Vanderson Raymondo, Dokter Maxwel, dan Marco tengah bersiap-siap untuk pergi ke Catania. Namun, Alex datang tergopoh-gopoh. Dia memberitahu Raymond agar segera menemui Tuan Ayres, pemilik proyek yang sedang ditangani Ray di kota itu. Akhirnya, Ray meminta Max dan Marco menunggu di Bandara. Sementara dia dan Alex akan pergi ke Viale resto untuk menemui Ayres.
Saat dalam perjalanan, Ray menyandarkan tubuh di kursi samping kemudi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Rindu. Ya, dia merindukan kekasihnya, Nikita. Wanita pekerja keras dan lugu. Banyak hal yang disukai Ray darinya. Wanitanya itu adalah seorang desainer perhiasan yang namanya meroket karena karya-karya luar biasa.
Nikita tidak seperti wanita lain yang memikirkan materi. Sejak awal Ray memperkenalkan dirinya hidup sebatang kara dan dibesarkan di panti asuhan. Bukan tak memiliki orang tua, tetapi Ray tidak mengetahui siapa ayahnya. Entah kemana ibunya pergi sejak dia berusia lima tahun.
Raymond mengingat awal pertemuannya. Nikita wanita cantik yang menjadi pengisi acara amal untuk anak-anak penderita kanker di sebuah taman. Sementara Raymond dilanda kerinduan pada sang ibu, dia menghibur diri di taman itu.
Alunan lagu dari Nikita membuatnya tenang. Dengan percaya diri, dia mendatangi Nikita. Menyanjung bagaimana wanita itu bernyanyi. Hari itu tak membuat mereka dekat.
Pertemuan berikutnya, Nikita tengah mencari seorang arsitek untuk perencanaan gedung baru di PT. ArmArts Jewelry tempat dia bekerja. Sejak saat itu mereka dekat dan berhubungan hingga saat ini.
Nikita adalah wanita yang menemani Raymond hingga mencapai titik kesuksesan. Nikita bertahan dengan Ray meski CEO perusahaan tempat dia bekerja itu tertarik padanya. Inilah yang membuat Raymond menyayangi Nikita, dia setia. Namun, entah kenapa kekasihnya itu selalu menolak saat Raymond ingin menikahinya.
Alex yang sedang fokus menyetir melirik ke samping kemudi. "Senyummu memuakkan, Ray!" celetuk Alex.
"Sahabat terlaknat!" sahut Ray enteng.
"Kapan kau menikahi wanitamu?" tanya Alex. Dia tahu betul apa arti senyuman itu.
"Entahlah, dia bilang belum siap." Ray menyalakan sebatang rokok yang diapit jemarinya.
"Enn … aku akan mengajaknya ke Catania, rinduku sudah tebal." Ray meraih ponsel menghubungi Nikita. Namun, Ray tak kunjung mendapat jawaban. Alis Ray saling bertaut.
"Kenapa?" Alex mencium aroma kegelisahan. Ray tak menjawab. Dia menghisap rokok sambil mengetik pesan.
[To : Bee
Sayang, kau sibuk? Temani aku ke Catania bisa tidak?][From : Bee
Aku tidak bisa pergi, pekerjaanku menumpuk.][To : Bee
Jangan bekerja keras, kekasihmu bukan orang susah. Jangan mencemaskan masa depanmu.][From : Bee
Aku memantaskan diri untuk pria hebat sepertimu, sudah, ya. Aku harus menyelesaikan desainku. Sampai jumpa, Sayang.][To : Bee
Jangan melupakan makan malammu! Sampai jumpa, Wanitaku.]Ray menyimpan ponselnya di saku mantel sambil tersenyum, Nikita selalu membuatnya takjub. Saat itu, mereka tiba di Viale resto. Ketika hendak membuka pintu, gerakan Ray terhenti. Nikita? Ray tak mungkin salah melihat. Dia meraih ponsel dan mengirimkan pesan.
[To : Bee
Sayang, jangan lupa makan malam.]"Lex, tunggu!" Ray menahan tangan Alex yang hendak membuka pintu mobil sambil menatap tajam ke depan resto.
Ponsel Ray berbunyi notifikasi pesan.
From : BeeIya aku makan setelah menyelesaikan desainku. Sayang, aku dikejar deadline. Aku mematikan ponsel beberapa jam. aku akan menghubungimu sebelum tidur.Nikita membohonginya tepat di depan mata. Suasana hati Ray seketika tak menentu, entah kenapa Nikita berbohong. Siapa pria yang duduk dengannya? Ray yakin, Nikita tidak mungkin selingkuh, dia wanita setia.
"Kenapa?" Alex menepuk bahunya. Ray turun dari mobil lalu bergegas masuk resto.
"Sial!" Alex mengumpat saat menyadari Nikita bersama seorang pria, dia segera berlari menyusul Ray.
Ketika mereka masuk dan menghampiri Nikita, tiba-tiba pria yang duduk berhadapan dengan wanita itu menoleh lalu menyambutnya, "Tuan Vanders, aku pikir kau tak akan datang." Ayres, pria manis berusia 30 tahun itu tersenyum ramah.
Hati Ray seketika bagai disayat-sayat. Namun, dia berusaha untuk mengendalikan diri. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab Ayres dengan suara yang tak kalah ramah. "Tuan Ayres, aku tak pernah ingkar janji."
"Terlambat 3 menit dari janjiku," tutur Ray melihat jam di pergelangan tangan lalu melirik ke meja, dia yakin Nikita sudah lama bersama Ayres. Alex yang berdiri di sampingnya sudah kalang-kabut panik dengan situasi seperti itu.
Mereka membahas kerjasama yang tertunda, Ray akan melanjutkan proyek setelah dua pekan. Fokus Ray saat ini hanya kesembuhan Marco, sahabatnya yang kecelakaan di lokasi konstruksi.
Selesai membahas urusan proyek, Ayres tiba-tiba memberikan kertas aster. "Suatu kehormatan bagiku jika Anda berkenan menghadiri pernikahan kami, Tuan Vanders," ucap Ayres sambil tersenyum melirik Nikita.
Raymond meraih undangan yang bertuliskan Ayres dan Nikita. Alex yang menyadari itu menggenggam bahu Raymond lalu berbisik, "Kau pria tangguh, Kawan!"
"Tuan Ayres, Nona Nikita. Pernikahan kalian beberapa hari lagi, aku tak berjanji hadir karena harus pergi ke Catania." Ray tersenyum pahit, dia menatap Ayres dan Nikita bergantian.
Ayres berpamitan ke toilet. Nikita memanfaatkan kesempatan untuk berbicara pada Ray.
"Kau tak ingin mengatakan apa pun?" tanya Ray mendahului.
"Hubungan kita berakhir!" jawab Nikita.
Ray meraih kotak rokok di atas meja lalu mengapit sebatang dan menyalakannya. Wajah Ray emosi lalu tertawa geli. "Aku pikir kau akan memulainya dengan 'aku bisa jelaskan'. Ternyata tiga kata itu yang kudengar."
"Tak harus dijelaskan! Aku tak memiliki masa depan denganmu!"
Ray menghisap rokoknya sangat dalam lalu menggeleng. "Ahh … begitukah? Tidak punya masa depan? Kita berhubungan tujuh tahun, kau baru mengatakan itu sekarang? Aku bukan hanya arsitek, aku seorang …." Alex menepuk bahu Ray seolah meminta dia tak mengatakan segalanya pada Nikita.
"Aku mampu menjamin masa depanmu," lanjut Ray mengendalikan emosinya sebaik mungkin, air wajahnya menjadi tenang.
"Kau yatim piatu! Aku tak bisa hanya menjadi Nyonya Raymond yang hanya seorang arsitek! Kau hidup sebatang kara! Kau tak punya orang tua yang akan menunjang impianku! Aku ingin menikah dengan keluarga yang lengkap! Tidak sepertimu! Kau bahkan tidak mengetahui siapa ayahmu!"
Ucapan Nikita bagai belati menghujani jantung Ray. Dia tak pernah menyangka Nikita sampai hati melontarkan kalimat yang sangat sensitif bagi Ray.
"Apa pria itu bisa mewujudkan impianmu?" tanya Ray penasaran.
"Kau tahu? Proyek yang kau tangani sekarang itu adalah anak cabang milik ayahnya, Tuan Alfonso. Pemilik ALXA Group. Perusahaan besar di Kota Ragusa. Aku pastikan kau tak akan mampu menyentuhnya!" Nikita tersenyum mengejek.
Ray menggeleng seraya tersenyum kecut. "Aku salah menilaimu, aku pikir kau wanita yang tak memedulikan materi. Ternyata kau menolak fasilitas yang aku berikan hanya sandiwara, dengan lugunya kau berkata tak ingin hartaku. Aku memenuhi semua keinginanmu, kau selalu menuntut kesetiaan dan cinta yang besar dariku. Aku tak menyangka kau tega mengkhianatiku seperti ini."
"Cih ... jangan naif, Ray. Dulu aku seperti itu, sekarang aku butuh orang hebat untuk menggapai impianku. Bersamamu aku takkan mampu meraihnya!" Nikita melipat kedua tangan sambil membusungkan dada.
Ray mengangguk samar memahami perkataan Nikita. "Berapa lama kalian berhubungan?"
"Empat tahun." Nikita berkata dengan yakin.
"Penghkhianat ulung!" Ray bergumam di sela kekehan kecilnya. Kini Ray menyadari, orang yang sangat menyakiti hatinya ternyata adalah yang amat dia cintai. Sejak empat tahun wanita itu mengkhianatinya, dan Ray tak pernah menyadari. Kenapa dirinya begitu mudah dibodohi oleh Nikita?
Obrolan Ray dan Nikita yang disaksikan Alex seketika terhenti kala Ayres kembali dari toilet. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Ray dan Alex gegas pergi setelah berjabat tangan berpamitan pada Ayres.
"Cepat Lex, jangan biarkan Marco dan Max menunggu terlalu lama," ucap Ray seraya melemparkan tubuh di kursi samping kemudi.
"Aarrghh!" Ray hanya bisa berteriak meluapkan segala kekesalan dan kecamuk dalam dada. Kenapa dirinya tak bisa berbuat apa-apa pada Nikita atau Ayres. Apakah Ray takut pada Ayres? Entahlah. Nuraninya melarang Ray untuk melukai pria itu. Apakah terlalu besar cinta Ray pada Nikita hingga dia memilih melepas wanita itu pada pria yang bisa membahagiakannya?
Alex melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak sampai satu jam mereka menunggu di Bandara, pesawat pun terbang ke Catania.
Leticia membuka mata di pagi buta. Wanita itu berkecimpung di dapur menyiapkan sarapan untuk sang Ayah. Tangannya begitu lincah seolah koki yang profesional. Dia memang pandai memasak.Gerakan tangan Leticia terhenti saat ekor matanya melirik setumpuk keju dan tepung gandum di lemari sudut dapur. Dia berpikir. David hanya memberinya sedikit uang. Haruskah dia membawa stok makanan untuk di Catania. Ya. Dia harus berhemat, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemui Tuan Vanderson Raymondo.Beruntung jika semua berjalan lancar. Jika tidak? Memikirkan itu membuat Leticia bergidik dan menggeleng-geleng, dia tak ingin jadi gelandangan di kota orang. Akhirnya, dia mengemas beberapa bungkus kopi, coklat, keju, susu, dan tepung. Ckck.Di rumah mewah dan harta yang berlimpah merupakan suatu ironis saat dia melakukan hal itu. Namun, dia amat menyadari ini adalah hukuman yang pantas karena keegoisan
"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai.Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.___Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang.Membuka
Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah. "Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!"Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri."Daniel dan ayah adalah orang arogan!"Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa.Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609.
"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak."Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!""Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun."Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex."Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.
Kemeja putih, celana kain hitam, jas yang juga hitam. Dasi merah bergaris gold dan sepatu pantofel yang mengilap, tampak seperti eksekutif muda. Leticia hampir tak percaya pria setampan itu berada di apartemen kecil.Ray terpaku beberapa detik, menatap hitam panjang rambut Leticia yang anggun terikat. Bukan rambutnya yang menarik perhatian Ray, tetapi leher jenjangnya yang mulus membuat tenggorokan pria itu tersendat. Pria itu mengerjap lalu berdeham, "Ehem, kau bertamu sepagi ini, Nona?" Ray menatap wajah Leticia yang memakai riasan tipis, tetapi mampu menyamarkan memar di pipinya. Polesan lipgloss membuat wajah wanita itu tampak lebih segar dan energik.Ray tak sadar baritonnya yang seksi membuat Leticia seperti kehabisan napas. "Aku … apa kau sudah sarapan?" tanya Leticia gelagapan yang kemudian tersenyum merekah saat Ray menggeleng pelan."Kau tak mengajakku masuk?" Leticia tersenyum menampilkan gigi putih yang rapi.
Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah."Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang