Leticia memalingkan wajah dari tatapan Max. Seketika gambaran Daniel muncul dalam benak wanita itu, bagaimana mungkin dia tidak mengingat siapa yang telah menganiayanya begitu kejam.
"Aku tidak bisa mengingatnya, Max." Leticia menggigit bibir seraya menelan ludah.
"Di mana kau mengalaminya? Kita bisa melacak CCTV di sekitar kejadian," tuntut Max.
"Tidak perlu, biarkan saja," tolak Leticia, "Max, apa luka di dadaku sangat dalam?" Leticia menyentuh perban yang tersemat di dadanya. Hatinya begitu sakit kala mengingat kejadian semalam.
Max mengangguk seraya menggaruk kepala yang tak gatal. "Lumayan dalam dan cukup panjang," terangnya.
Hening. Leticia ragu untuk membuka mulut, dia belum lama mengenal Max. Namun, dia tak punya pilihan selain meminta bantuan pada pria berambut pirang itu. Leticia menarik napas membulatkan tekad.
"Max ... aku butuh bantuanmu." Leticia memecah keheningan.
"Cih, basa-basi macam apa itu? Cepat katakan! Kau ingin aku menghajar perampok itu?" Max menyipitkan sebelah mata seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Enn, aku ... bolehkah aku meminjam uang? Aku ingin kembali ke kota asalku," ucap Leticia gelagapan. Dia memejamkan mata dan meremas baju begitu erat, wajahnya tiba-tiba bersemu merah. Sungguh, dia malu mengatakan itu pada Max.
Max menggeleng, tak habis pikir kenapa Leticia begitu sungkan padanya. Mengingat Leticia yang dermawan membuat dia bertanya-tanya. Apa dirinya pelit. Ah, tentu saja tidak!
"Bodoh! Tentu saja boleh. Tapi kau harus menunggu cairan itu habis!" Max melirik botol infusan yang menggantung di tiang besi.
__
Dua jam kemudian. Leticia merasa tubuhnya cukup pulih, dia bersiap-siap sebelum Daniel menemukan keberadaannya. Max membekali sejumlah uang dan tak lupa menyiapkan tiket untuk wanita itu.
Leticia tergesa-gesa keluar dari gedung. Tak menunggu lama, dia mendapatkan taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Ketika akan masuk, Leticia teringat obat dan perban yang disiapkan Max tertinggal.
Leticia bergegas kembali ke ruangan Max. Setelah mendapatkan obat, dia berlari menuju taksi yang masih menunggu.
Bruk! Brak!
Leticia menabrak seorang pria yang berjalan sambil menelepon. Merasa terkejut, wanita itu spontan berteriak, "Hey! Pintu ini begitu lebar! Kenapa Anda menabrakku?" Tanpa tahu malu, Leticia memaki seraya mendongak. Menatap pria berusia sekitar 30 tahun yang bertubuh tinggi tak kurang 180 cm. Pandangan mereka terkunci beberapa saat.
Teriakan Leticia membuat semua mata tertuju ke arah mereka.
Pria itu menaikkan kedua alis tebal, menatap tajam mata Leticia. Dia hendak membalas perkataannya. Namun, dia mengurungkan niat saat melihat kondisi Leticia begitu kacau. Rambut kusut dan wajah penuh lebam. Kemeja putih sedikit robek dengan bercak darah yang mengering, terlihat seperti tunawisma.
Air muka pria itu kembali tenang. Mata hazelnya sangat memukau. "Begitukah, Nona?" balasnya dengan suara yang dalam. Pria itu mengatupkan bibir seraya mengulum senyum, membuat lesung dagunya kian melebar.
Suara pria itu terdengar lembut di telinga Leticia, tetapi ucapannya mampu membuat dia bungkam. Wanita itu menggigit bibir seraya menunduk, matanya terbelalak saat menyadari ponsel pria itu hancur.
Leticia panik. Matanya tiba-tiba menyipit, melirik pria itu yang hanya mengenakan celana jeans dan kaos hitam panjang. Sekali lihat saja dia tahu itu bukan pakaian mahal, tetapi benaknya tak berhenti berpikir. Bagaimana jika pria itu meminta ganti rugi ponselnya? Untuk ongkos pulang pun dia harus meminjam dari Max. Akhirnya, Leticia bertingkah seperti anak kucing.
"Tu-an, a-ku ...."
"Leticia, kau akan terlambat! Cepat pergi!" ujar Max yang tiba-tiba menghampiri mereka. Seketika ucapan Leticia tertahan di tenggorokan.
Leticia melirik pria bertubuh atletis itu dan Max bergantian. "Max, a-ku ... aku tidak sengaja," ucapnya gugup.
"Biar aku yang urus, pergilah!" Max menepuk bahu Leticia.
"Terima kasih banyak, Max." Mata Leticia memerah menatap Max. Sungguh, dokter bawel itu sudah banyak membantu.
Setelah Max meyakinkannya, Leticia bergegas pergi. Kembali berpacu dengan waktu, menjauh dari kehidupan Daniel sesegera mungkin.
Pria gagah itu membalikkan badan menatap lekat punggung Leticia yang kian menjauh. "Wanita ceroboh!" Tanpa disadari, bibirnya yang sexy menyunggingkan senyum tipis. Sebelah tangan pria itu terangkat dan mengusap bulu-bulu halus yang tertata rapi di rahang tegasnya.
Max menggeleng seraya terkekeh, "Ah ... itu sangat menarik! Senyumanmu sungguh manis, Vanderson Raymondo."
"Matanya indah," ujar Ray, "dia temanmu?" Raymond menoleh pada Max.
Dokter itu menggeleng. "Hanya beberapa kali bertemu di acara amal," jawab Max.
"Korban pengeroyokan?" tanya Ray lagi.
"Entahlah, dia tak mengatakan apa pun. Rasanya aku ingin menghajar orang yang menganiayanya!" geram Max.
Raymond, pria itu tak bisa menahan gelak tawa, dia menepuk-nepuk bahu Max. "Kau terdengar seperti ingin mengkhianati kekasihmu, Kawan!"
"Sial! Tutup mulutmu, berengsek!" sungut Max seraya mendelik.
"Ah ... kau membuatku takut, Max," kelakar Ray dengan suara yang terdengar lepas.
"Enyah kau, Ray!" Max membalikkan badan hendak masuk.
Ray menghentikan tawanya. "Max, malam ini kita berangkat ke Catania! Keluarga Marco pasti sangat khawatir," ujar Ray dengan wajah serius.
Langkah Max terhenti, dia membalikkan badan menghadap Ray. "Dasar keras kepala! Kau begitu lelah, Ray! Biar aku dan Alex yang mengantar Marco!" Max mendengkus kesal seraya memelototi Ray. Meskipun mereka sering bercekcok, tetapi keduanya saling memahami satu sama lain.
Max tahu betul karakter sahabatnya itu. Jika Raymond sudah mengambil keputusan, tentu dia dan ketiga sahabat lainnya tak bisa membantah. Bukan karena mereka takut, tetapi karena besarnya kepedulian Raymond. Sehingga, membuat mereka merasa segan.
Raymond menaikkan kedua bahu tegap, tak menanggapi perkataan Max. Mereka pergi mengunjungi Marco, sahabatnya yang masih dalam perawatan Max di rumah sakit.
*****
Leticia baru saja tiba di kota kelahirannya, Ragusa. Setahun lalu dia meninggalkan kota di mana keluarganya berada. Kini, dia kembali dengan sejuta luka dan penyesalan.
"Kau tak mendengar nasihatku? Kau bahkan belum lama mengenal pria itu, Putriku."
"Cia, Ibu mohon. Jangan mudah memercayai seseorang."
Ucapan kedua orangtuanya kini terngiang jelas dalam benak Leticia. Seketika hatinya bagai diremas, dadanya begitu sesak.
Leticia tiba di rumah. Setelah melewati gerbang besi yang menjulang, dia berjalan menuju rumah berdesain klasik Eropa bercat putih.
Ketika melewati empat pilar tinggi, langkah Leticia terhenti. Dia melihat bunga lily putih yang layu dan berantakan. Alis lurus Leticia mengerut terheran. Bunga kesayangan sang Ibu kenapa tampak tidak terawat?
Entah berapa kali dia menekan bell, kedua daun pintu yang bergandengan itu tak kunjung terbuka.
"Ibu ... Laura .... Kalian di dalam?" Leticia mendekatkan wajahnya ke kaca jendela yang tertutup tirai tipis. Sunyi. Rumah itu bagai tak berpenghuni, entah kemana keluarganya pergi.
Tak terasa langit yang cerah berubah gelap. Namun, daun pintu bercat putih itu tak kunjung terbuka. Sebuah Maybach S560 hitam memasuki pelataran. David, sang Ayah baru saja tiba. Bahagia. Leticia tersenyum senang saat melepas sarung tangan yang berlumuran tanah. Wanita itu bergegas menghampiri mobil. Menyambut sang Ayah yang lama tak bertemu.Ketika David baru saja turun, Leticia terkejut melihat perubahan drastis sang ayah. Pria berusia 56 tahun itu lebih kurus, garis-garis di keningnya terlihat. Namun, dia masih tampak gagah dengan setelan kerja berwarna hitam.Air wajah David merah padam melihat Leticia berdiri di hadapannya. Tubuh pria itu gemetaran karena amarah yang memuncak, napasnya seolah bergemuruh.Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Leticia."Masih ingat aku? Masih berani menampakkan wajahmu? Masih berani menginjakkan kaki di rumah ini? Di mana kau meletakkan rasa malu mu,
Vanderson Raymondo, Dokter Maxwel, dan Marco tengah bersiap-siap untuk pergi ke Catania. Namun, Alex datang tergopoh-gopoh. Dia memberitahu Raymond agar segera menemui Tuan Ayres, pemilik proyek yang sedang ditangani Ray di kota itu. Akhirnya, Ray meminta Max dan Marco menunggu di Bandara. Sementara dia dan Alex akan pergi ke Viale resto untuk menemui Ayres.Saat dalam perjalanan, Ray menyandarkan tubuh di kursi samping kemudi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Rindu. Ya, dia merindukan kekasihnya, Nikita. Wanita pekerja keras dan lugu. Banyak hal yang disukai Ray darinya. Wanitanya itu adalah seorang desainer perhiasan yang namanya meroket karena karya-karya luar biasa.Nikita tidak seperti wanita lain yang memikirkan materi. Sejak awal Ray memperkenalkan dirinya hidup sebatang kara dan dibesarkan di panti asuhan. Bukan tak memiliki orang tua, tetapi Ray tidak mengetahui siapa ayahnya. Entah kemana ibunya pergi sejak dia berusia lima tahun.
Leticia membuka mata di pagi buta. Wanita itu berkecimpung di dapur menyiapkan sarapan untuk sang Ayah. Tangannya begitu lincah seolah koki yang profesional. Dia memang pandai memasak.Gerakan tangan Leticia terhenti saat ekor matanya melirik setumpuk keju dan tepung gandum di lemari sudut dapur. Dia berpikir. David hanya memberinya sedikit uang. Haruskah dia membawa stok makanan untuk di Catania. Ya. Dia harus berhemat, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemui Tuan Vanderson Raymondo.Beruntung jika semua berjalan lancar. Jika tidak? Memikirkan itu membuat Leticia bergidik dan menggeleng-geleng, dia tak ingin jadi gelandangan di kota orang. Akhirnya, dia mengemas beberapa bungkus kopi, coklat, keju, susu, dan tepung. Ckck.Di rumah mewah dan harta yang berlimpah merupakan suatu ironis saat dia melakukan hal itu. Namun, dia amat menyadari ini adalah hukuman yang pantas karena keegoisan
"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai.Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.___Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang.Membuka
Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah. "Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!"Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri."Daniel dan ayah adalah orang arogan!"Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa.Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609.
"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak."Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!""Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun."Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex."Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.