"Akkhh! Brengsek! Semua nomor tidak bisa dihubungi!" teriak Cintya kesal malam itu. Cintya sudah berada sendirian di dalam kamar di rumahnya dan entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi nomor Brata, Nerisa, dan anak buah lain yang ia tahu, tapi tidak ada satu pun nomor yang aktif. Zen sendiri juga ikut melacak keberadaan Brata, namun usahanya belum membuahkan hasil. Dan sepanjang hari itu Cintya pun terus marah-marah sampai malam harinya, kepalanya kembali sakit. Darah tingginya kambuh lagi sampai Cintya pun terus meminum obat sakit kepalanya. "Aakkhh, kepalaku! Kepalaku serasa mau pecah!" geram Cintya sambil mengambil obat sakit kepalanya lagi. Kali ini bukan satu biji melainkan beberapa biji sekaligus ia teguk dalam satu kali tegukan. "Nerisa! Bertahanlah, Sayang! Ibu bersumpah akan membunuh bajingan itu kalau sampai dia berani menyentuhmu!""Akkhh!" Cintya menggebrak ranjangnya sendiri entah berapa kali. Malam itu pun Cintya kembali marah-marah sampai akhirnya ia tert
"Pak Barry sangat puas dengan progress kita. Aku senang sekali!" pekik Patra saat makan malam itu.Mereka sudah berkumpul di ruang makan apartemen Juan dan membicarakan pekerjaan bersama dan Patra pun mengabarkan kabar baik itu. "Benarkah itu?" tanya Nero sambil tersenyum senang. Patra mengangguk. "Dia terus meneleponku dan aku juga sudah menjelaskan semuanya seperti yang aku kerjakan bersama Selly, walaupun aku tidak langsung bertemu dengan Selly di kantor tapi kami bekerja bersama dengan sangat baik." Axel dan Juan yang mendengarnya pun ikut mengangguk senang. "Aku bangga sekali padamu, Patra! Kau benar-benar bekerja seolah kau ada di kantor bersama kami dan hasil kerjamu sempurna," puji Axel tulus. "Yeah, kau benar, Axel! Patra mengerjakannya dengan sempurna," timpal Juan. Nero yang mendengarnya pun langsung melirik Patra lalu ia membelai sayang kepala Patra. "Sejak dulu Patra-ku memang sangat pintar!" puji Nero sambil menatap Patra penuh cinta. Patra hanya menunduk sambil
Brata langsung menutup teleponnya sebelum Cintya sempat membalas ucapannya lagi. Bukan hanya menutupnya tapi Brata juga langsung mematikan ponsel Nerisa dan menyimpan ponsel itu ke kantongnya. "Apa yang kau lakukan? Kembalikan ponselku! Kembalikan ponselku!" teriak Nerisa frustasi sambil masih terus memberontak. "Tidak, Sayang. Aku tidak mau kau menelepon wanita itu lagi!" sahut Brata lembut di telinga Nerisa. "Brengsek kau, Brata! Lepaskan aku dan jangan memanggilku sayang! Kau menjijikkan! Kau sudah berani melakukan hal-hal yang di luar batas dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!""Oh, ini belum apa-apa, Nerisa Sayang! Aku bahkan belum melakukan apa-apa! Bagian mana yang di luar batas? Hanya sedikit menyentuh! Anggap saja ini hidangan pembuka, apa kau sudah tidak sabar untuk langsung ke intinya bersamaku, Nerisa?" bisik Brata lagi di telinga Nerisa. Nerisa pun mengangkat bahunya geli dan jijik. "Minggir kau, pria brengsek! Lebih baik aku mati daripada harus melakukan hal menji
"Jaga dia, jangan sampai dia keluar dari kamar ini! Aku juga sudah memutus sambungan teleponnya jadi dia tidak bisa menghubungi siapa pun," perintah Brata begitu ia keluar dari kamar Nerisa. "Baik, aku mengerti!"Brata sempat mengangguk dan melangkah menjauh dari kamar itu namun mendadak ia ingat kalau Nerisa selalu membawa dua ponsel. Brata mengumpat kesal, sebelum ia masuk lagi ke dalam kamar Nerisa. Dan benar saja, Nerisa sedang bicara dengan seseorang di telepon. Sementara di rumah sakit, Cintya masih memejamkan matanya di posisi duduk dan otaknya sedang berpikir keras.Ia sudah memerintahkan semua orang untuk mencari dan menghubungi Nerisa, sedangkan ia sendiri tidak berhenti menghubungi ponsel Nerisa yang sama sekali tidak aktif. Sampai tidak lama kemudian, Zen masuk dan memberikan laporan pada Cintya tentang tempat-tempat yang Nerisa kunjungi sebelum berangkat ke Indonesia dan daftar nomor telepon yang ia telepon. "Sialan! Brata meneleponnya sejak beberapa hari yang lalu d
"Bagaimana perasaanmu setelah menemui ibumu, Nero?" "Tidak baik, Patra. Kupikir aku akan sedikit lebih baik setelah menemuinya dan menerimanya seperti katamu tapi kau lihat sendiri kan? Sikapnya sama sekali tidak bisa diterima. Dia itu penjahat, dia pembunuh, tapi dia tidak menyesal sama sekali dan bahkan bisa menghinamu lagi. Aku benar-benar tidak bisa menerimanya!" seru Nero berapi-api. Nero dan Patra sudah kembali ke apartemen dan saat ini mereka sudah duduk berdua di sofa. Patra pun hanya bisa menggeser posisi duduknya mendekati Nero dan terus membelai singkat lengan pria itu. "Berikan waktu untuk dirimu sendiri, Nero! Aku sendiri juga tidak bisa menjelaskan perasaanku saat bertemu dengannya, tubuhku selalu gemetar tanpa sebab, bahkan mendengar namanya saja aku merinding ...."Nero yang mendengarnya langsung menoleh dan memeluk Patra dari samping. "Maafkan aku, Patra! Seharusnya kita tidak usah ke sana saja! Aku tidak mau membuatmu terus merasa ketakutan!" "Tidak apa, Nero!
"Brata, kau sudah datang? Sudah kubilang berhentilah memanggilku Tuan Putri! Menggelikan sekali!" seru Nerisa tanpa melepaskan kacamata hitamnya. Nerisa pun langsung menyerahkan trollynya kepada Brata dan Brata pun begitu patuh meraih trolly milik Nerisa. "Maafkan aku, Nona! Aku hanya merasa kau memang Tuan Putri!"Nerisa yang mendengarnya pun mengibaskan tangannya acuh. "Ck, whatever!""Jadi bagaimana keadaannya? Kau membuatku panik sampai aku tidak tau harus melakukan apa!" keluh Nerisa dengan suara ketus yang selalu terdengar merdu di telinga Brata. "Semua masih aman terkendali selama kau mengikuti arahanku, Nona. Bu Cintya sudah memintaku untuk menjagamu.""Benarkah? Apa aku tidak bisa menemui ibuku sendiri?" "Jangan, ini demi kebaikanmu dan Bu Cintya! Kau harus terus bersamaku karena hanya aku yang bisa melindungimu," kata Brata dengan serius. Nerisa pun mengernyit dari balik kacamata hitamnya. "Kau ini bicara apa? Mendadak aku merasa seperti sedang berada di medan perang sa