Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny