Sepasang mata mengintai di balik celah sempit salah satu pintu ruang privat di mana dua manusia berbeda jenis kelamin masuk ke dalam. Tepatnya ia mengikuti pergerakan mereka sejak masuk ke dalam kelab beberapa saat yang lalu.
Tak sedetik pun matanya berkedip mengamati bagaimana interaksi mereka di luar dan dalam ruangan. Oh, ini sungguh menyebalkan.
“Apakah malam ini aku harus menyaksikan duel mereka lagi?” gumamnya pelan di balik pintu itu.
Terdengar percakapan samar yang tertangkap oleh telinganya. Ia mendengar meski tak begitu jelas. Hingga pada ketika wanita di dalam sana beranjak untuk ke toilet, ia segera menyusun pergerakan.
‘Waktunya beraksi.’
Memastikan penampilannya sebelum masuk ke sana, ia harus bisa menjalankan misinya kali dengan mulus. Bagaimanapun juga ia tak ingin lagi menyaksikan pergulatan dua manusia yang semakin menggila itu.
Ia mendorong pintu itu dan menyunggingkan senyuman manisnya. “Tuan
Setiap pasangan pengantin baru, waktu bersama setelah menikah adalah surga yang terindah bagi mereka. Selain bisa menyalurkan gairah percintaan, saling berdekatan adalah menjadi hal yang membuat perasaan di dalam hati menjadi terpaut.Waktu selalu menjadi pembatas bagi mereka mengeluarkan semua fantasi liar percintaan. Apalagi jika hanya berlangsung selama tiga hari saja. Bukankah itu menyesakkan?Maka tak heran bila ada seorang lelaki yang kesal karena belum puas menikmati kebersamaan dengan istrinya. Mengingat masih banyak gaya yang belum mereka coba.“Serius, Gabriel! Kau akan merajuk seperti ini?” tanya Becca dengan mata yang membulat. Ia sangat terkejut melihat tingkah kekanakan Gabriel. Pria yang sudah resmi menjadi suaminya.Ah, bolehkah ia tertawa? Karena jujur saja, wajah Gabriel saat ini tampak menggemaskan dan sangat menggelikan.Alih-alih langsung menjawab, Gabriel yang sudah memakai setelan jasnya membalikkan
Wajah pria enam puluh tahun itu memerah. Menjadi satu pertanda bahwa kemarahannya sudah berada di puncak tertinggi.Ia tidak habis pikir dengan tindakan putra pertamanya itu. Bisa-bisanya mengambil keputusan tanpa persetujuan darinya.Apa kata media dan relasi bisnis Johnson Corporation jika mengetahui hal ini? Bukankah ini sangat mempengaruhi perkembangan bisnis yang sudah turun temurun selama bertahun-tahun?“Ini tidak boleh terjadi,” pikir Alexander dalam hati. Dan tak lama kemudian, perkataan Gabriel kembali membuat darahnya semakin mendidih.“Dengan atau tanpa persetujuan Daddy, Gabriel akan melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk menikahi wanita yang saat ini menjadi kekasihku,” ucap Gabriel tegas dan dingin. Jangan lupakan sorot matanya yang secara terang-terangan menunjukkan kesungguhan kepada Alexander.“Kau bahkan sudah berpikiran menjadikan dia seorang istri?” Pria itu menggelengkan kepalanya tak perc
Perasaan Gabriel tiba-tiba berkecamuk. Tidak ada alasan untuk menghindar, karena ia tahu, cepat atau lambat hari ini akan datang.Bagaimanapun juga pria paruh baya itu adalah ayah biologis dari istrinya. Dan itu berarti, dia adalah mertuanya.Lelaki yang tampak sedikit gugup itu menghela napas dalam-dalam. Berharap, hal remeh itu bisa mengurangi kegugupannya. Tidak lucu bukan jika seorang Gabriel yang biasanya berwibawa menjadi gugup.“Silakan, Tuan Franklin.”Sesaat setelah suara Algio bergema, Gabriel yang masih duduk di kursi kebesarannya seketika melirik ke arah pintu. Di sana seorang pria paruh baya seusia Daddynya berdiri.Mereka saling menatap dalam waktu singkat. Sebelum pada akhirnya, adalah Gabriel yang kemudian bangkit, dan menyilakan pria itu duduk di sofa.“Maaf mengganggu waktu Anda, Tuan Johnson.”Menjaga sikap dan wibawanya, Gabriel mengulas satu senyuman. “Tak apa. Kebetulan saya se
Entah kata apa yang pantas menggambarkan perasaan pria enam puluh tahun itu. Di antara beberapa kata yang berada dalam susunan bahasa pun tampak tak benar-benar bisa mewakilkan.‘Apa tadi dia bilang?Is-istri?Yang benar saja.Bagaimana bisa dia mengakui putriku sebagai istrinya?’Namun, melihat dari wajah lelaki muda yang memancarkan binar-binar cinta itu, tak ada alasan bagi Gerald menolak ucapannya barusan.‘Tidak mungkin.’Begitu mudah kata hatinya menyangkal. Jika mengatakan sebagai pasangan kekasih, mungkin ia akan maklum. Tapi, ini istri.‘Bagaimana bisa?’Gerald masih membeku dengan tatapan yang tak lepas dari manik kebiruan milik Gabriel. Jujur saja ia masih syok mendengar pertanyaan lelaki itu.“Mengapa Anda tampak terkejut?” tanya Gabriel dengan santai.“Saya ....”Sial! Gerald kehilangan semua kosa kata di benaknya. Apakah ia per
Gerald mengeraskan rahangnya. Pertemuan dengan lelaki muda yang ia yakini membawa putrinya tidak menemukan hasil. Lucunya lagi, ia pun tak bisa apa-apa ketika ada satu kenyataan yang menyatakan memang keduanya telah menikah.“Apa yang harus aku katakan pada istriku?”Untuk beberapa saat lamanya ia berdiam diri di balik kemudi. Sepuluh jemarinya mencengkeram erat seolah-olah ingin meremukkan benda itu sebagai pelampiasan emosinya.Tak lama kemudian, satu panggilan dari nomor yang sangat ia kenali terpampang di layar ponselnya. Seketika ia dilanda kebingungan.“Ada apa, Honey?”Terdengar jelas helaan napas wanita itu di seberang sana. Dan telinga Gerald tak akan salah mendengar ada getaran lirih di dalam pertanyaan yang diberikan olehnya.“Kau di mana?”Pria paruh baya itu memejamkan mata dan mengucapkan maaf di dalam hati. “Aku ... di jalan.”“Pulanglah. Aku menunggumu
Waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Sebagian karyawan pun sudah berlalu lalang di lobi kantor untuk keluar menikmati waktu istirahat mereka.Namun, hal itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di ruangan sang CEO. Lelaki dua puluh sembilan tahun itu masih berkutat dengan beberapa dokumen di mejanya.Tanpa memedulikan jam makan siangnya, lelaki itu tampak fokus dengan deretan angka yang di dalam proposal kerja sama dengan perusahaan lain. Karena setengah hari ini, ia harus melayani kemarahan Daddy-nya dan juga menyambut kedatangan seorang pria yang mana adalah ayah dari istrinya.Suara ketukan pintu yang menggema membuyarkan konsentrasi lelaki itu untuk beberapa detik. Ia mendengkus.“Masuk.”Kembali pada dokumen di tangannya, ia tak memedulikan sang asisten masuk dengan seorang wanita bersetelan formal. Kemeja merah muda yang dipadukan dengan rok mini, ditambah sehelai blazer berwarna senada membuat penampilan wanita itu memeso
Wanita yang sedari tadi berdiri melihat pemandangan di luar unit menghela napas dalam-dalam. Sejak keberangkatan sang suami, ia tak berniat keluar kamar. Ia masih kesal mengingat perdebatan mereka tadi pagi.“Mama berharap ketika kau sudah menikah, kau bisa menjadi istri yang baik. Mama tidak bisa selalu ada di sampingmu untuk mengingatkan kau, Sayang.”“Ingat satu hal ini. Semarah apa pun dengan suamimu, jangan sampai kau tak melayaninya di rumah, maupun di ranjang. Diam tak selamanya menyelesaikan masalah. Bicarakan dengan kepala dingin apa yang membuatmu tak suka atau apa kesalahan yang suamimu lakukan.”“Semoga ... kau selalu mengingat Mama meskipun nanti kau harus tinggal bersama suamimu, Sayang. Bagaimanapun juga kau adalah putri Mama satu-satunya.”Tiba-tiba saja ingatan tentang nasehat sang mama memenuhi pikiran wanita itu. Membuatnya tersenyum kecut.‘Apakah artinya aku harus mengalah?’
“Ya ampun, Nyonya,” pekik Sherly ketika melihat darah yang menetes dari telapak tangan Becca. Becca meringis seraya menekan luka itu dengan tangan kanannya. Namun, ia masih bisa mengulas senyum agar Sherly tidak semakin panik. “Tidak apa-apa, Sherly,” ucapnya. “Ini hanya luka tak seberapa. Bahkan ...” “Ki-kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban sang nyonya, wanita itu mengeluarkan ponselnya untuk meminta bantuan. Selama perjalanan menuju rumah sakit, keringat dingin keluar dari tubuh Sherly. Tentu saja, bagaimana ia bisa tenang ketika sang majikan yang seharusnya dijaga malah terluka. “Maafkan saya, Nyonya. Seharusnya saya tidak membiarkan Anda memegang pisau setajam itu.” Seraya menahan rasa nyeri di bagian lukanya, Becca memberikan senyuman agar sang pengawal berhenti meminta maaf. Namun, ia salah besar. Sherly semakin menundukkan wajah. “Jangan menyalahkan dirimu terus, Sherly. Ini hanya nyeri sed