“Aku hanya perlu masuk dan bertanya,” gumam Andrea pada dirinya sendiri. Ia melirik gedung kecil hitam dengan eksterior yang terkesan minimalis dengan tulisan ‘Wisteria’ pada bagian atas. Tempat pria yang ingin ia temui bekerja. “Benar. Bukan aku yang tiba-tiba datang untuk melamar. Aku berhak mendapatkan jawaban.”
Ia menghela napas berat lalu menjejalkan kedua tangan ke saku mantel. Angin musim dingin gugur terlalu dingin untuk bepergian tanpa mantel tebal atau syal. Terlebih menjelang malam.
Lonceng berbunyi saat ia mendorong pintu kafe. Aroma kopi, cokelat dan mentega seketika menyapa saat ia melangkah masuk. Jajaran roti yang dipamerkan di etalase juga kue dengan berbagai rasa dan warna sangat memanjakan mata. Namun, yang ia cari bukanlah hangatnya makanan yang disediakan.
Itu dia. Pria berperawakan tinggi dengan mata senada zaitun yang berdiri di belakang konter.
“Maaf, tapi kami sudah tutup.” Leo tampak tertegun saat berbalik dan menemukan Andrea berdiri di muka pintu. Detik selanjutnya, seulas senyum ramah terpatri. “Mencariku?”
Andrea menarik napas dalam, berjalan menuju meja kasir tanpa memalingkan pandangan dari mata hijau Leo. “Tentu saja. Ada yang perlu kita bicarakan.”
“Aku tahu.” Leo mengangguk pelan. “Bagaimana kalau menunggu sebentar dan kusiapkan secangkir teh? Segera setelah pekerjaanku selesai, kita akan bicara.”
Ia memandang sekeliling, menyadari tidak ada orang lain selain mereka. Telinganya juga tidak bisa menangkap suara dari arah dapur atau pegawai lain yang membereskan kursi di luar kafe. Seberapa inginnya ia untuk menginterogasi Leo sekarang, tidak etis kalau mengganggu pekerjaan sang pria.
Lantas, Andrea berdeham menyetujui. “Jangan berpikiran untuk kabur.”
Kakinya melangkah menuju kursi di sudut kafe yang bersebelahan dengan jendela. Tempat favoritnya saat berkunjung. Dari tempatnya duduk, ia bisa menyaksikan Leo yang mengelap meja konter dan membereskan gelas-gelas dan piring.
Napasnya tercekat di tenggorokan saat Leo sesekali menoleh dari balik bahu dan melempar seringai tipis. Ia tidak membalas. Memanfaatkan momen Leo yang memunggunginya, Andrea mengamati sosok sang pria lebih lekat.
Rambut hitamnya tampak berantakan, mungkin karena bekerja seharian atau disisir asal dengan jari. Kemeja hitam yang dikenakan ikut bergerak setiap kali Leo mengangkat barang atau mengambil sesuatu. Dalam berbagai kesempatan, Andrea mampu mengingat senyum ramah yang terukir di bibir sang pria atau bagaimana Leo tertawa saat bercengkerama dengan teman kerjanya.
Pria itu kelihatan … tampan? Berkarisma? Entahlah. Andrea kesulitan menemukan kata untuk menggambarkan Leo. Yang ia tahu, ada sesuatu pada pria itu yang menariknya untuk kembali. Ia berniat untuk menyingkapnya. Begitu juga alasan untuk lamaran Leo kemarin.
‘Aku bersumpah akan meninggalkan ulasan buruk pada kafe kalau tingkahnya kemarin hanyalah lelucon,’ sumpah Andrea dalam hati. Meski begitu, Andrea tidak bisa menampik sesak saat gagasan lamaran Leo hanyalah candaan terlintas dalam kepala.
“Silakan.” Suara Leo memutus rantai pikiran Andrea, menariknya kembali pada realitas. “Kau bepergian di malam yang dingin begini. Kenapa tidak datang besok sore saja?”
Ia menggumamkan kata ‘terima kasih’, lalu mengangkat cangkir. Aroma teh chamomile melemaskan syarafnya yang tegang setelah dua hari memutar otak untuk mencari jawaban atas tindakan sang barista.
“Tidak lelah?” tanya Leo basa-basi. Pria itu telah menanggalkan apron dan menggulung lengan kemeja. “Awal minggu selalu berat untuk akuntan sepertimu, bukan? Minum tehnya dulu.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan,” sergah Andrea. “Mulai menjelaskan.”
Pukul sembilan. Ia telah menunggu setengah jam untuk bicara dengan Leo. Ada bungkus roti lapis yang ia beli di pasar swalayan terdekat untuk mengganjal perut. Sumbu kesabarannya telah menemui batas.
Ia tidak bisa menunggu pria itu berbasa-basi sementara ada belasan pertanyaan yang berseliweran dalam kepala. Ia butuh jawaban sekarang.
Leo mengukir senyum pasrah seraya menggelengkan kepala. Pria itu menyandarkan punggung pada kursi yang berseberangan dengan Andrea, membuat mereka dengan leluasa beradu tatap. “Kalau kau datang untuk menolak lamaranku, tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima dengan rendah hati.”
“Bukan itu yang ingin kuketahui.” Andrea menarik napas dalam, mengunci layar ponselnya. Ia menyempatkan diri untuk mengecek surel selagi menunggu. “Kenapa kau melamarku? Kau belum bicara apa-apa padaku, tapi sudah datang untuk meminta restu. Dan bagaimana kau tahu di mana rumahku, hah?”
Leo tampak tidak terpengaruh dengan ledakan emosinya, menyesap teh yang masih mengepulkan asap dengan tenang. Saat mata mereka bertemu, napas Andrea tercekat. Instingnya berkata bahwa Leo bukanlah orang biasa. Pembawaan pria itu terlalu berkelas.
“Observasi sederhana,” tutur Leo pelan. Sudut bibirnya tertarik samar kala mata Andrea menyipit sangsi. “Kau bilang rumahmu tidak jauh dan kau mengambil kereta bawah tanah untuk pulang. Itu dan aku pernah mengembalikan kartu identitasmu yang tertinggal di kafe, ingat?”
Andrea memberengut. Mencoba menggali ingatan tentang ia yang meninggalkan kartu identitas. Ia bukanlah wanita yang ceroboh. Semua barangnya diletakkan dengan rapi, kecuali … saat pertama kali berkunjung.
Ia ingat sekarang. Waktu itu ia baru menemukan kafe Wisteria setelah lelah berkeliaran di sekitar London lantaran enggan pulang lebih awal. Sayangnya, sebelum ia sempat menikmati secangkir teh yang hangat, Margaret meneleponnya untuk segera pulang. Leo berbaik hati menyimpan kartu identitasnya sampai kunjungan berikutnya.
“Baiklah. Kuterima jawabanmu,” gerutu Andrea sungkan mengakui keteledorannya. “Bagaimana dengan lamarannya? Kita hanya beberapa kali bicara dan kau sudah yakin untuk melamarku?”
Leo mengangkat bahu acuh tak acuh, masih mempertahankan senyum. “Kenapa tidak? Aku menyukaimu. Bukankah akhir dari hubungan dua orang yang saling menyukai adalah pernikahan?”
Matanya membelalak. Tidak percaya dengan ucapan yang didengar. Leo menyukainya? Pria itu bahkan tidak tahu apa-apa tentang dirinya!
Andrea memejamkan mata lalu menarik napas dalam. Berusaha untuk meredam emosinya yang bergejolak. Kepala yang dingin sangat diperlukan untuk diskusi serius. Iya. Ia tidak bisa kehilangan kendali.
“Bagaimana kau bisa berkata menyukaiku setelah beberapa pertemuan, Leo? Hal semacam ini jangan dianggap sebagai lelucon.” Andrea melipat kedua tangan di atas meja, menatap lurus mata hijau sang pria. “Jangan datang minggu depan untuk bergurau.”
“Sayangnya, Darling, aku tidak bergurau.” Leo mencondongkan tubuh, mengikis jarak di antara mereka. “Aku menyukaimu. Cukup dalam untuk menikahimu. Lagi pula, aku bisa membantumu.”
Terkutuklah senyum Leo! Bagaimana bisa seulas senyum bisa terlihat sangat memesona sampai membuatnya kehilangan kata-kata? Pasti ada sesuatu yang salah darinya. Benar. Ia terlalu lelah sampai menganggap senyum Leo memesona.
Andrea terkesiap kala berhasil mencerna kalimat terakhir Leo. “Kau … bisa membantuku?”
Leo memangku dagu pada kepalan tangan, mendorong ponselnya mendekat ke arah Andrea. “Kau ingin bebas dari keluarga barumu, bukan? Aku bisa membantumu mewujudkannya.”
Napas Andrea tercekat. Tangannya mengepal kuat. Hanya ada satu pertanyaan yang tebersit. Bagaimana Leo bisa tahu?
***
“Kau keberatan kalau kuantar-jemput mulai besok?” Pertanyaan itu mengudara setelah membiarkan suara radio mengisi hening sejak meninggalkan kafe. Leo menoleh padanya. “Andrea?”
Ia mendengus kecil. “Apa aku bisa menolak?”
Kekehan Leo sudah menjadi jawaban bagi Andrea. Tidak. Pria itu akan bersikeras untuk mengantar dan menjemputnya terlepas dari Andrea yang setuju atau menolak.
Ia melempar pandangan ke luar jendela, meresapi pemandangan kota London yang selalu ramai. Gedung-gedung tinggi masih dilewati oleh banyak mobil dan beberapa orang yang haus akan petualangan malam. Jajaran pohon yang meranggas juga dedaunan kuning dan cokelat memenuhi jalanan.
Leo bersikukuh untuk mengantarnya, meski perjalanan menuju rumahnya tidak menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Beralasan bahwa tidak baik seorang wanita bepergian seorang diri di malam hari. Andrea kehabisan alasan untuk menolak, lantas menerima tawaran sang pria.
Ia bersumpah hampir menganga lantaran syok bahwa mobil mewah yang terparkir di samping kafe adalah mobil Leo. Bertambah lagi hal yang membuatnya curiga dengan identitas asli sang pria.
“Kau masih belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya rendah tanpa memalingkan pandangan dari jendela. “Mengesampingkan aku yang ingin bebas atau tidak, pernikahan bukan hal sepele, Leo.”
“Mau bertaruh denganku?” Ada sirat menantang dalam pertanyaan sang pria. Sudut bibir Leo tertarik lebih dalam, menyeringai tipis kala sebelah alis Andrea terangkat. “Kau akan jatuh cinta padaku sebelum satu tahun pernikahan.”
Andrea menipiskan bibir. Tidak tahu apakah ia harus tersinggung atau terhibur dengan kepercayaan diri sang pria. Saat mobil berhenti di depan rumah bercat putih dengan nomor 15 dan pagar kecil pada bagian depan, Leo memutar kepala untuk menghadap Andrea.
“Bagaimana?” desak Leo lembut. “Untuk membuktikan bahwa perasaan sukaku sudah cukup menjadi alasan pernikahan ini terjadi, mau bertaruh?”
“Apa yang kau dapatkan kalau menang?” tanyanya penasaran.
Leo melipat kedua tangannya di atas kemudi, menyeringai geli kala Andrea berusaha memalingkan tatapan. “Kau. Waktu seumur hidup bersamamu sudah cukup menjadi hadiah.”
Andrea mendengus jengkel, melipat kedua tangan di dada. Matanya bersirobok dengan netra hijau Leo, berusaha mencari setitik kebohongan atau sepercik jahil. Namun, nihil. Pria itu bersungguh-sungguh.
“Dan apa yang kudapatkan kalau aku yang menang?” tantangnya.
“Tidak perlu dipikirkan. Aku pasti menang.” Leo terkekeh pelan.
Andrea terkesiap saat Leo mencondongkan tubuh. Ia memejamkan mata saat napas hangat Leo membelai wajahnya. Hendak mendorong bahu sang pria, tetapi telinganya menangkap suara pintu yang terbuka.
Ia mengerjap pelan, memandang ke arah Leo dan pintu bergantian. “ … Kau?”
“Per kemarin, Logan Blackhill sudah tidak menetap di London.” Itulah hal pertama yang dilaporkan oleh Roger sesampainya sang detektif di kafe Wisteria. “Pihak hotel sudah membenarkan kalau kamar yang dihuni oleh Logan kosong dan ia tidak terlihat lagi di kota ini.”“Akhirnya ada kabar baik minggu ini,” gumam William rendah. “Yakin kalau ia benar-benar pergi dan bukannya menyembunyikan diri?”Roger mengangguk lamat. “Kelihatannya begitu. Tidak ada lagi alasan yang mengikatnya di kota ini. Bahkan pembayaran di kasinonya sudah dilunasi.”Leo menyimak penjelasan sang detektif dengan senyum terkulum. Keberhasilannya sudah dipastikan malam itu. Saat Logan tak berkutik di bawah ancamannya. Namun, mendengar kabar bahwa taktiknya benar-benar berhasil memberikan kepuasan yang berbeda.Menyenangkan, tentu saja. Ternyata kemampuannya bernegosiasi dengan menyelipkan taktik persuasif—dalam kasus Logan agak sedikit ekstrem—belum menumpul. Setidaknya, Logan cukup bijak untuk tidak menguji batasan Leo
Langkah kaki menggema di kediaman mereka kala Andrea melintasi flat menuju ruang kerja. Cahaya yang menyusup pada bagian bawah pintu menunjukkan bahwa seseorang mengingkari janji untuk tidur lebih awal bersamanya dan memilih bekerja. Mendesah panjang, Andrea mengetuk pintu tiga kali,“Selamat malam, Tuan Leo Howard.” Andrea melongokkan kepala dari balik pintu. Matanya langsung bertemu dengan netra senada zaitun Leo yang dibingkai dengan kacamata. “Boleh aku bicara dengan suamiku?”Leo mengulum senyum, melepaskan kacamatanya. “Keduanya adalah suamimu, Darling.”Andrea melangkah lebih dalam ke ruang kerja, berhenti tepat di depan meja sang pria. Ia menjawab uluran tangan Leo, memutari meja lalu duduk di pangkuan sang suami. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam ketika Leo menyapukan bibir di pelipisnya lamat.“Sayangnya, Tuan Leo Howard dan suamiku adalah dua pria yang berbeda,” guraunya. “Tuan Leo Howard akan bersikeras mengerjakan laporan dari William lalu sibuk mengkalkulasikan data da
Andrea tidak bisa berhenti melihat jam dinding setelah menerima pesan terakhir dari Leo. Semakin lama jarum jam berputar, semakin tercekik dirinya. Panik membelenggu batin kala sang pria bersikeras ingin bertemu dengan Logan untuk bicara. Seberapa keras ia berusaha untuk membujuk Leo agar membatalkan niatnya pun berakhir sia-sia. Julianlah yang menjemputnya dari kantor, kali ini bukan atas suruhannya melainkan karena titah Leo untuk menjaga sang kakak. Cemasnya kian mengimpit dada saat sosok sang suami absen dari kafe. William dan Daniel berusaha untuk menenangkannya dengan senyum tipis.“Tenang saja, suamimu itu lebih tangguh daripada gurita cincin biru.” William menepuk bahunya ringan, menyeringai lebar. “Ia mungkin tampak tidak berbahaya, tapi racunnya bisa membunuh dua puluh enam orang dewasa. Bahkan orang lain tidak akan menyadari gigitannya sampai alat pernapasan mereka gagal berfungsi.”Gurauan William berhasil menarik sudut bibir Andrea tipis. Ia tidak tahu kemampuan Leo seba
Leo menggulirkan ibu jari di layar ponsel. Sudut bibirnya tertarik samar. Pesan lain dari Andrea yang mengingatkannya untuk berhati-hati dan tidak menantang bahaya. Kalau sang hawa akan menunggunya di kafe seperti biasa.Ia mengetik pesan balasan. ‘Aku akan kembali sebelum kafe tutup.’Sejak meluapkan gelisah dan cemasnya kemarin lusa, Andrea telah kembali seperti sedia kala. Dugaannya benar. Logan memang sengaja mencari Andrea, mengancamnya. Yang luput dari hipotesisnya adalah kemungkinan bahwa bajingan itu akan menggunakan namanya agar Andrea mengikuti keinginan Logan untuk kembali.Malang bagi Logan, Leo bukanlah sembarang pria yang patuh saat diancam.Awalnya, Leo berniat mengusir Logan dengan mengirim pria itu kembali ke Amerika. Namun, niat itu terpaksa diurungkan setelah mempertimbangkan ketakutan Andrea selama beberapa hari setelah kemunuculannya. Bagaimana Andrea selalu waspada terhadap sekitar. Bagaimana Andrea mencoba menjauh darinya karena tidak mau Leo disakiti oleh baji
“Darling, bisakah kita bicara sebentar?”Gerakan tangan Andrea yang tengah menumpuk piring setelah makan malam terhenti di udara. Cemas sontak menyergap benak. Kalimat itu selalu mengundang resah karena akhir pembicaraan biasanya tidak selalu baik. Bukankah banyak pasangan kekasih yang menemui akhir hubungan setelah pertanyaan itu dilontarkan?Namun, Andrea telah mengantisipasi hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Sudah beberapa hari setelah ia menghindari Leo dengan gamblang. Menghindari ajakan sang pria untuk menghabiskan waktu bersama, bahkan menolak untuk diantar-jemput dan melakukan tradisi mereka. Sentuhan ringan pun berkurang drastis.Andrea tahu kalau mengelak bukanlah keputusan yang bijak, tetapi terlampau sibuk dengan benang kusut dalam kepala juga suara yang senantiasa berteriak dalam pikiran membuat sisi rasionalnya terpaksa dinomorduakan.“Apakah mendesak?” balasnya seraya membasahi bibir gugup, mencoba menjaga agar suaranya tidak gemetar. “Aku perlu mencuci piring dulu
Leo bersumpah ada yang aneh dengan Andrea.Saat ia kembali dari kios yang menjual ayam dan membeli teh susu yang Andrea suka untuk melengkapi pagi sang hawa, wanita itu duduk dengan tegang di bangku panjang. Ekspresinya mengeras. Matanya memandang kejauhan. Bahkan saat Leo duduk di sampingnya, Andrea tidak langsung bereaksi.“Darling, kau baik-baik saja?” tanyanya seraya menggapai jemari sang istri yang ternoda oleh saus dari pai daging lantaran menggenggamnya terlalu erat.Andrea terkesiap. Mulutnya nyaris menganga, matanya membelalak. Selama beberapa detik, wanita itu bereaksi seolah ia adalah penjahat yang siap menyergap. Respons itu sudah cukup meningkatkan kewaspadaan Leo terhadap sekitar.Apa yang sebenarnya dilihat Andrea hingga sang hawa terpekur baga