Share

Bab 2 Wanita Ceroboh

Leticia memalingkan wajah dari tatapan Max. Seketika gambaran Daniel muncul dalam benak wanita itu, bagaimana mungkin dia tidak mengingat siapa yang telah menganiayanya begitu kejam.

"Aku tidak bisa mengingatnya, Max." Leticia menggigit bibir seraya menelan ludah.

"Di mana kau mengalaminya? Kita bisa melacak CCTV di sekitar kejadian," tuntut Max.

"Tidak perlu, biarkan saja," tolak Leticia, "Max, apa luka di dadaku sangat dalam?" Leticia menyentuh perban yang tersemat di dadanya. Hatinya begitu sakit kala mengingat kejadian semalam.

Max mengangguk seraya menggaruk kepala yang tak gatal. "Lumayan dalam dan cukup panjang," terangnya.

Hening. Leticia ragu untuk membuka mulut, dia belum lama mengenal Max. Namun, dia tak punya pilihan selain meminta bantuan pada pria berambut pirang itu. Leticia menarik napas membulatkan tekad.

"Max ... aku butuh bantuanmu." Leticia memecah keheningan.

"Cih, basa-basi macam apa itu? Cepat katakan! Kau ingin aku menghajar perampok itu?" Max menyipitkan sebelah mata seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Enn, aku ... bolehkah aku meminjam uang? Aku ingin kembali ke kota asalku," ucap Leticia gelagapan. Dia memejamkan mata dan meremas baju begitu erat, wajahnya tiba-tiba bersemu merah. Sungguh, dia malu mengatakan itu pada Max.

Max menggeleng, tak habis pikir kenapa Leticia begitu sungkan padanya. Mengingat Leticia yang dermawan membuat dia bertanya-tanya. Apa dirinya pelit. Ah, tentu saja tidak!

"Bodoh! Tentu saja boleh. Tapi kau harus menunggu cairan itu habis!" Max melirik botol infusan yang menggantung di tiang besi.

__

Dua jam kemudian. Leticia merasa tubuhnya cukup pulih, dia bersiap-siap sebelum Daniel menemukan keberadaannya. Max membekali sejumlah uang dan tak lupa menyiapkan tiket untuk wanita itu.

Leticia tergesa-gesa keluar dari gedung. Tak menunggu lama, dia mendapatkan taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Ketika akan masuk, Leticia teringat obat dan perban yang disiapkan Max tertinggal.

Leticia bergegas kembali ke ruangan Max. Setelah mendapatkan obat, dia berlari menuju taksi yang masih menunggu.

Bruk! Brak!

Leticia menabrak seorang pria yang berjalan sambil menelepon. Merasa terkejut, wanita itu spontan berteriak, "Hey! Pintu ini begitu lebar! Kenapa Anda menabrakku?" Tanpa tahu malu, Leticia memaki seraya mendongak. Menatap pria berusia sekitar 30 tahun yang bertubuh tinggi tak kurang 180 cm. Pandangan mereka terkunci beberapa saat.

Teriakan Leticia membuat semua mata tertuju ke arah mereka.

Pria itu menaikkan kedua alis tebal, menatap tajam mata Leticia. Dia hendak membalas perkataannya. Namun, dia mengurungkan niat saat melihat kondisi Leticia begitu kacau. Rambut kusut dan wajah penuh lebam. Kemeja putih sedikit robek dengan bercak darah yang mengering, terlihat seperti tunawisma.

Air muka pria itu kembali tenang. Mata hazelnya sangat memukau. "Begitukah, Nona?" balasnya dengan suara yang dalam. Pria itu mengatupkan bibir seraya mengulum senyum, membuat lesung dagunya kian melebar.

Suara pria itu terdengar lembut di telinga Leticia, tetapi ucapannya mampu membuat dia bungkam. Wanita itu menggigit bibir seraya menunduk, matanya terbelalak saat menyadari ponsel pria itu hancur.

Leticia panik. Matanya tiba-tiba menyipit, melirik pria itu yang hanya mengenakan celana jeans dan kaos hitam panjang. Sekali lihat saja dia tahu itu bukan pakaian mahal, tetapi benaknya tak berhenti berpikir. Bagaimana jika pria itu meminta ganti rugi ponselnya? Untuk ongkos pulang pun dia harus meminjam dari Max. Akhirnya, Leticia bertingkah seperti anak kucing.

"Tu-an, a-ku ...."

"Leticia, kau akan terlambat! Cepat pergi!" ujar Max yang tiba-tiba menghampiri mereka. Seketika ucapan Leticia tertahan di tenggorokan.

Leticia melirik pria bertubuh atletis itu dan Max bergantian. "Max, a-ku ... aku tidak sengaja," ucapnya gugup.

"Biar aku yang urus, pergilah!" Max menepuk bahu Leticia.

"Terima kasih banyak, Max." Mata Leticia memerah menatap Max. Sungguh, dokter bawel itu sudah banyak membantu.

Setelah Max meyakinkannya, Leticia bergegas pergi. Kembali berpacu dengan waktu, menjauh dari kehidupan Daniel sesegera mungkin.

Pria gagah itu membalikkan badan menatap lekat punggung Leticia yang kian menjauh. "Wanita ceroboh!" Tanpa disadari, bibirnya yang sexy menyunggingkan senyum tipis. Sebelah tangan pria itu terangkat dan mengusap bulu-bulu halus yang tertata rapi di rahang tegasnya.

Max menggeleng seraya terkekeh, "Ah ... itu sangat menarik! Senyumanmu sungguh manis, Vanderson Raymondo."

"Matanya indah," ujar Ray, "dia temanmu?" Raymond menoleh pada Max.

Dokter itu menggeleng. "Hanya beberapa kali bertemu di acara amal," jawab Max.

"Korban pengeroyokan?" tanya Ray lagi.

"Entahlah, dia tak mengatakan apa pun. Rasanya aku ingin menghajar orang yang menganiayanya!" geram Max.

Raymond, pria itu tak bisa menahan gelak tawa, dia menepuk-nepuk bahu Max. "Kau terdengar seperti ingin mengkhianati kekasihmu, Kawan!"

"Sial! Tutup mulutmu, berengsek!" sungut Max seraya mendelik.

"Ah ... kau membuatku takut, Max," kelakar Ray dengan suara yang terdengar lepas.

"Enyah kau, Ray!" Max membalikkan badan hendak masuk.

Ray menghentikan tawanya. "Max, malam ini kita berangkat ke Catania! Keluarga Marco pasti sangat khawatir," ujar Ray dengan wajah serius.

Langkah Max terhenti, dia membalikkan badan menghadap Ray. "Dasar keras kepala! Kau begitu lelah, Ray! Biar aku dan Alex yang mengantar Marco!" Max mendengkus kesal seraya memelototi Ray. Meskipun mereka sering bercekcok, tetapi keduanya saling memahami satu sama lain.

Max tahu betul karakter sahabatnya itu. Jika Raymond sudah mengambil keputusan, tentu dia dan ketiga sahabat lainnya tak bisa membantah. Bukan karena mereka takut, tetapi karena besarnya kepedulian Raymond. Sehingga, membuat mereka merasa segan.

Raymond menaikkan kedua bahu tegap, tak menanggapi perkataan Max. Mereka pergi mengunjungi Marco, sahabatnya yang masih dalam perawatan Max di rumah sakit.

*****

Leticia baru saja tiba di kota kelahirannya, Ragusa. Setahun lalu dia meninggalkan kota di mana keluarganya berada. Kini, dia kembali dengan sejuta luka dan penyesalan.

"Kau tak mendengar nasihatku? Kau bahkan belum lama mengenal pria itu, Putriku."

"Cia, Ibu mohon. Jangan mudah memercayai seseorang."

Ucapan kedua orangtuanya kini terngiang jelas dalam benak Leticia. Seketika hatinya bagai diremas, dadanya begitu sesak.

Leticia tiba di rumah. Setelah melewati gerbang besi yang menjulang, dia berjalan menuju rumah berdesain klasik Eropa bercat putih.

Ketika melewati empat pilar tinggi, langkah Leticia terhenti. Dia melihat bunga lily putih yang layu dan berantakan. Alis lurus Leticia mengerut terheran. Bunga kesayangan sang Ibu kenapa tampak tidak terawat?

Entah berapa kali dia menekan bell, kedua daun pintu yang bergandengan itu tak kunjung terbuka.

"Ibu ... Laura .... Kalian di dalam?" Leticia mendekatkan wajahnya ke kaca jendela yang tertutup tirai tipis. Sunyi. Rumah itu bagai tak berpenghuni, entah kemana keluarganya pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status