Alisha mulai mencari tempat tinggal yang sesuai dengan budgetnya, namun semua itu tidak semudah yang dia pikirkan. Tempat tinggal yang sesuai dengan ekspektasinya memiliki harga yang lumayan mahal dan tentu saja uang Alisha tidak cukup. "Gimana ini?" gumam Alisha sambil menggigit jarinya.
"Kenapa, Sha?" tanya Christine ketika melihat raut wajah sahabatnya yang gelisah. "Eh, enggak, Chris, nggak apa-apa," jawab Alisha berbohong, dia tidak ingin Christine mengetahui kesulitannya kali ini. Dia sudah sangat banyak merepotkan Christine, jadi Alisha tidak ingin merepotkannya lagi. "Bener nggak apa-apa? Kok kayaknya bingung gitu?" tanya Christine sedikit menyelidik. "Iya, Chris, beneran gue nggak apa-apa kok," kata Alisha tersenyum dan sebisa mungkin menyembunyikan raut wajah gelisahnya itu agar Christine percaya jika dia baik-baik saja. "Oh ya, Sha, gimana kakak gue? Masih cuek sama lo?" tanya Christine. "Iya masih banget, sumpah ya, gue nggak pernah ketemu cowok secuek kakak lo itu," kata Alisha ketika mengingat bagaimana sikap Bara padanya. Christine tertawa, dia sudah menduga jika kakaknya akan bersikap demikian. "Gue udah duga kali, Sha. Kakak gue emang tipe cowok yang sulit banget buat ditaklukkan. Kalau gue jadi lo, gue mending cari cowok lain yang ramah, baik, gitu," kata Christine. "Tapi ya, Chris, buat gue justru tipe cowok kayak kakak lo tuh misterius, tahu nggak. Semakin dia cuek, semakin gue penasaran dan bakalan gue kejar sampai bisa gue taklukkan," kata Alisha. Christine kembali tertawa, "Hahaha... Iya deh, terserah lo." "Nanti kalau gue udah bisa dapetin kakak lo, panggil gue kakak ipar ya?" kata Alisha bercanda. Seketika Christine menoyor kening Alisha hingga terdorong ke belakang. "Pikiran lo kejauhan. Sekolah dulu yang bener," kata Christine. "Iya... Iya, Chris. Tapi sumpah beneran ya, kakak lo tuh ganteng dan keren banget, tahu nggak," kata Alisha. "Iyalah, adiknya aja cantik gini," kata Christine dengan pose cantik dan pede. Alisha tertawa mendengar jawaban Christine. Alisha dan Christine terus mengobrol sambil tertawa. Christine tidak bisa menyangkal bahwa kakaknya memang sangat menarik perhatian, terutama bagi Alisha yang tampaknya sudah terobsesi dengan Bara. ********** Malam ini, seluruh keluarga Hartono termasuk Christine pergi menghadiri sebuah acara pernikahan di gedung dan hanya Alisha sendiri di rumah itu. Tetapi yang Alisha tidak tahu, Bara pun juga tidak ikut dengan keluarganya. Lama menunggu Christine kembali, Alisha pun berniat turun ke bawah untuk menonton TV. Dan saat melewati kamar Bara, samar-samar dia mendengar suara desahan yang tidak asing di telinganya. Perlahan Alisha mendekati kamar Bara dan menempelkan telinganya di pintu. Matanya membulat ketika ia menyadari suara apa itu... “Gila... Bara nonton film p**n*!” pekik Alisha, setengah berbisik, suaranya tertahan oleh rasa kaget. Ia kembali menempelkan telinganya ke pintu, mencoba menangkap suara itu lagi... “Eh, kok udah nggak ada?” gumamnya bingung, lalu mulai mengendap, mencari sumber suara tadi. Ceklek. “Sial...” Pintu kamar Bara mendadak terbuka dan di sana, Alisha masih dalam posisi menguping. Ia ketahuan. “Mau apa kamu di sini?” tanya Bara, suaranya dingin dan tenang. “Eh, nggak, Kak. Cuma... cuma mau cari itu... Pulpen saya jatuh tadi di sini,” jawab Alisha tergagap, menunduk pura-pura mencari pulpen di lantai. Sebuah senyum tipis terbentuk di bibir Bara. Alisha tak menyadarinya. “ Kamu nguping, kan?” tanya Bara datar. “Enggak, Kak! Beneran!” sangkal Alisha gugup. “Kamu mau tahu aku nonton apa tadi?” ucap Bara pelan, matanya menatap lurus ke arah Alisha. Alisha menegang. Matanya membelalak. Ia bingung harus menjawab apa. Mulutnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Jantungnya berdebar tak karuan. Kenapa Bara tiba-tiba bersikap ramah? Biasanya cowok itu cuek, dingin, bahkan malas bicara. Tapi sekarang... dia malah menatap Alisha langsung, dengan senyum tipis yang entah apa artinya. “A-apa maksudnya?” tanya Alisha akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Bara menyandarkan tubuh di kusen pintu, kedua tangannya bersedekap. “Kamu penasaran banget sampai rela nguping di depan kamar orang?” Alisha menunduk, jantungnya berdegup makin kencang. Ia tidak berani membalas tatapan itu. Bara tetap tak bergeming. “Kamu tuh... lucu ya,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi cukup jelas untuk membuat Alisha membeku di tempat. Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat bulu kuduk Alisha meremang. Ia menggenggam ujung bajunya gugup. “Apa... maksud Kakak?” tanyanya hati-hati. Bara menyilangkan tangan di dada, masih berdiri di ambang pintu. “Nguping, pura-pura cari pulpen... akting kamu buruk. Tapi lucu.” Alisha menunduk. “Aku nggak nguping.” “Hmm.” Bara mengeluarkan suara pendek, seperti tidak yakin. Lalu ia berbalik masuk ke kamarnya. Namun sebelum pintu ditutup sepenuhnya, dia berkata tanpa menoleh, “Kalau kamu penasaran, lain kali ketuk pintu saja. Aku mungkin izinkan.” Ceklek. Pintu tertutup. Alisha terpaku. Di balik rasa malu dan kesal, dadanya berdebar. Kata-kata itu dingin dan singkat. Tapi entah kenapa, terngiang-ngiang di kepalanya.Bara duduk di teras, bersandar santai di kursi rotan, matanya terpejam, earphone masih terpasang di telinga. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, seakan dunia luar tak ada artinya. Ketika Christine dan Alisha tiba di rumah, langkah mereka otomatis melambat, menyesuaikan atmosfer yang tercipta dari sosok lelaki itu.“Kak Bara, Chris. Ganteng banget sih dia,” bisik Alisha pelan.Christine terkekeh pelan. “Iya, mau nyapa?” godanya.“Ah, enggak-enggak. Gue lihatin aja wajah gantengnya,” jawab Alisha cepat, matanya tak lepas dari Bara.Christine mengangkat alis dan menepuk bahu Alisha singkat. “Oke, gue masuk duluan ya.”Alisha hanya mengacungkan jempol, matanya tetap tertuju pada Bara. Ia mulai melangkah pelan, nyaris tanpa suara, takut mengganggu sambil memandangi wajah Bara yang tampak tenang dan dingin dalam diam. Hingga tiba-tiba...."Kalau cuma mau lihat, mending ambil foto sekalian."Bara membuka matanya perlahan, menatap Alisha dengan pandangan tenang namun menusuk. Tak ada senyum, hany
Malam itu, keluarga Christine bersama Alisha, makan malam bersama. Setelah semua selesai makan, Alisha membuka percakapan terlebih dahulu kepada papa dan mama Christine. Ia merasa itu adalah waktu yang tepat untuk berpamitan."Om, tante, terima kasih banyak ya sudah mengizinkan Alisha tinggal di sini. Maaf Alisha belum sempat membalas semua kebaikan Om dan Tante," ucap Alisha dengan tulus."Oh, iya, Sha. Sama-sama. Memangnya orang tua kamu sudah memberi kabar?" tanya mama Christine dengan lembut."Belum, tante. Tapi Alisha sudah ada tempat untuk singgah sementara sambil menunggu mama dan papa menghubungi," jawab Alisha dengan hati-hati."Memangnya kamu akan tinggal di mana, Sha?" tanya papa Christine penasaran.Alisha tersenyum kecil, tampak sedikit canggung. "Eh... ada kok, om, tempatnya nggak jauh dari sekolah. Sementara di situ dulu aja, om dan tante tidak perlu khawatir."Papa dan mama Christine saling berpandangan, tampak masih ingin bertanya lebih lanjut tapi menahan diri. Dalam
Mobil yang dikemudikan oleh Bara akhirnya tiba di rumah. Christine keluar dari mobil lebih dulu. Bara membuka pintu mobil dan berseru pelan sebelum adiknya benar-benar menghilang dari pandangan, "Ambilin minum. Yang dingin." kemudian berjalan menuju kursi di teras depan. "Ambil sendiri lah!" balas Christine ketus. "Sebentar aja," ucap Bara singkat, nada suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi. "Ish," Christine menggerutu, tapi tetap masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi sambil menaruh segelas minuman di meja. "Nih," katanya tanpa melihat Bara. Bara masih sibuk menatap layar ponselnya. "Oke," jawabnya pendek, tanpa menoleh. Christine melirik kesal, "Bilang makasih kek." Bara akhirnya menoleh sekilas. "Oke, makasih." Nada suaranya tetap datar, lalu kembali fokus ke ponsel. "Hih, jutek banget sih. Pantesan nggak ada cewek yang mau," omel Christine sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Ucapan itu masih terdengar oleh Bara. Ia tersenyum tipis, nyar
Alisha kembali ke kamar dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup, ia memukul-mukul dahinya pelan.“Bodoh banget sih lo, Sha,” gumamnya kesal pada diri sendiri.Ia menjatuhkan diri ke atas kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya cahaya temaram dari jendela yang menerangi sebagian ruangan.Kenapa tadi dia harus ngomong begitu?Kenapa nggak bisa diem aja?Ia membalikkan badan, menelungkup di kasur, lalu meremas bantal kuat-kuat. Pipinya panas, entah karena malu... atau karena sesuatu yang lain.Kalimat Bara tadi terus terputar di kepalanya."Kalau kamu penasaran, lain kali ketuk pintu saja."Nada suaranya datar. Tatapannya dingin. Tapi kenapa kalimat itu terdengar seperti tantangan?Dan kenapa... jantungnya masih berdebar sampai sekarang?Alisha memejamkan mata, berharap bisa mengabaikan suara di kepalanya. Tapi semakin ia mencoba, justru kalimat Bara tadi makin nyaring terngiang.Kalimat itu... terdengar biasa, bahkan dingin. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di balik nada
Alisha mulai mencari tempat tinggal yang sesuai dengan budgetnya, namun semua itu tidak semudah yang dia pikirkan. Tempat tinggal yang sesuai dengan ekspektasinya memiliki harga yang lumayan mahal dan tentu saja uang Alisha tidak cukup. "Gimana ini?" gumam Alisha sambil menggigit jarinya."Kenapa, Sha?" tanya Christine ketika melihat raut wajah sahabatnya yang gelisah. "Eh, enggak, Chris, nggak apa-apa," jawab Alisha berbohong, dia tidak ingin Christine mengetahui kesulitannya kali ini. Dia sudah sangat banyak merepotkan Christine, jadi Alisha tidak ingin merepotkannya lagi."Bener nggak apa-apa? Kok kayaknya bingung gitu?" tanya Christine sedikit menyelidik. "Iya, Chris, beneran gue nggak apa-apa kok," kata Alisha tersenyum dan sebisa mungkin menyembunyikan raut wajah gelisahnya itu agar Christine percaya jika dia baik-baik saja."Oh ya, Sha, gimana kakak gue? Masih cuek sama lo?" tanya Christine. "Iya masih banget, sumpah ya, gue nggak pernah ketemu cowok secuek kakak lo itu," ka
"Chris, gue mau tanya sesuatu tentang kakak lo," kata Alisha kepada Christine saat mereka sedang belajar bersama."Apa itu?" tanya Christine dengan rasa ingin tahu."Gue ingin tahu lebih banyak tentang Bara. Apa yang disukainya? Apa yang tidak disukainya?" tanya Alisha dengan penasaran.Christine mengerutkan alis bingung tapi tetap menceritakan tentang Bara. "Bara itu memang cuek dari dulu, gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya. Dia suka main game dan membaca buku," kata Christine.Alisha mendengarkan dengan saksama dan dia merasa bahwa dia sudah mulai memahami sedikit tentang kepribadian Bara. "Kok bisa sih dia cuek banget?" tanya Alisha lagi.Christine menggelengkan kepala, "Gue nggak tahu, mungkin itu memang sifatnya. Bara memang tidak terlalu peduli dengan orang lain, tapi dia baik kok, tapi ya gitu kalau lagi mode kulkas ngeselinnya minta ampun. Emang kenapa sih? Lo naksir?" tanya Christine."Eh, bisa jadi," jawab Allisha kikuk.Christine tersenyum. "Ya udah, coba aja deh, gu
"Orang tua temen kamu tuh aneh ya," suara mama Christine terdengar di telinga Alisha ketika ia tengah berjalan turun di tangga. Alisha menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan lebih banyak."Aneh gimana?" tanya Christine bingung."Ya aneh. Masa anaknya minggat nggak dicariin.”"Udahlah, ma, biarin aja. Nggak usah julid gitu, nanti kedengeran Alisha nggak enak," Christine berusaha menenangkan mamanya."Biarin aja, biar temen kamu juga tahu diri kalau numpang di rumah orang tuh nggak bisa seenaknya. Biar dia segera cari kos atau apa gitu. Lagian papa kamu juga suruh mama ngomong ke Alisha kalau dia nggak bisa-bisa tinggal di sini," mamanya mengingatkan."Iya, ma, nanti aku bilangin Alisha," Christine menyanggupi. "Ini kamu mau les?" tanya mamanya setelah melihat penampilan Christine yang rapi seperti hendak pergi. "Iya, kenapa, ma?" Christine membalas dengan rasa ingin tahu."Mama ikut, sekalian mama mau belanja bahan masakan dan camilan yang banyak b
Esoknya, Alisha kembali menghubungi mamanya, setelah beberapa kali menelpon akhirnya Alisha dapat terhubung juga dengan mamanya. “Halo ma,” “Ada apa sih, Sha? Mama lagi sibuk, jangan ganggu dulu. Nanti aja,” kata mamanya dari seberang telfon. Samar Alisha mendengar suara lelaki sedang berbicara dengan mamanya yang bertanya, “Kenapa sayang?” “Nggak apa-apa,” jawab mamanya dengan nada centil kepada lelaki tersebut. Lalu panggilan pun terputus begitu saja. Alisha termenung usai mamanya mematikan telepon, tetapi Christine membuat Alisha tersadar dari lamunannya. “Yuk, kita turun Sha,” Alisha dan Christine turun ke ruang makan untuk sarapan bersama keluarga Christine. Melihat kehadiran Alisha, papa Christine membuka percakapan, "Gimana, Sha? Apa orang tua kamu sudah mengabari?" Alisha menggeleng, "Belum, om. Mama juga dari semalam belum bisa dihubungi." jawab Alisha berbohong. Mama Christine memberikan saran, "Kamu coba terus, karena bagaimana pun itu orang tua kamu,
Alisha memutuskan untuk ke rumah Christine. Ia berjalan kaki menuju ke sana dan setelah tiba di depan rumah Christine, ia menekan bel dengan tangan gemetar. Tak lama, pintu terbuka dan Christine berdiri di sana dengan ekspresi kaget dan khawatir. "Sha, kenapa datang tiba-tiba? Lo baik-baik aja?" tanyanya, menarik Alisha masuk sebelum gadis itu bisa menjawab. Begitu pintu tertutup, Alisha akhirnya menghela napas berat. "Chris..." suaranya hampir bergetar. Christine menepuk pundaknya pelan. "Udah, masuk dulu. Lo lapar? Gue ada mi instan." Alisha tersenyum kecil, "Mi instan selalu jadi solusi, ya?" "Ya iyalah," Christine terkekeh, "Udah, lo ke kamar gue dulu. Nanti kita ngobrol." Tanpa banyak bicara lagi, Alisha mengikuti Christine ke dalam. Untuk sementara, ia merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, malam ini ia tidak sendirian. Alisha duduk di tepi kasur Christine, memeluk lututnya sambil menatap lantai. Christine mengangsurkan segelas air mineral sebelum duduk di sebelahny