Sebenarnya Douglass sudah berkeluarga. Dia sangat mencintai istrinya. Istrinya sangat cantik dan berprofesi menjadi seorang model ternama di Perancis.
Diusia pernikahannya yang ke-lima tahun, sampai saat ini mereka belum dikaruniai keturunan. Sebab istrinya yang bernama Freya tidak ingin hamil karena tidak ingin tubuhnya rusak. Freya yang mempunyai sifat keras kepala, egois, dan sangat ambisius dalam berkarir membuat Douglass mulai muak. Ia sangat ingin memiliki anak seperti teman-temannya.
Maka dari itu Douglass mencari wanita lain yang bisa memberikannya keturunan. Hari itu dia datang ke Indonesia untuk urusan bisnis. Tapi, sampai di klub malam ternyata ia mendapatkan apa yang ia cari yaitu Bintang.
Bintang menangis terisak sambil memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Menahan perih dan rasa sakit yang terasa menyayat di tubuhnya, ia berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Mimpi indah masa depannya kini telah musnah, karena kehormatannya dicabik oleh pria matang itu.
Douglass menatap Bintang dengan senyuman puas, sambil menyesap rokoknya tanpa seujung rasa bersalah pada gadis malang tersebut.
"Karena aku sudah menaburkan benihku di dalam rahimmu, maka kau harus ikut bersamaku hingga benih itu tumbuh besar dan lahir ke dunia ini!" ucapnya dengan nada yang terdengar pelan namun menyeramkan bagi Bintang.
"Jangan pernah berani menolak, sebab kini kau sudah menjadi milikku secara seutuhnya!" lanjutnya dengan penegasan yang mengguncang hati Bintang. Dalam keputusasaan, Bintang hanya bisa pasrah, membiarkan nasibnya dipermainkan oleh lelaki yang kini telah merenggut segalanya darinya.
....
Bintang berdiri di tepi jendela kamar, tatapannya kosong menembus keheningan di luar. Bentuk perutnya telah membesar, menandakan bahwa kehamilannya telah memasuki usia delapan bulan. Tak lama lagi, buah hati yang telah ia tunggu akan segera menyapa dunia. Dan selama itu juga, ia putus komunikasi dengan ibu tirinya.
Namun, hidup Bintang bagai dihujani mendung kelam. Terbelenggu kontrak pernikahan, ia terjebak dalam pelukan Douglass — seorang pria tampan berusia 40 tahun dengan karisma yang mempesona.
Menjadi istri kedua Douglass, Bintang hanya tinggal menghitung hari sebelum harus merelakan buah hatinya. Awalnya, Bintang luluh terhadap perjanjian pernikahan yang ia anggap sebagai solusi hidupnya. Namun kini, suara hati yang semakin lantang menolak kehendak tersebut. Ia bergumul dalam batin, menyesali keputusan yang telah ia ambil.
Saat merasakan getaran kehidupan di dalam kandungannya, Bintang mulai merasa tak sanggup melepaskan anak yang telah menjadi bagian hidupnya selama sembilan bulan ini. Berdiri di ambang perubahan, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui jiwanya.
Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu kamar terdengar. Seorang pelayan datang memberitahukan bahwa sarapan sudah siap dihidangkan. Bintang mengusap air mata yang masih tertahan di sudut matanya, lalu membuka pintu kamar dengan hati berat.
"Nyonya, sarapan sudah siap," ucap pelayan dengan sopan ketika pintu terbuka.
Bintang hanya mengangguk lemah, lalu melangkah menuju ruang makan.
Rumah mewah dan luas ini kini terasa sepi dan sunyi. Douglass, suaminya, hanya akan datang sebulan sekali karena dia adalah warga negara Prancis. Dia hanya datang ke Jakarta jika tiba waktu periksa kandungan. Pria itu sepertinya tidak ingin melewatkan sedikit pun perkembangan calon anaknya.
Sebagai istri kedua Douglass, Bintang tidak pernah merasa kekurangan materi. Semua kebutuhannya dipenuhi dengan baik. Douglass memberikan nafkah lahir, namun tidak dengan nafkah batin. Sejak peristiwa di klub malam itu, Douglass tidak pernah menyentuhnya lagi.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Bintang ingin menikmati jalan santai di taman komplek perumahan mewah tempat tinggalnya. Menurut dokter, pada kehamilan tua sebaiknya banyak bergerak agar kelak persalinannya lancar. Maka, berjalan santai di pagi hari pun menjadi rutinitasnya sehari-hari.
"Kamu lagi," ucap seorang pemuda tampan yang berlari kecil mendekati Bintang. Setiap pagi, ia selalu saja bertemu dengan gadis cantik berperut buncit itu yang tengah menikmati langkah-langkah ringan di taman. Tidak bisa lagi ia menahan rasa penasarannya, "Suaminya nggak ikut?"
Bintang hanya tersenyum tipis sebagai jawaban, tetap menjaga jarak agar tidak terlibat percakapan yang berlarut-larut. Namun, rasa penasaran pemuda itu semakin meningkat seiring langkah yang terus dijalaninya bersama. Ia mulai membayangkan bahwa Bintang mungkin adalah seorang janda muda yang ditinggalkan suaminya saat sedang hamil. Terbersit simpati dan perhatian mendalam pada mata pemuda tersebut, sambil merasa takjub pada kecantikan dan kekuatan seorang wanita yang mampu melalui kesulitan hidup dengan tegar.
Hari demi hari berlalu, pemuda itu semakin agresif mendekati Bintang tanpa mempedulikan kenyataan bahwa gadis tersebut tengah mengandung.
Sementara itu, Bintang mulai menunjukkan perubahan sikap. Gadis cantik itu mulai terbuka mengenai status pernikahannya. “Suamiku bekerja di luar negeri. Dia hanya pulang sebulan sekali,” ungkap Bintang pada pemuda tersebut, dan tetap menjaga jarak.
Pemuda itu, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya setelah mendengar penjelasan Bintang. “Tapi, aku masih bisa jadi temanmu, 'kan?” tanyanya dengan harap, sambil mengulurkan tangan.
Bintang menggeleng dengan tegas, lalu berlalu pergi, meninggalkan pemuda itu yang terbengong-bengong.
Ketika sampai di rumah, Bintang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat kehadiran Douglass. Sejak kapan pria itu ada di sini? Padahal jadwal periksa kandungan masih beberapa hari lagi.
Douglass berdiri di dekat pintu, aura menyeramkannya begitu terasa, dan tatapan tajamnya langsung menembus Bintang. "Sudah puas bersenang-senang?" ucap Douglass dengan suara yang pelan namun penuh tekanan.
Bersenang-senang? Bintang mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan itu. "Apa maksudmu?" balasnya sambil melangkah melewati Douglass.
Douglass menelan amarahnya dan mengumpat dalam hati sebelum akhirnya mengejar Bintang. "Bintang!" Douglass menyentak sambil mencekal lengan Bintang dengan penuh emosi dan amarah. Api cemburu melonjak, membara di hatinya setelah menerima laporan dari anak buahnya bahwa Bintang terlihat dekat dengan seorang pemuda di perumahan itu. Ia bahkan tak ragu untuk terbang langsung dari Perancis ke Jakarta demi memastikan kebenaran kabar tersebut. Dan ternyata dugaannya tidak salah, begitu sampai di taman, Douglass melihat Bintang sedang asyik bercengkerama dengan pemuda tampan tersebut. Pandangan Douglass semakin mengerut, menandakan api cemburu yang melanda hatinya kian membesar, membuat pria itu tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Lepaskan aku, Om!" teriak Bintang, berusaha melepaskan cekalan yang semakin menghimpit tubuhnya. Namun, upayanya sia-sia; Douglass begitu kuat hingga tak ada kesempatan untuk melawan.
"Siapa pria itu?!" Douglass mengejar pertanyaan itu, emosinya kian memuncak tanpa perduli rasa sakit yang diderita Bintang. Pria itu langsung mendorong dan menghimpit gadis itu ke dinding. "Katakan padaku, Bintang!" ucapnya dengan nada tegas dan tajam.
“Kenapa kamu ingin tahu begitu banyak tentang pria itu? Aku saja tidak pernah ingin tahu kehidupanmu di Perancis bersama istri pertamamu!" balas Bintang, suaranya melengking, penuh amarah dan kecewa. Rasa sakit yang dirasakannya tak hanya di tubuh, melainkan juga hatinya yang terluka. Tidak sadar, ia telah mengibarkan bendera perang di antara mereka berdua.
"Kau sadar apa yang kau ucapkan barusan?!" desis Douglass, mencengkram leher Bintang dengan marah yang membara. Emosi tersebut telah membuat Douglass lupa diri hingga tanpa sadar menyakiti Bintang secara fisik maupun psikis.
"Tuan ... Tuan ..." Dua pelayan segera berlari mendekat, dengan wajah ketakutan mereka melihat situasi tersebut. Suara para pelayan sukses menyadarkan Douglass, dan tanpa berpikir panjang, ia segera melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Bintang.
Bintang terbatuk-batuk seketika, rasa sesak membuat tubuhnya lemas karena hampir kehabisan oksigen. Tidak berselang lama, tubuhnya mulai ambruk. Melihat keadaan itu, Douglass langsung merasa sangat bersalah dan dengan sigap menangkap istrinya yang akan jatuh agar tidak membentur lantai.
Dalam perasaan yang kacau dan tertekan, Douglass menggendong Bintang menuju kamar. Ia membaringkannya di ranjang. Sebuah perasaan bersalah yang sangat dalam dan rasa menyesal yang tak terukur menyeruak di dalam dada.
"Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Bintang dan calon anak kami?" bisik hati kecil Douglass. Menyesali tindakan yang baru saja dilakukannya.
“Aku sudah menghubungi dokter, Tuan.” Ucapan pelayan itu membuat Douglass sedikit tenang.
Tidak berselang lama Bintang sadar dari pingsannya, bersamaan dengan dokter tiba di sana.
“Tensinya sangat tinggi, dan hal ini sangat berbahaya bagi ibu hamil.” Penjelasan dokter wanita membuat hati Douglass kian di rundung rasa bersalah yang sangat besar.
"Aww!" Douglas mengaduh kesakitan sambil berusaha menangkis pukulan Bu Indah. "Hentikan, Bu, hentikan!" pinta Douglas dengan suara memohon.Bintang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menonton tanpa bisa melerai. Sebenarnya ingin melerai sih, tapi ia takut kena pukulan juga, terlebih lagi Bu Indah sangat membenci Douglas sampai ke urat nadinya. "Rasa sakit yang kamu rasakan ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang di rasakan Bintang selama ini!" Kata-Kata Bu Indah seperti belati tajam yang menusuk hati Douglas berulang kali. "Dan rasa sakit dari gagang sapu ini beberapa jam kemudian akan sembuh, sedangkan Bintang ... dia harus menanggung sakit hati dan trauma seumur hidupnya karena ulahmu, PAHAM!" sambung Bu Indah seraya membuang sapu tersebut ke lantai. Nafasnya terengah menandakan amarah masih memuncak di kepala.Douglas terdiam mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Yang dikatakannya benar, luka batin yang di derita Bintang akan sulit sirna.
Douglas memaksa dengan tatapan mengancam kepada Bintang, agar istrinya itu membawanya ke rumahnya. Dan di sinilah mereka berada, di depan rumah sederhana yang di tempati Bintang selama ini. Pintu kayu tua dan lapuk, memperlihatkan rumah kecil yang mengagetkan Douglas hingga ke tulang. Sempat terbayang dalam memori, ia pernah menjejakkan kaki di tempat ini berdasarkan laporan anak buahnya, mencari-cari keberadaan Bintang, namun malang, terlambat satu langkah dan gagal menemukan sang istri. "Jadi, selama ini kau bersembunyi di sini?" suara Douglas terdengar serak, mata tajamnya menelisik Bintang yang berdiri di sebelahnya. Bintang hanya mengangguk lemah, tanpa suara seraya menggigit bibirnya. Ketukan penyesalan berdengung di dada Douglas, merasuki setiap sudut pikirannya. 'Ah, betapa tololnya aku!' batinnya sambil mengutuk diri sendiri. Andai saja ia tahu lebih dulu bahwa Bintang telah memilih rumah sederhana ini sebagai sarang persembunyiannya, mungkin semua rasa sakit dan penan
Pitri menyodorkan laporan ke meja atasannya sambil menyelinap pandangan ke arah Bintang yang sedang sibuk membersihkan rak buku. Dalam hati, Pitri tak henti-hentinya mengagumi kegigihan Bintang yang mampu bertahan bekerja dengan sang atasan, Douglas, yang terkenal memiliki temperamen layaknya harimau. Biasanya tidak ada office girl yang mampu bertahan lama di ruangan ini, karena aura Douglas yang begitu menakutkan. "Kenapa kau masih di sini? Keluar sekarang!" seru Douglas dengan suara menggelegar kepada Pitri yang masih terpaku di depan mejanya. Pitri tersentak, seakan tersambar petir, cepat-cepat meminta maaf dan melangkah keluar dari ruangan tersebut dengan langkah buru-buru. Ketika keheningan kembali menyelimuti ruangan, Bintang menghela nafas dalam-dalam, merasakan keleluasaan sejenak setelah Pitri meninggalkan ruangan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama, hati Bintang telah dipenuhi keberanian yang meledak-ledak. "Aku mau berhenti bekerja!" ucapnya dengan tegas. "Tidak
Hawa panas menyelimuti ruangan tersebut. Beberapa pakaian berserakan di lantai. Suara decitan sofa bercampur dengan suara desahan terdengar memenuhi ruangan. Douglas bergerak mendominan di atas tubuh Bintang. Meskipun awalnya Bintang menolak dan memberontak tapi tenaganya kalah dengan Douglas. Penyatuan mereka telah usai, Douglas menyemburkan benihnya ke dalam ladang subur Bintang, berharap kalau benihnya segera bertunas subur. Douglas terdiam seraya memandang wajah Bintang yang terpejam dan penuhi keringat. Ia tersenyum puas, akhirnya ia berhasil mendapatkan dan menjerat Bintang ke dalam dekapannya. “Kau tidak bisa lagi kabur dariku, Bintang. Karena aku kembali menyirami rahimmu dengan benihku,” ucap Douglas seraya mengecup bibir Bintang tak lupa menyesapnya sebentar. Bintang menatap tajam Douglas seraya memukul pundak pria tersebut. “Kau adalah lelaki brengsek, Om!” Maki Bintang dengan pandangan kecewa dan berkaca-kaca. “Aku tidak peduli dengan makianmu! Bulan depan aku pastika
Douglas menghela nafas panjang ketika melihat Bintang sangat marah. “Kali ini aku membiarkanmu menang!” ucap Douglas pelan, terkesan lembut, jauh berbeda dengan nada bicaranya yang sebelumnya sangat dingin dan arogant.“Di mana pompa asinya?” tanya Douglas pada Bintang.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” ketus Bintang, melengoskan wajah.“Untuk saat ini sebaiknya kita jangan berdebat! Lihat bajumu basah!” Douglas menajamkan matanya pada dada Bintang.Bintang menunjuk tasnya, ia pun tidak mempunyai daya lagi untuk berdebat. Rasa sakit di bagian dadanya semakin nyeri dan menjalar pundak karena asinya yang melimpah tak kunjung dipompa.Douglas mengambil tas Bintang yang teronggok di lantai, kemudian membuka tas tersebut dan mengeluarkan pompa asi dari sana. “Sini aku bantu,” ucap Douglas begitu ringan membuat Bintang mendelikkan mata.“Aku bisa sendiri!!” tolak Bintang, seraya merebut pompa asi tersebut dari tangan suaminya. Tapi, sayangnya, Douglas bukan orang yang mudah untuk menerima p
Sudah lelah dan kesal, Bintang bergegas meninggalkan ruangan itu menuju pantry. Ia mengambil tasnya di sudut ruangan sebelum mengeluarkan pompa asi, lalu terduduk lemah di lantai sembari mulai memompa. Kesegaran terasa menembus pikirannya ketika keringat dingin di keningnya diusap, dan rasa sakit di dadanya berangsur hilang seiring tetesan demi tetesan asinya berhasil di pompa keluar. Sementara itu, Douglas, dalam kebingungan, menggenggam ponselnya—matanya melebar tak percaya saat pencarian ‘pompa asi’ di internet membawa pemahaman baru tentang apa yang dimaksud oleh Bintang. Pria bule itu, terbakar oleh kekhawatiran yang tiba-tiba, beranjak cepat mencari Bintang, diliputi rasa penasaran dan kecemasan yang menyesakkan dada. “Pitri, di mana Bintang?” seru Douglas dengan suara yang mendesak kepada sekretarisnya yang duduk di balik meja kerjanya. “Bintang? Baru saja dia berlari ke pantry, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Ataukah Bintang membuat masalah?” Pitri menjawab sambil menatap at
Bintang buru-buru keluar dari ruangan Douglas pada pagi hari itu sebelum pria itu datang. Tapi, ketika di ambang pintu ia berpapasan dengan Douglas yang akan masuk ke dalam ruangan. Seperti biasa, Bintang selalu memakai masker untuk menutupi sebagian wajahnya agar pria itu tidak mengenalinya. “Maaf, Pak.” Suara Bintang terdengar lirih, sekaligus memberikan kode pada pria tampan dan berkarisma tinggi itu tidak menghalangi jalannya. “Mau ke mana?” tanya Douglas dingin, menatap datar pada Bintang. Tapi, percayalah kalau di balik tatapan datar itu terdapat rasa rindu yang membuncah. Rasanya ia ingin menarik masker yang di kenakan Bintang dan memaksa wanita itu agar mau menatapnya. Tapi, sayangnya, ia harus menahan segala keinginannya itu karena takut jika Bintang kembali kabur darinya, dan kembali membawa pergi anaknya. “Mau keluar, mau mengerjakan yang lain,” jawab Bintang pelan, menundukkan kepalanya dengan dalam. Douglas menarik nafas panjang, menahan rasa kesal yang begitu besar
“Sial!” Maki Tari sambil mengentakkan kedua kakinya. Emosi mengepung dada ketika mendengar jawaban Tuan Douglas. “Gagal dapat uang ratusan juta!” geramnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Uang satu miliar yang ia dapatkan dari hasil menjual Bintang semakin menipis. Selain untuk membayar hutang, uang itu juga di gunakan untuk berfoya-foya. Rumah peninggalan mendiang suaminya pun sudah ia jual, dan sekarang dia tinggal di kontrakan satu petak untuk tempatnya berteduh. “Tapi, kenapa ya Tuan Douglas sudah tidak membutuhkan Bintang?” Tari bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia harus mencari tahu semua ini, terutama harus menemukan Bintang lebih dahulu. . . Bintang sangat lega ketika sudah masuk ke dalam rumah Ibu Indah. Rumah sederhana ini sudah menjadi rumah ternyamannya, tempatnya berteduh dan juga tempatnya untuk berkeluh kesah. Ibu Indah sedang melayani pembeli di warung kecil yang berdiri di depan rumah sambil menggendong putranya. Bayi mungil dan menggemaskan itu terliha
Douglas membaca berkas yang baru saja dikirim oleh HRD dengan penuh keheranan. Alisnya mengernyit, mata membulat saat menyimak nama "Bintang" yang tertera dengan mencolok di dokumen itu. "Pasti Anda sangat terkejut ‘kan, Pak? Biasanya yang melamar ke sini memiliki berkas yang lebih lengkap, bukan hanya KTP. Saya sendiri sempat ragu, namun Bu Pitri tetap menyetujuinya,” ucap pria berkepala pelontos dan berkumis tebal itu dengan nada khawatir, menunggu reaksi dari sang atasan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, menduga-duga kemarahan yang bisa saja muncul dari ekspresi serius yang tersungging di wajah Douglas. Douglas diam raut wajahnya tampak sangat dingin, ia tidak merespons ucapan pria tersebut, tapi bukan berarti dia tidak mendengarkannya. Douglass menggeram di dalam hati, ‘pantas saja gadis itu tampak berpenampilan aneh, memakai masker dan poninya untuk menutupi wajahnya.’ Douglas mengepalkan kedua tangannya erat saat rasa marah, kesal, senang dan rasa rindu menggelayut