Share

Bab 07 Masalah Baru

“Di mana kamu?”

Belum selesai satu masalah. Alea sekarang malah di serbu sama pesan yang dikirim sama Chris. Semua pesannya berisi kata yang sama yaitu menanyakan posisi dirinya. Pesan yang terus dikirim sampai udah puluhan pesan yang masuk ke ponselnya.

Alea tidak mengerti kenapa, tapi ini benar-benar berisik membuat dia terpaksa balas semua itu.

/Berhenti bang ... aku bilang stop tanya aku ini itu. Omongan abang yang kemarin udah buat aku yakin kalau abang nggak mau kenal sama aku lagi. Aku tau kalau abang udah kecewa sama aku. Maka dari itu, udah ya. Berhenti chat aku kayak gini./

Dan setelah pesan dikirim, Alea malah mendapat panggilan dari Chris membuat ia menghela napas dalam. Dengan cepat Alea mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum beranjak dari tempatnya kini.

“Aku nggak mengerti sama sekali, kenapa bisa terjebak oleh dua orang yang benar-benar posesif. Aku nggak tahu kalau mereka bakalan sampai sejauh ini.”

Alea mengacak rambutnya dan menghela napas. Ia nggak peduli sama tatapan aneh dari orang lain. Ia terus saja berjalan dan langsung menghentikan taxi, memintanya ke suatu tempat yang bisa menenangkan dirinya.

Di sinilah sekarang Alea berada,

Sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan benar-benar sepi. Danau yang terletak jauh dari pemukiman. Ia duduk di pinggir danau dan meluruskan kakinya.

“Tenang .. kayaknya udah lama banget aku nggak bisa tenang kayak gini.”

Alea tertawa kecil. Menertawakan dirinya yang ada di masa lalu.

“Dulu aku selalu aja berusaha sekuat mungkin untuk sembunyiin satu sama lain. Entah pas aku lagi bareng mas Bram aku bakalan matiin ponsel aku biar abang Chris nggak nelepon atau pas aku bareng abang Chris. Aku berusaha pergi ke tempat yang jauh dari sini biar nggak bisa tuh mas Bram tau apa yang aku lakuin.”

Alea memijat kepalanya dan menghela bapas lagi.

“Dan aku begitu bodoh, karena lupa kalau mas Bram bisa suruh orang buat cari tau tentang aku. Jadi ... sekarang inilah keadaan aku. Dua orang yang aku berusaha sembunyiin satu sama lain sekarang udah tau.”

Alea mengepalkan tangan dan meninju kasar rumput di sana.

“Tapi ... yang bikin aku kesal tuh, kenapa mereka bukannya milih pergi aja dari hidup aku karena tau aku bohong. Tapi kenapa mereka malahan semakin posesif sama aku sih!”

Alea marah, benar-benar marah.

Dia sudah muak sama semuanya. Capek jadi perempuan yang dibutuhin pas mereka bosan serta capek karena cuma tubuhnya aja yang mereka inginkan.

Alea juga mau kayak perempuan lain. Perempuan yang dihargai sama laki-lakinya serta perempuan yang benar-benar dijaga. Bahkan dicintai selayaknya. Bukan malah dicintai dengan paksa.

“Kadang aku nggak habis pikir. Kenapa laki-laki yang aku temui di sini tuh semuanya sama. Cuma butuh hal yang seperti itu.”

“Ya ... walaupun abang Chris nggak kayak gitu. Tapi tetap aja kadang aku suka nggak nyaman sama sikap maksa dia yang berlebihan banget dan diluar nalar— Duh ...”

Alea merogoh tasnya. Tiba-tiba saja ponsel satunya lagi berdering. Ia menelan saliva saat melihat nama yang ada di layar.

“Ibu jarang banget nelpon. Duh, ada apa ya ini? Semoga bukan hal yang buruk deh,” gumam Alea sambil mengangkat panggilan tersebut.

“Hallo bu, assalamu’alaikum. Ada apa bu? Tumben sekali ibu nelepon aku.”

“Nak ... bagaimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja kan di sana?”

Alea terdiam untuk sesaat. Wajahnya langsung sumringah dan ia tersenyum lebar. Ia bahagia sekali ditanya seperti ini. Setelah sekian lama, bahkan ibunya nggak pernah basa-basi sama dirinya itu.

“Baik bu ... aku baik banget, makasih banyak ya bu karena udah sempetin waktu buat nanya kabar aku. Terus ... kabar ibu gimana? Kabar bapak gimana? Kalian baik-baik aja kan di sana? Nggak ada hal apa pun yang terjadi?”

“Sebenarnya ini alasan ibu nelepon kamu.”

Dan senyuman yang tadi terpampang kini berubah membuat Alea langsung was-was.

“Bapakmu, nak ...”

“Kenapa sama bapak? Ini bapak baik-baik aja kan? Aku boleh dengar suara bapak?”

“Udah nggak usah, kamu ngobrol sama ibu aja. Ini nak, bapak kamu nggak sengaja nabrak orang terus sekarang oorangnya niat laporin bapak kamu. Ibu nggak sanggup kalau bapak kamu sampai masuk penjara. Jadi, kamu bisa kan bantu kami?”

“Bu ... gimana dengan hutang yang lain? Kalau aku bayar ke yang sekarang. Aku takutnya nanti nggak bisa bayar hutang ibu sama bapak bulan ini. Nanti yang ada bunganya makin menumpuk. Terus juga ... kenapa bisa nabrak orang lain? Terus memang harus di selesaiin sama biaya aja? Gimana kalau ngobrol dari mata ke mata. Pasti mereka mengerti sama keadaan kita.”

“Ck ... kamu kan kerja, nak. Masa buat bayar gitu aja nggak bisa sih. Terus pakai nanya-nanya lagi. Bilang aja kalau kamu nggak mau bantu kami! Kayaknya tinggal di sana buat kamu jadi lupa diri dan nggak peduli lagi sama kita. Ternyata memang benar ya anak durhaka itu memang ada.”

“Bu ... ayolah. Berhenti bilang aku anak durhaka. Kalau aku lupa diri. Pasti aku nggak bakalan kirim bulanan buat ibu sama bapak atau aku yang nggak bakalan bayar hutang ibu sama bapak yang bahkan uangnya nggak aku rasain sama sekali.”

“Mulai hitung-hitungan kamu sama ibu? Woah jadi gini ya ... memang benar—

“Ya udah, berapa bu semuanya?” potong Alea pada akhirnya. Hatinya udah terlalu sakit untuk mendengar pembicaraan hal ini dan memang nggak akan pernah ada habisnya. Karena sang ibu yang selalu aja merasa benar dan berakhir dirinya yang salah.

“Lima puluh juta.”

“Bu!” kaget Alea. “Beneran sebanyak itu. Ya ampun uang sebanyak itu aku cari di mana.”

“Nak ... memangnya kamu mau bapak kamu di penjara? Mereka memang sengaja minta banyak. Ini ibu yakin kalau mereka sengaja cari untung. Tapi masa uang segitu kamu nggak punya sih. Kamu kan bisa pinjam gitu sama siapa. Ibu mohon ... ibu nggak mau kalau sampai bapak kamu masuk penjara.”

“Ya udah kalau gitu, boleh aku dengar suara bapak? Aku mau denger penjelasan dari bapak.”

“Kamu nggak percaya sama ibu! Kamu ngira ibu bohong! Nak! Ya ampun ... hati ibu sakit banget pas kamu nggak bisa percaya gini sama ibu. Salah apa ibu sama kamu? Sampai anak ibu sendiri anggap ibunya bohong.”

“Bu ... bukannya begitu.”

“Ibu juga bingung, nak. Tapi kan ibu cuma punya kamu. Ibu nggak mau kalau ngerepotin kamu lagi. Tapi mau gimana lagi?”

Alea menarik napas dalam. “Ya sudah ... aku akan cari uang. Ibu sama bapak nggak usah khawatir. Aku akan bayar dan buat bapak nggak di penjara,” putus Alea pada akhirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status