Share

Bab 4 Pendusta

Vanderson Raymondo, Dokter Maxwel, dan Marco tengah bersiap-siap untuk pergi ke Catania. Namun, Alex datang tergopoh-gopoh. Dia memberitahu Raymond agar segera menemui Tuan Ayres, pemilik proyek yang sedang ditangani Ray di kota itu. Akhirnya, Ray meminta Max dan Marco menunggu di Bandara. Sementara dia dan Alex akan pergi ke Viale resto untuk menemui Ayres.

 

Saat dalam perjalanan, Ray menyandarkan tubuh di kursi samping kemudi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Rindu. Ya, dia merindukan kekasihnya, Nikita. Wanita pekerja keras dan lugu. Banyak hal yang disukai Ray darinya. Wanitanya itu adalah seorang desainer perhiasan yang namanya meroket karena karya-karya luar biasa.

 

Nikita tidak seperti wanita lain yang memikirkan materi. Sejak awal Ray memperkenalkan dirinya hidup sebatang kara dan dibesarkan di panti asuhan. Bukan tak memiliki orang tua, tetapi Ray tidak mengetahui siapa ayahnya. Entah kemana ibunya pergi sejak dia berusia lima tahun.

 

Raymond mengingat awal pertemuannya. Nikita wanita cantik yang menjadi pengisi acara amal untuk anak-anak penderita kanker di sebuah taman. Sementara Raymond dilanda kerinduan pada sang ibu, dia menghibur diri di taman itu.

 

Alunan lagu dari Nikita membuatnya tenang. Dengan percaya diri, dia mendatangi Nikita. Menyanjung bagaimana wanita itu bernyanyi. Hari itu tak membuat mereka dekat.

Pertemuan berikutnya, Nikita tengah mencari seorang arsitek untuk perencanaan gedung baru di PT. ArmArts Jewelry tempat dia bekerja. Sejak saat itu mereka dekat dan berhubungan hingga saat ini.

Nikita adalah wanita yang menemani Raymond hingga mencapai titik kesuksesan. Nikita bertahan dengan Ray meski CEO perusahaan tempat dia bekerja itu tertarik padanya. Inilah yang membuat Raymond menyayangi Nikita, dia setia. Namun, entah kenapa kekasihnya itu selalu menolak saat Raymond ingin menikahinya.

Alex yang sedang fokus menyetir melirik ke samping kemudi. "Senyummu memuakkan, Ray!" celetuk Alex.

"Sahabat terlaknat!" sahut Ray enteng.

"Kapan kau menikahi wanitamu?" tanya Alex. Dia tahu betul apa arti senyuman itu.

"Entahlah, dia bilang belum siap." Ray menyalakan sebatang rokok yang diapit jemarinya.

"Enn … aku akan mengajaknya ke Catania, rinduku sudah tebal." Ray meraih ponsel menghubungi Nikita. Namun, Ray tak kunjung mendapat jawaban. Alis Ray saling bertaut.

"Kenapa?" Alex mencium aroma kegelisahan. Ray tak menjawab. Dia menghisap rokok sambil mengetik pesan.

 [To :  Bee

Sayang, kau sibuk? Temani aku ke Catania bisa tidak?]

[From : Bee

Aku tidak bisa pergi, pekerjaanku menumpuk.]

[To : Bee

Jangan bekerja keras, kekasihmu bukan orang susah. Jangan mencemaskan masa depanmu.]

 [From : Bee

Aku memantaskan diri untuk pria hebat sepertimu, sudah, ya. Aku harus menyelesaikan desainku. Sampai jumpa, Sayang.]

[To : Bee

Jangan melupakan makan malammu! Sampai jumpa, Wanitaku.]

Ray menyimpan ponselnya di saku mantel sambil tersenyum, Nikita selalu membuatnya takjub. Saat itu, mereka tiba di Viale resto. Ketika hendak membuka pintu, gerakan Ray terhenti. Nikita? Ray tak mungkin salah melihat. Dia meraih ponsel dan mengirimkan pesan.

[To : Bee

Sayang, jangan lupa makan malam.]

"Lex, tunggu!" Ray menahan tangan Alex yang hendak membuka pintu mobil sambil menatap tajam ke depan resto.

Ponsel Ray berbunyi notifikasi pesan.

From : Bee

Iya aku makan setelah menyelesaikan desainku. Sayang, aku dikejar deadline. Aku mematikan ponsel beberapa jam. aku akan menghubungimu sebelum tidur.

 

Nikita membohonginya tepat di depan mata. Suasana hati Ray seketika tak menentu, entah kenapa Nikita berbohong. Siapa pria yang duduk dengannya? Ray yakin, Nikita tidak mungkin selingkuh, dia wanita setia.

 "Kenapa?" Alex menepuk bahunya. Ray turun dari mobil lalu bergegas masuk resto.

 "Sial!" Alex mengumpat saat menyadari Nikita bersama seorang pria, dia segera berlari menyusul Ray.

Ketika mereka masuk dan menghampiri Nikita, tiba-tiba pria yang duduk berhadapan dengan wanita itu menoleh lalu menyambutnya, "Tuan Vanders, aku pikir kau tak akan datang." Ayres, pria manis berusia 30 tahun itu tersenyum ramah.

Hati Ray seketika bagai disayat-sayat. Namun, dia berusaha untuk mengendalikan diri. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab Ayres dengan suara yang tak kalah ramah. "Tuan Ayres, aku tak pernah ingkar janji."

"Terlambat 3 menit dari janjiku," tutur Ray melihat jam di pergelangan tangan lalu melirik ke meja, dia yakin Nikita sudah lama bersama Ayres. Alex yang berdiri di sampingnya sudah kalang-kabut panik dengan situasi seperti itu.

Mereka membahas kerjasama yang tertunda, Ray akan melanjutkan proyek setelah dua pekan. Fokus Ray saat ini hanya kesembuhan Marco, sahabatnya yang kecelakaan di lokasi konstruksi.

Selesai membahas urusan proyek, Ayres tiba-tiba memberikan kertas aster. "Suatu kehormatan bagiku jika Anda berkenan menghadiri pernikahan kami, Tuan Vanders," ucap Ayres sambil tersenyum melirik Nikita.

Raymond meraih undangan yang bertuliskan Ayres dan Nikita. Alex yang menyadari itu menggenggam bahu Raymond lalu berbisik, "Kau pria tangguh, Kawan!"

"Tuan Ayres, Nona Nikita. Pernikahan kalian beberapa hari lagi, aku tak berjanji hadir karena harus pergi ke Catania." Ray tersenyum pahit, dia menatap Ayres dan Nikita bergantian.

Ayres berpamitan ke toilet. Nikita memanfaatkan kesempatan untuk berbicara pada Ray.

"Kau tak ingin mengatakan apa pun?" tanya Ray mendahului.

"Hubungan kita berakhir!" jawab Nikita.

Ray meraih kotak rokok di atas meja lalu mengapit sebatang dan menyalakannya. Wajah Ray emosi lalu tertawa geli. "Aku pikir kau akan memulainya dengan 'aku bisa jelaskan'. Ternyata tiga kata itu yang kudengar."

"Tak harus dijelaskan! Aku tak memiliki masa depan denganmu!"

Ray menghisap rokoknya sangat dalam lalu menggeleng. "Ahh … begitukah? Tidak punya masa depan? Kita berhubungan tujuh tahun, kau baru mengatakan itu sekarang? Aku bukan hanya arsitek, aku seorang …." Alex menepuk bahu Ray seolah meminta dia tak mengatakan segalanya pada Nikita.

"Aku mampu menjamin masa depanmu," lanjut Ray mengendalikan emosinya sebaik mungkin, air wajahnya menjadi tenang.

"Kau yatim piatu! Aku tak bisa hanya menjadi Nyonya Raymond yang hanya seorang arsitek! Kau hidup sebatang kara! Kau tak punya orang tua yang akan menunjang impianku! Aku ingin menikah dengan keluarga yang lengkap! Tidak sepertimu! Kau bahkan tidak mengetahui siapa ayahmu!"

Ucapan Nikita bagai belati menghujani jantung Ray. Dia tak pernah menyangka Nikita sampai hati melontarkan kalimat yang sangat sensitif bagi Ray. 

"Apa pria itu bisa mewujudkan impianmu?" tanya Ray penasaran.

"Kau tahu? Proyek yang kau tangani sekarang itu adalah anak cabang milik ayahnya, Tuan Alfonso. Pemilik ALXA Group. Perusahaan besar di Kota Ragusa. Aku pastikan kau tak akan mampu menyentuhnya!" Nikita tersenyum mengejek.

Ray menggeleng seraya tersenyum kecut. "Aku salah menilaimu, aku pikir kau wanita yang tak memedulikan materi. Ternyata kau menolak fasilitas yang aku berikan hanya sandiwara, dengan lugunya kau berkata tak ingin hartaku. Aku memenuhi semua keinginanmu, kau selalu menuntut kesetiaan dan cinta yang besar dariku. Aku tak menyangka kau tega mengkhianatiku seperti ini."

"Cih ... jangan naif, Ray. Dulu aku seperti itu, sekarang aku butuh orang hebat untuk menggapai impianku. Bersamamu aku takkan mampu meraihnya!" Nikita melipat kedua tangan sambil membusungkan dada.

Ray mengangguk samar memahami perkataan Nikita. "Berapa lama kalian berhubungan?"

"Empat tahun." Nikita berkata dengan yakin.

"Penghkhianat ulung!" Ray bergumam di sela kekehan kecilnya. Kini Ray menyadari, orang yang sangat menyakiti hatinya ternyata adalah yang amat dia cintai. Sejak empat tahun wanita itu mengkhianatinya, dan Ray tak pernah menyadari. Kenapa dirinya begitu mudah dibodohi oleh Nikita?

Obrolan Ray dan Nikita yang disaksikan Alex seketika terhenti kala Ayres kembali dari toilet. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Ray dan Alex gegas pergi setelah berjabat tangan berpamitan pada Ayres.

"Cepat Lex, jangan biarkan Marco dan Max menunggu terlalu lama," ucap Ray seraya melemparkan tubuh di kursi samping kemudi.

"Aarrghh!" Ray hanya bisa berteriak meluapkan segala kekesalan dan kecamuk dalam dada. Kenapa dirinya tak bisa berbuat apa-apa pada Nikita atau Ayres. Apakah Ray takut pada Ayres? Entahlah. Nuraninya melarang Ray untuk melukai pria itu. Apakah terlalu besar cinta Ray pada Nikita hingga dia memilih melepas wanita itu pada pria yang bisa membahagiakannya? 

Alex melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak sampai satu jam mereka menunggu di Bandara, pesawat pun terbang ke Catania.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status