Cerita El dan Bin sampai di sini ya, tapi tenang aja, nanti masih ada ekstra part. Terima kasih untuk yang sudah membaca kisah mereka sampai akhir. lope lope sekebon singkong. Lope you all
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Hanya itu? Hanya karena itu kamu meminta putus? Hanya karena kamu bosan denganku? Lelucon macam apa itu, hah!” “Ya, aku bosan. Lagi pula sejak awal, bukankah kamu tahu jika hanya menjadi pelampiasanku saja? Ayolah, jangan terlalu munafik. Kita masih muda, bahkan cinta yang kita rasakan hanyalah cinta monyet saja. Bahkan kita tidak tahu apakah kita akan terus bertahan. Cinta kita hanya sebuah kenakalan dan emosi sesaat. Tidak ada cinta yang tulus di antara kita.”‘Setiap kata yang terucap, bagai belati yang menyayat hati. Aku mencintaimu setulus hati, tapi kamu hanya menganggapnya sebagai kenakalan dan emosi sesaat. Bintang, apa yang terjadi kepadaku sekarang, aku akan menyalahkanmu di masa depan. Jika kelak kita bertemu lagi, maka kamu harus membayarnya. Berdoalah kita tidak akan pernah bertemu lagi.’**Suara desahan menggema di ruangan berukuran besar itu, tidak ada penyekat dinding, antara ranjang, dapur, hingga ruang tamu menjadi satu meski ada jarak yang memisah. Hanya kamar ma
“Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Langit ke wanita yang baru saja menemaninya tidur.“Oke, El. Aku tunggu kabar darimu,” balas wanita berkebangsaan Prancis itu. Dia bahkan memberikan kiss bye ke Langit, padahal ada orang lain di sana.Joya—Ibu Langit, menatap putranya dengan dada yang bergemuruh. Bisa-bisanya putra yang sangat dibanggakan, malah tidur dengan sembarang wanita. Kedatangannya ke Prancis untuk menjenguk sang putra yang sudah bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia, membuat Joya begitu syok karena melihat putranya tidur dengan wanita yang bukan istrinya.Stevani berjalan melewati Joya dan melempar seulas senyum, tapi langsung dibalas dengan tatapan sengit oleh wanita yang hampir menginjak umur enam puluh tahunan itu.Langit dengan santai turun dari ranjang, mengambil kimono tidur berbahan satin dan mengenakan, sambil berjalan ke arah sang mimi yang sangat disayanginya.“Kenapa Mimi tidak menghubungiku dulu kalau mau datang? Jika Mimi menghubungi, aku tentunya bisa menj
‘Saat kulangkahkan kaki keluar dari tempat yang selalu membuatku nyaman. Aku enggan mendongakkan kepalaku, tak ingin menengadahkan wajahku. Bahkan tak ingin melihat betapa cerahnya hari itu. Bukan, bukan ‘ku tak ingin melihat indahnya dunia, tapi aku sedang lari dari kenyataan jika telah mematahkan hati pemuda yang aku cintai. Hingga aku tidak mampu menatap langit, yang mampu mengingatkan kepadanya. Aku adalah sebuah bintang yang durhaka pada langit karena tidak mau menemaninya dan menatapnya.’“Bu Bintang.”Seorang staff tampak berjalan cepat untuk menyusul seorang gadis yang sudah sampai di depan lobi.Gadis berambut panjang sebahu itu menoleh. Bintang adalah seorang direktur pemasaran di perusahaan sang ayah. Dia berhenti melangkah dan menunggu staffnya menyusul dirinya.“Payung Anda, Bu.” Staff itu memberikan payung lipat ke Bintang.“Ah iya, sampai lupa,” ucap Bintang dengan senyum tipis di wajah.Staff itu memberikan payung ke Bintang, lantas menyodorkan berkas yang dibawanya ju