christine hanya mendengus mendengar jawaban singkat kakaknya. Bara mulai melajukan mobilnya keluar area sekolah. Dalam perjalanan, Bara kembali bertanya kepada Christine. “Emang dia cari kos mau ngapain?” “Pindah, mama sama papa minta dia pindah secepatnya.” Jawab Christine. “Kenapa nggak balik pulang aja ke rumahnya?” Tanya Bara. “Dia diusir kak, sampai sekarang orang tuanya kayak nggak peduli sama dia. Makanya sekarang lagi cari tempat tinggal sementara sampai orang tuanya hubungin lagi, nggak tahu sampai kapan. Kasihan banget hidupnya,” Kata Christine. Bara yang mendengar jawaban Christine hanya diam saja, tak menimpalinya sama sekali.Tok... Tok... Tok... Alisha yang masih tidur, segera terbangun karena suara ketukan pintu di ruanganya. Matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan, ia bergumam pelan.“Ya...?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Pagi, princess!” terdengar suara riang dari balik pintu.Alisha terkejut. Ia langsung mengenali suara itu. “Bara? Kamu datang? Ini masih pagi loh...”Bara di luar kamar terkekeh. “Coba tebak aku bawa apa?”Alisha mengucek matanya sambil duduk di ranjang. “Apa? Bunga?”Bara menggeleng, meski Alisha tak melihat.“Coklat?” tebaknya lagi.“Salah juga.”Alisha mulai mendengus. “Ya terus apa dong? Jangan-jangan kamu malah nggak bawa apa-apa.”“Sabar, aku hitung ya. Satu... dua... tiga...”Tiba-tiba terdengar suara lain menyusul. “Taraaa...!”Pintu terbuka, dan sosok yang tak asing masuk ke kamar.“Christine?!” seru Alisha kaget, seketika rasa kantuknya hilang.Gadis itu tersenyum lebar lalu berlari kecil menghampiri Alisha. “Hai Sha! Gue kangen ban
Puas mengobrol dan bersenda gurau hingga malam, Bara pun akhirnya pamit. “Aku pulang ya? Besok aku ke sini lagi,” katanya sambil merapikan jaketnya. Alisha menggeleng pelan. “Kalau capek nggak usah, Bara. Nanti aja ketemu kalau aku udah sembuh, oke?” Bara tersenyum miring, mencondongkan tubuh. “Ehm… nggak janji, ya? Soalnya kaki aku biasanya gerak sendiri kalau lagi kangen kamu.” Alisha mendengus gemas. “Mulai deh… habis kena sihir di mana sih kamu tiba-tiba jadi senang ngegombal gini?” “Itu, di depan pintu ruangan kamu sihirnya kuat banget. Bisikin aku katanya gombalin Alisha terus, Bara. Dia kalau malu pipinya gede merah kayak bakpau tomat.” Alisha ternganga, lalu cekikikan. “Emang ada bakpau tomat?” “Ada, ini.” Bara menunjuk pipi gembung Alisha, menekannya dengan jahil. Wajah Alisha kembali memerah. Ia menutup pipinya dengan tangan. “Kalah aku hari ini sama kamu, Bara.” Bara mengangkat alis nakal. “Se
Sementara Alisha bersama Bara di ruangannya, Andin masih setia berada di ruangan Marchel sejak tadi. Ia duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Marchel. Suaranya lirih mengajak bicara Marchel, karena sesuai anjuran dokter agar otot sensorik dan kesadaran Marchel lebih cepat pulih.“Kamu tahu nggak, Mas… anak kita udah punya pacar loh,” ucap Andin sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. “Ganteng, CEO baru. Namanya Bara, tapi ya namanya hubungan, pasti ada jatuh bangunnya. Kayak kita dulu, kan? Hubungan kita yang awalnya hambar, tapi entah kenapa aku selalu percaya, suatu saat nanti aku dan kamu bakal jadi kita yang utuh.”Suara Andin mulai bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. “Aku sadar, Mas… yang benar-benar mencintaiku bukan orang yang sekadar bilang ‘aku cinta kamu’, tapi orang yang selalu ada waktu aku butuh. Yang nggak pernah ingin aku menderita. Dan aku merasakan itu… cuma dari kamu, Mas. Bukan dari Marco.”Nafasn
Setelah Bara pergi, Alisha masih tersipu malu. Pipinya panas, jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Lelaki itu benar-benar mampu membuat suasana hatinya berubah drastis. Jika kemarin ia merasa sendirian, sekarang ada Bara yang hadir membawa kehangatan dan membuat dunianya kembali terasa penuh warna.Tok tok…“Sha, Mama boleh masuk?” terdengar suara lembut Andin dari balik pintu.Alisha buru-buru menarik selimut, merapikan posisi tidurnya. “Eh iya, Ma… masuk aja.”Andin membuka pintu sambil tersenyum. “Loh, Bara mana?”“Beli makanan, Ma.” jawab Alisha cepat, tapi senyum malu-malu yang menyertai membuat Andin langsung mengerti.Andin duduk di tepi ranjang, jemarinya membelai rambut putrinya penuh kasih. “Kamu sudah lebih baik, Nak?”“Iya, Ma. Udah mendingan,” sahut Alisha lirih.Andin mengangguk pelan. “Mama juga melihatnya begitu. Apalagi sejak Bara datang… wajah kamu lebih segar, hatimu juga pasti ikut memb
Bara menatap Alisha serius. “Takut kenapa, Sha?”Alisha menarik napas pelan, lalu menunduk. “Takut kalau kamu punya pacar baru.”Bara sontak terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Mana ada, Sha. Kan kamu pacar aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar kamu aja nggak pernah nembak aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar? Kamu aja nggak pernah nembak aku.”Bara menaikkan alis, lalu tersenyum nakal. “Lah, tadi udah nembak.”Alisha berkerut bingung. “Kapan?”“Ya tadi,” jawab Bara santai, “waktu aku cium kamu. Kalau dipikir-pikir, kita udah beberapa kali ciuman, jadi anggap aja itu momen aku nembak kamu.”Alisha spontan menepuk lengannya, separuh malu separuh kesal. “Kamu ini ya… CEO, ganteng, punya segalanya, tapi nggak bisa romantis sama sekali. Mas
“Papa…” suara Alisha bergetar ketika memasuki ruangan.Di ranjang rumah sakit itu, Marchel sudah membuka mata. Tubuhnya masih lemah, selang infus menempel, tapi sorot matanya hidup, tajam namun rapuh.Alisha mendekat, berusaha menahan air mata. “Ini Alisha, Pa… syukurlah Papa sudah sadar.” Tangannya gemetar saat mengelus pipi lelaki tua itu. Meski hatinya menyimpan luka atas perlakuan sang ayah di masa lalu, tak pernah sedikit pun terbersit rasa benci.Andin yang berdiri di samping mereka ikut menenangkan. “Papa masih belum bisa bicara, Nak… dokter bilang butuh waktu untuk pulih. Tapi lihat, tatapan Papa nggak lepas dari kamu.”Marchel menatap Alisha lama sekali, matanya basah, seolah ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan tapi terhalang oleh kelemahan tubuhnya. Jemarinya bergetar, berusaha mengangkat, namun hanya mampu sedikit bergerak.“Pa…” Alisha makin terisak, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Nggak apa-apa kalau Papa belum bis