Jam istirahat makan siang tiba, Bara segera bersiap-siap menuju rumah sakit. Namun sebelum itu dia mampir terlebih dahulu membeli semua yang di pesan oleh Alisha. “Cokelat udah, minum udah… apalagi ya?” gumam Bara sambil memeriksa kantong belanja yang tergeletak di kursi sebelahnya. Ia memastikan tidak ada yang tertinggal. Ada seblak, mi ayam, jus buah, sampai roti kesukaan Alisha. “Udah semua kayaknya,” lanjutnya sambil menarik napas lega. Bara menyalakan mesin mobil, lalu melirik sekilas jam di dashboard. “Wah, udah hampir jam makan siang,” ujarnya pelan sambil memutar kunci kontak dan menghidupkan radio, membiarkan musik pelan menemani perjalanannya. Mobil pun perlahan meninggalkan area parkiran supermarket dan melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit tempat Alisha dirawat. Sementara itu, di kamar rumah sakit, Alisha dan Christine tengah duduk santai di sofa. Christine memainkan ponselnya sambil sesekali melirik pintu.
Christine lalu mengecek ponselnya sementara Alisha membereskan bantal di pangkuannya. Belum sempat ia menyesuaikan posisi duduk, suara dering ponsel tiba-tiba memecah kesunyian. Getarannya terdengar jelas di meja kecil di samping tempat tidur.Alisha menoleh sekilas, dan tanpa sadar senyumnya mengembang. Nama itu terpampang jelas di layar—Bara.“Siapa, Sha?” tanya Christine tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.“Bara…” jawab Alisha lirih, nyaris seperti bisikan.Christine langsung menatapnya dengan senyum menggoda. “Ciyeee… pantesan wajahnya langsung merona gitu. Ya udah gih, angkat sana, gue nggak dengerin, sumpah.”Alisha mendengus malu tapi tak kuasa menahan senyum. Ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.“Hallo?” suaranya terdengar pelan, hampir bergetar.“Hai, aku udah sampai kantor,” suara Bara terdengar hangat di seberang telfon.“Iya, syukurlah…” balas Alisha lembut.“Aku cuma mau pastiin nanti kamu jangan telat makan, ya? Terus jangan lupa minum ob
Christine dan Alisha mengobrol panjang lebar. Mereka saling melepas rindu dan bercanda, hingga lupa kalau ada Bara di sana.Sambil melihat ke arah dua gadis yang seakan tak menyadari keberadaannya, Bara berdehem pelan sambil menyilangkan tangan di dada.“Ehem… kenapa jadi gue yang jadi obat nyamuk di sini?” candanya.Seketika kedua gadis itu menoleh. “Eh, sayang… Maaf, lupa kalau ada kamu,” ucap Alisha tanpa sadar.Kata-kata itu membuat Bara terkejut, sementara Christine langsung memalingkan wajahnya karena ikut merasa malu.“Kayaknya gue obat nyamuknya deh…” gumam Christine lirih.Tak ada yang menyahut. Bara dan Alisha justru saling melempar pandangan canggung.“Bener kan gue obat nyamuk? Udah, mending gue sekolah aja daripada kering di sini,” kata Christine sambil bangkit.“Eh, mau ke mana?” tanya Alisha cepat.“Sekolah. Tadi niatnya mau bolos, tapi kayaknya kalian masih butuh waktu berdua. Jadi nanti aja aku ke sini lagi,” jawab Christine.“Nggak usah, udah nanggung. Berangkat seka
Tok... Tok... Tok... Alisha yang masih tidur, segera terbangun karena suara ketukan pintu di ruanganya. Matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan, ia bergumam pelan.“Ya...?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Pagi, princess!” terdengar suara riang dari balik pintu.Alisha terkejut. Ia langsung mengenali suara itu. “Bara? Kamu datang? Ini masih pagi loh...”Bara di luar kamar terkekeh. “Coba tebak aku bawa apa?”Alisha mengucek matanya sambil duduk di ranjang. “Apa? Bunga?”Bara menggeleng, meski Alisha tak melihat.“Coklat?” tebaknya lagi.“Salah juga.”Alisha mulai mendengus. “Ya terus apa dong? Jangan-jangan kamu malah nggak bawa apa-apa.”“Sabar, aku hitung ya. Satu... dua... tiga...”Tiba-tiba terdengar suara lain menyusul. “Taraaa...!”Pintu terbuka, dan sosok yang tak asing masuk ke kamar.“Christine?!” seru Alisha kaget, seketika rasa kantuknya hilang.Gadis itu tersenyum lebar lalu berlari kecil menghampiri Alisha. “Hai Sha! Gue kangen ban
Puas mengobrol dan bersenda gurau hingga malam, Bara pun akhirnya pamit. “Aku pulang ya? Besok aku ke sini lagi,” katanya sambil merapikan jaketnya. Alisha menggeleng pelan. “Kalau capek nggak usah, Bara. Nanti aja ketemu kalau aku udah sembuh, oke?” Bara tersenyum miring, mencondongkan tubuh. “Ehm… nggak janji, ya? Soalnya kaki aku biasanya gerak sendiri kalau lagi kangen kamu.” Alisha mendengus gemas. “Mulai deh… habis kena sihir di mana sih kamu tiba-tiba jadi senang ngegombal gini?” “Itu, di depan pintu ruangan kamu sihirnya kuat banget. Bisikin aku katanya gombalin Alisha terus, Bara. Dia kalau malu pipinya gede merah kayak bakpau tomat.” Alisha ternganga, lalu cekikikan. “Emang ada bakpau tomat?” “Ada, ini.” Bara menunjuk pipi gembung Alisha, menekannya dengan jahil. Wajah Alisha kembali memerah. Ia menutup pipinya dengan tangan. “Kalah aku hari ini sama kamu, Bara.” Bara mengangkat alis nakal. “Se
Sementara Alisha bersama Bara di ruangannya, Andin masih setia berada di ruangan Marchel sejak tadi. Ia duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Marchel. Suaranya lirih mengajak bicara Marchel, karena sesuai anjuran dokter agar otot sensorik dan kesadaran Marchel lebih cepat pulih.“Kamu tahu nggak, Mas… anak kita udah punya pacar loh,” ucap Andin sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. “Ganteng, CEO baru. Namanya Bara, tapi ya namanya hubungan, pasti ada jatuh bangunnya. Kayak kita dulu, kan? Hubungan kita yang awalnya hambar, tapi entah kenapa aku selalu percaya, suatu saat nanti aku dan kamu bakal jadi kita yang utuh.”Suara Andin mulai bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. “Aku sadar, Mas… yang benar-benar mencintaiku bukan orang yang sekadar bilang ‘aku cinta kamu’, tapi orang yang selalu ada waktu aku butuh. Yang nggak pernah ingin aku menderita. Dan aku merasakan itu… cuma dari kamu, Mas. Bukan dari Marco.”Nafasn