Share

Bab 3 Syarat

Tak terasa langit yang cerah berubah gelap. Namun, daun pintu bercat putih itu tak kunjung terbuka. Sebuah Maybach S560 hitam memasuki pelataran. David, sang Ayah baru saja tiba. Bahagia. Leticia tersenyum senang saat melepas sarung tangan yang berlumuran tanah. Wanita itu bergegas menghampiri mobil. Menyambut sang Ayah yang lama tak bertemu.

Ketika David baru saja turun, Leticia terkejut melihat perubahan drastis sang ayah. Pria berusia 56 tahun itu lebih kurus, garis-garis di keningnya terlihat. Namun, dia masih tampak gagah dengan setelan kerja berwarna hitam.

Air wajah David merah padam melihat Leticia berdiri di hadapannya. Tubuh pria itu gemetaran karena amarah yang memuncak, napasnya seolah bergemuruh.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Leticia.

"Masih ingat aku? Masih berani menampakkan wajahmu? Masih berani menginjakkan kaki di rumah ini? Di mana kau meletakkan rasa malu mu, hah?" Seolah tak merasa iba dengan kondisi Leticia yang babak belur, David menyerang dengan bertubi pertanyaan.

Leticia terkesiap, dia menyeka darah yang terasa asin di sudut bibir. Air matanya menetes. Sungguh, wanita itu menyadari, dirinya layak menerima tamparan sang Ayah.

"Ayah, maafkan aku," ucap Leticia lirih seraya menunduk.

Sang Ayah bergeming tak mengindahkan perkataan Leticia. Pria yang sudah lanjut usia itu mendelik lalu melewati Leticia dengan langkah cepat.

Leticia membalikkan badan mengejar David. Perhatiannya tersita kala melewati beberapa ruangan yang tampak sepi.

"Ayah, berhentilah. Kumohon ...," jerit Leticia sambil terisak. Langkah David terhenti.

"Ayah, tolong ampuni aku." Leticia menghampiri David yang mematung di dasar tangga.

"Apa aku harus memaafkan orang yang telah membuat malu dan membunuh keluargaku?" David melontarkan pertanyaan tegas.

Leticia menarik lengan sang Ayah agar menoleh. "Apa maksud Ayah?" tanya wanita itu saat menghapus air mata dengan punggung tangan. Namun, David enggan membalikkan badan.

"Kau tak hanya membuat keluarga malu! Istriku begitu tertekan karena kehilanganmu! Itu membuat Laura mengakhiri hidup, kau membunuh istri dan putriku, Leticia! Kau pembunuh! Kau menancapkan belati yang sangat dalam di hatiku! Kau menghancurkan keluargaku! Kau merampas orang-orang yang kucintai! Aku membencimu!" Sekali lagi David menyerang Leticia dengan ucapannya lalu dia menaiki tangga dengan cepat.

Dunia seakan runtuh. Leticia membekap mulut dengan kedua tangan, sekujur tubuh seketika menggigil.

Leticia ringkih dan terjatuh. Betapa besar dampak perbuatan bodohnya yang memilih pergi bersama Daniel.

Tak ingin David semakin membenci, dia bergegas mengejar. Hanya David satu-satunya keluarga yang dimiliki saat ini.

"Ayah ... kumohon. Maafkan Putrimu ini, Ayah." Leticia tak menyerah mengejar David hingga ke kamar.

Langkah David terhenti lalu mengembuskan napas kasar mendengar kata 'Putrimu'.

"Kenapa aku harus memaafkanmu?" David bertanya tanpa membalikkan badan.

Leticia gemetar mendengar pertanyaan itu. Dia bersimpuh di hadapannya. "Aku ditipu pria itu, dia sudah berkeluarga. Aku baru mengetahui semalam, aku bersumpah. Aku menyesal, maafkan aku, Ayah." Leticia terisak sambil memeluk kaki David.

"Kau mencoreng namamu sendiri. Kau bahkan tak mendengar nasehatku! Kenapa kau tak menyelidiki pria itu? Kenapa begitu mudah dirayu? Kenapa begitu murah? Terbuai dengan hartanya? Aku tak memberimu cukup uang, hah?" David terengah-engah menahan sesak. Leticia tak bisa menjawab, mulutnya seolah terkunci.

"Pergilah!" tutur David dengan tegas.

"Ayah ... kau boleh mengusirku. Tapi, kumohon sekali saja beri aku kesempatan menebus kesalahanku. Tolong ...." Tangan Leticia semakin erat memeluk kaki David.

"Tunjukkan jika kau layak dimaafkan!"

Leticia berdiri pelan lantas memeluk punggung tegap David. "Terima kasih, Ayah." Suara Leticia terisak.

"Aku belum memaafkanmu! Kecuali kau lakukan satu hal." David melangkah ke meja kerja.

"Akan kulakukan apa pun untuk Ayah," jawab Leticia penuh keyakinan.

"Temui seorang arsitek di Catania!" ucap David saat mengambil sebuah dokumen lalu memberikannya pada Leticia.

"Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!" tuturnya. David duduk bersandar di atas kursi kerja seraya memainkan kumis tebal.

Dahi Leticia mengerut mendengar kata arogan. Sejenak, mata sembap wanita itu terpejam. Apa dia akan menghadapi orang seperti Daniel? Terpikirkan hal itu membuat bulu kuduk Leticia meremang.

"Apa dia orang berkuasa? Kenapa terkenal arogan? Apa yang harus aku katakan pada orang itu?" Leticia membuka dokumen dan membaca sekilas. Namun, tak ada satu kata pun yang dia baca dari sederet huruf-huruf itu.

"Aku tak tahu kekuasaanya, yang aku tahu semua proyek yang ditanganinya selalu memuaskan," jawab David, "aku dan Alfonso akan membangun hotel, resort, dan perumahan. Aku ingin arsitek handal itu yang menangani proyek. Pastikan padanya berapapun nominal yang diinginkan, akan kuberikan."

Leticia mengangguk paham, berbaikan dengan sang Ayah adalah keharusan. Dia tidak akan ragu menerima syarat apapun.

"Kapan aku harus pergi?" Leticia duduk di sofa dekat pintu.

"Besok pagi. Dia orang yang sibuk, orang-orang ku tak berhasil meminta dia menangani proyekku," terang David.

"Sekarang dia menangani proyek milik Ayres putra surung Alfonso di Palermo. Entah hal apa yang membuat dia harus pergi ke Catania," tuturnya. Jemari David mengetuk-ngetuk meja, suaranya mulai terdengar lelah.

Leticia menggigit bibir semakin panik. Benaknya tak berhenti berpikir. Apa orang-orang arogan berasal dari Palermo? Dia baru saja melarikan diri dari kota itu, sekarang harus berhadapan dengan orang dari sana.

Leticia menggeleng mengenyahkan pikirian seraya mengembuskan napas berat. Wanita itu memiliki kendala lain untuk menjalankan tugas. Bagaimana mengutarakan pada David, tak mungkin dia berterus terang mengatakan Daniel telah merampas semua yang dia miliki.

"Ayah, aku ... aku mengalami perampokan. Semua tabunganku lenyap, bahkan aku tak memiliki ponsel untuk menghubungimu," ucap Leticia gelagapan, dia sangat berhati-hati mengatakan itu pada David.

"Pahlawanmu tak membantu?" sindir David dengan senyum mengintimidasi.

Leticia tertunduk, mulutnya seolah terkunci. Pahit. Hatinya semakin sakit.

Seringai senyum jijik tersirat dari David saat mengingat Leticia terbiasa hidup berkecukupan. Lelaki tua itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet lalu mengambil ponsel di laci.

"Kurasa uang ini cukup untuk kebutuhanmu beberapa hari di sana. Kau bisa memakai ponsel mendiang adikmu, aku akan meminta orangku menyiapkan apartemen di mana arsitek itu berada."

Leticia berkali-kali menelan ludah, tenggorokannya bagai tersumbat. Mendapati David hanya memberi uang makan untuk beberapa hari. Dia berdiri lalu mengambil barang uang dan ponsel di atas meja. Kemudian berpamitan menyiapkan segala keperluan di Catania.

Setelah mandi dan mengemas pakaian, dia pergi ke dapur. Perutnya melilit, dia mengingat kapan terakhir kali dia makan. Di kafe malam kemarin saat di Palermon. Ckck. Pantas saja dia kelaparan.

Malam belum begitu larut, Leticia merebahkan tubuh di atas ranjang. Dia menatap potret keluarga yang terpasang di dinding. Air mata kembali menetes. Rindu. Sungguh, dia merindukan belaian sang ibu. "Maafkan aku, Ibu." Leticia menangis pilu.

Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Vanderson Raymondo tengah menikmati sebatang rokok sambil melajukan BMW Hydrogen 7 silver di atas aspal hitam, membelah jalanan Kota Palermo. Begitu tiba di gedung serba putih, pemuda yang biasa dipanggil Ray itu memarkirkan mobil tak jauh dari lobi.

Detak sepatu Ray terdengar santai dan teratur. Dia melangkah menyusuri lorong dalam gedung yang berdinding kokoh.

Klik

Ray membuka salah satu pintu ruangan di rumah sakit.

"Kau sudah datang, Ray," sambut Maxwel. Dokter itu segera berdiri dari balik meja kerja lalu menghampiri Ray di ambang pintu.

"Sudah siap semua, Max?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status