Patra masih berdiri mematung dan sama sekali tidak berani mempercayai pendengarannya. Apa? Putus? Nero dan Kania putus? Tatapan Patra seketika goyah dan perlahan ia pun langsung berbalik menghadap ke arah Nero yang juga sudah kembali berdiri menatapnya. "Kau bilang apa?""Aku sudah memutuskan Kania, Patra," ulang Nero lantang. Tapi Patra nampak begitu syok mendengarnya. "Kau pasti bercanda kan, Nero?""Apa aku terlihat seperti sedang bercanda? Aku tidak bercanda, Patra. Aku sudah meminta putus dari Kania.""Mengapa kau memutuskannya, Nero? Bu Kania sangat mencintaimu!""Tapi aku tidak mencintainya, Patra! Bukankah sudah kubilang padamu bertahun-tahun aku mencoba mencintai Kania, tapi aku tidak bisa! Aku mencintaimu! Dulu dan sekarang aku hanya bisa mencintai satu wanita yaitu kau, Patra!"Patra menggeleng keras. Patra terus menggeleng. "Tidak, Nero! Tidak! Tidak seharusnya kau meminta putus darinya! Kalian sudah bertunangan, kau tidak bisa seenaknya putus dengannya!""Mengapa tida
Nero menapakkan kakinya ke bagian taman yang lebih sepi di dekat perbatasan area hutan. Benar-benar tidak ada orang di sini, hanya serangga kecil yang terus beterbangan, namun Nero tidak peduli karena Nero memang butuh ketenangan.Perasaan hatinya sangat kacau. Walaupun pekerjaan mereka sudah berhasil dengan sukses pun sama sekali tidak bisa membuat suasana hati Nero menjadi lebih baik dan Nero membenci perasaan ini. Nero pun hanya bisa mendongak menatap bintang berkilauan di langit saat tiba-tiba terdengar suara di belakangnya. Suasana sangat sepi hingga langkah kaki yang menginjak rumput yang lembab itu tentu akan terdengar oleh Nero. Namun, Nero masih belum mau menghentikan aktivitasnya menatap bintang. Sampai Nero mendengar langkah kaki itu menjauh dan Nero pun menoleh ke belakang. Untuk sesaat, suasana hening saat Nero mengenali punggung wanita yang sedang melangkah menjauhinya itu. Nero hanya terus menatapnya dengan penuh kerinduan sampai ia pun tidak tahan dan memanggiln
Kania masih memeluk lututnya di kamar mandi sambil menatap dengan tatapan kosong. Hatinya begitu sakit dan rasa sakitnya sama sekali tidak berkurang. Nero hanya meminta putus darinya tapi ia benar-benar merasa seolah dunianya runtuh. Padahal Kania belum bertanya apa pun tentang wanita itu. Entah akan bagaimana hati Kania nanti saat mengetahui fakta lain tentang wanita itu. Selama enam tahun ini, Kania sudah berusaha melakukan semua yang ia bisa untuk Nero. Walaupun awalnya hanya karena rasa bersalah, namun lambat laun rasa itu menjadi cinta yang luar biasa sampai Kania tidak bisa melangkah lagi tanpa Nero di sampingnya. "Duniaku hanya berpusat padamu, Nero. Kau boleh tidak mencintaiku, kau boleh tidak menginginkan aku, tapi aku benar-benar tidak sanggup berpisah denganmu ...." "Bagaimana caranya kau bisa mencintai orang lain padahal hanya aku yang ada di sampingmu ... Nero ....""Bagaimana ini? Bagaimana ini? Ibu ... Tante Cintya ... bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku
Jantung Patra berdebar begitu kencang mendengarnya. Tatapan Axel terlihat sangat tulus dan tatapan Patra pun menjadi goyah melihatnya. Untuk sesaat, hati Patra berdesir karena ada seorang pria yang begitu mencintainya. Bukankah setelah melewati banyak hal yang menyedihkan, Patra juga berhak bahagia dan dicintai. Namun, tidak dapat dipungkiri Patra sendiri merasa takut. Takut untuk kembali berhubungan dengan pria, takut kalau kejadian yang serupa akan dialaminya, dilecehkan oleh keluarga Axel nanti karena keluarga Patra hanya keluarga miskin. Dan juga takut kalau Axel tidak bisa menerimanya seandainya tahu Patra pernah diperkosa. Sungguh, itu bukan hal yang baik bagi seorang wanita. Tapi selain semua itu ... Patra tidak punya perasaan yang sama dengan Axel. Sebagai seorang wanita sebenarnya Patra tahu kalau lebih baik dicintai daripada mencintai dan sekalipun Patra tidak punya perasaan seperti Axel, bukan hal sulit bagi Patra untuk menerima Axel dan hidup bahagia bersama Axel. N
Brak!Nero menutup pintu kamarnya dengan begitu kesal. Tanpa mempedulikan Kania, Nero pun terus berjalan mondar mandir sambil mengembuskan napas panjang dan hati Kania pun makin sakit melihatnya. "Ada apa, Nero?" Kania berhasil bertanya dengan suara yang sudah bergetar. "Apa yang ... membuatmu sampai semarah ini?""Tidak ada, Kania! Aku hanya sedang kesal! Tidurlah duluan!" Nero mengedikkan kepalanya ke arah ranjang. Namun, Kania hanya melirik ranjangnya lalu tertawa pelan menatap Nero. "Ranjang itu sama sekali tidak hangat untukku, Nero. Kita tidur satu kamar tapi aku merasa seperti sedang tidur sendiri."Nero langsung terdiam mendengarnya. Ia pun menatap Kania dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Kania? Kemarin malam aku memang baru kembali ke kamar tengah malam karena itu, aku langsung tidur!""Kau tahu bukan itu maksudku, Nero!""Tidak! Aku tidak mengerti maksudmu, Kania! Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"Kania menelan salivanya dan memaksakan senyumnya. "Selama tiga t
"Baiklah, aku bersedia berinvestasi untuk proyek ini!" kata Pak Barry siang itu. Semua orang sudah begitu tegang sejak pagi dan Patra pun menampilkan presentasi terbaiknya di hadapan Pak Barry di ruang kerja pria itu. Patra menjelaskan semuanya dengan sangat baik sampai Axel dan Juan pun tersenyum puas. Axel sendiri ikut membantu menjelaskan bagiannya dan singkat kata, semuanya berjalan begitu lancar dan sukses. Patra pun hampir saja melonjak kegirangan mendengar ucapan Pak Barry. "Anda ... Anda serius, Pak Barry?" tanya Patra tidak yakin. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Pak Barry santai seolah memutuskan menggelontorkan uang begitu banyak sama sekali tidak ada artinya untuk pria itu. "Ah, tidak ...." Patra begitu sungkan. "Selama kau yang memimpin proyeknya, aku setuju!""Eh? Aku ... tentu aku yang memimpin proyek ini!""Baiklah, aku setuju! Aku menunggu dokumen legalnya untuk kutandatangani dan aku akan segera mengirim uangnya untuk berinvestasi di proyek ini." Se
"Terima kasih banyak, Pak Barry.""Sama-sama, Bu Kania. Aku menantikan presentasinya besok.""Tentu, Pak Barry. Terima kasih."Kania dan Axel pun tersenyum ramah sebelum mereka berpisah dengan Pak Barry dan setelah itu, Kania pun kembali memasang ekspresi datarnya sampai Axel yang melihatnya pun mengernyit. "Hei, mengapa kau begitu murung, Kak? Bukankah seharusnya kau senang tanggapan dari Pak Barry begitu baik, kans kita cukup besar untuk mendapatkan hatinya di proyek ini! Selain itu kau juga bisa berlibur di tempat yang indah ini bersama Kak Nero kan?"Kania yang mendengarnya hanya terdiam dan mengangguk. "Tentu saja aku senang, Axel. Banyak hal yang seharusnya membuat aku senang.""Hmm, lalu apa yang membuatmu cemberut sekarang?""Tidak, aku tidak cemberut. Benarkah aku cemberut?""Astaga, Kak Kania! Kau pikir aku ini sungguhan karyawanmu, hah? Aku ini adikmu, tentu saja aku mengenalmu. Kakakku adalah wanita yang sangat ramah, murah senyum, dan selalu positif. Tidak seperti raut w
Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
Axel menghentikan mobilnya di parkiran kantor pagi itu. Ia baru saja menjemput Patra dan mereka sudah sangat terlambat pagi itu. Patra pun sudah siap berlari, tapi Axel mendadak mengulurkan tangannya ke arah Patra sampai Patra mengernyit bingung. "Apa? Kita sudah terlambat!""Aku tahu!" Axel mengedikkan kepalanya ke arah uluran tangannya. "Berlari bersama akan lebih cepat!"Patra pun terdiam sejenak dan bermaksud menolak, tapi belum sempat penolakan itu keluar dari mulutnya, Axel sudah menyambar tangan Patra dan menggenggamnya erat. Patra sempat tersentak kaget, tapi ia tidak sempat protes lagi karena Axel sudah mengajaknya berlari begitu cepat. "Akkhh, Axel!"Namun, Axel hanya tertawa begitu senang dan Patra pun akhirnya ikut tertawa senang. Menyenangkan sekali berlarian seperti anak kecil dari parkiran yang begitu luas sampai ke lobby perusahaan. Mereka pun terus tertawa bersama sambil sesekali Axel menoleh menatap Patra. Sedangkan Nero yang melihatnya dari balkon tentu saja l