"Bunda, susu."
Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap.
"Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy."
"Bunda, minta tolong buatkan susu."
"Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?"
"Kakak Al?"
"Kakak Al kan masih sekolah."
"Ayah?"
"Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?"
"Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi."
"Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"
Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
[Ryan, Alshad sakit! Aku butuh uang untuk membawanya berobat, tolong segera kirim secepatnya, aku tunggu!] Rasanya Ryan sudah mulai muak dengan permintaan Sarah Amalia. Mantan istrinya itu semakin kesini makin sering meminta uang dengan alasan yang hampir sama setiap harinya. [Ryan, kenapa cuma read doang? Ayo cepetan kirim uangnya!] [Atau kamu mau, anakmu ini tambah parah sakitnya?] Kepala Ryan serasa mau pecah, Sarah terus-menerus menerornya. Sedangkan hubungannya sendiri dengan Nisya, istrinya yang sekarang sedang dalam masalah besar, dan yang menjadi sumber masalahnya tak lain adalah mantan istrinya sendiri. Bukan hanya Ryan, tapi Nisya sepertinya sudah diambang batas kesabarannya menghadapi Sarah. Sehingga Nisya memilih untuk menyerah atas pernikahan yang rumit ini. Apalagi sejak kehadiran Sarah, Nisya semakin membulatkan tekadnya untuk bercerai dari
Matahari mulai terbangun dari peraduannya, tetapi netra ini seakan engan untuk menyambutnya. Dekapan hangat dari seseorang yang kini berbagi ranjang denganku semakin membuatku terlena, Ryan Ahmad Salim, pria yang sudah 6 bulan ini menjadi suamiku. Terpaksa aku harus secepatnya bangkit dari kenyamanan ini, karena jika tidak bisa dipastikan kalau kami akan semakin kerepotan, apalagi 'dia' pasti sebentar lagi akan menjerit heboh karena tidak menemukanku ada di sampingnya. Alshad Ahmad Salim, putra semata wayang kami. "Bunda!" teriaknya. Nah kan, sesuai perkiraanku kalau sudah begini mau tidak mau aku memang harus beranjak dari dekapan erat suamiku. "Mas, lepasin itu Alshad sudah teriak-teriak," Dia hanya bergumam dan menggeser lengannya yang semula melingkar erat di pinggangku. Segera kuhampiri anak itu, sebelum teriakannya berubah menjadi tangisan yang sangat menggangu. "Selamat pagi, Al. Gimana tidurnya, nyenyak nggak?" sapaku sambil kupeluk tu
"Percaya sama papa, Ryan orang baik, papa yakin kalau kalian akan cocok nantinya. Lagian papa juga nggak mungkin asal memilih jodoh buat kamu, putri semata wayangnya papa.' Teringat ucapan papa saat beliau memutuskan untuk menjodohkanku dengan Mas Ryan, awalnya aku menolak dengan tegas keinginan papa, bagaimana bisa aku menikah dengan seorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Terlebih dengan statusnya yang seorang duda dengan satu anak. Atas paksaan papa dan juga mama akhirnya mau nggak mau aku terpaksa harus menerima Mas Ryan sebagai suamiku. Tentunya melalui banyak drama dariku yang berusaha agar papa luluh dan membatalkan niatannya itu. Namun ternyata tak seburuk bayanganku, aku mengira akan sulit menjalani pernikahan ini. Terlebih aku juga harus terpaksa menjadi ibu saat itu juga, aku tentu saja takut jika nantinya tidak bisa menjalani kewajibanku sebagai seorang ibu yang baik. Nyatanya ketakutanku terbantahakan pada akhirnya, karena justru kehadi
"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya. "Dikirim lagi?" Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut." "Kali ini gara-gara apa lagi?" "Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut. Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping. "Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu." "Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu." Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, ter
"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja." "Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan. "Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan. Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju. Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya. "Mas, mau nambah lagi?" "Enggak, mas sudah cukup kenyang." "boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau." "Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya. Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil
Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah. Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung. "Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?" "Kenapa?" "Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar." "Mau kemana?" "Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik. Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya. "Han