“Apa dia masih perawan?” tanya pria perut buncit dengan tampilan parlente itu, matanya menatap seorang perempuan muda yang cantik seakan-akan santapan nikmat.
Tari adalah ibu tiri Bintang. Ia begitu membenci anak sambungnya itu sebab baginya Bintang adalah penyebab segala kesialan yang menimpanya.
Hidp Bintang semakin sengsara tatkala ayah meninggal beberapa bulan lalu karena kanker otak. Hutang yang menumpuk serta biaya rumah sakit yang membuat kehidupannya semakin menderita.
Dan kini, untuk melunasi segala hutang-hutang itu, Bintang harus menanggung semuanya.
“Kalau kamu mau harga satu miliar aku tidak sanggup. Tapi, aku bisa membawamu pada Tuan Douglass. Dia adalah pengusaha sukses dari Perancis yang tengah mencari gadis perawan untuk dijadikan istri kedua. Aku sangat kenal baik padanya,” kata pria tersebut dengan serius.
“Tunggu apalagi? Lebih cepat lebih baik!” sahut Tari penuh semangat yang menggebu, tanpa peduli perasaan Bintang.
“Ibu.” Bintang terisak ketika Ibunya menariknya mengikuti langkah pria tersebut menuju ruang VIP, tempat di mana Tuan Douglass berada.
“Diam! Selama ayahmu masih hidup dia selalu saja membuatku sengsara! Dan sekarang kamu harus membayar semuanya!” ucap Tari kejam, wajahnya juga tampak mengerikan. Dan tidak akan pernah membiarkan Bintang kabur atau menentang ucapannya.
Ruang VIP itu hanya selemparan batu dari tempatnya berdiri, namun Bintang merasa jalannya begitu jauh ketika melangkah ke arah sana.
Pikirannya kalut, harga dirinya kini hanya sebatas di balik selimut. Bukankah perempuan yang dijual selalu menjadi pelampiasan nafsu pembelinya?
Langkah mereka terhenti tepat di depan pintu ruang VIP. Pintu tersebut terbuka lebar di bawah helaian tangan wanita cantik berpakaian seksi.
Begitu pintu terbuka, Bintang melihat sosok pria matang dengan rahang yang tegas menatap ke arah. Tatapan pria itu begitu tajam, menusuk langsung ke arahnya.
Inikah tuan Douglass yang dimaksud itu?
Setelah pria itu memberikan anggukan, pria berperut buncit yang mengantar mereka itu mengutarakan tujuan kedatangannya.
Sementara itu, Bintang sejak tadi tak henti-hentinya menundukkan kepala. Kedua tangannya berusaha mengepal erat untuk menahan rasa takut yang terus menguasai benaknya.
Suasana di ruang itu begitu menghimpit, terasa mencekam dan menegangkan. Ia bahkan mampu merasakan tatapan menusuk dari Tuan Douglass yang merambat ke seluruh pori-porinya.
Bintang tampak menggoda dalam kesempurnaan, persis seperti kriteria yang selama ini dicarinya.
"Berapa?" tanya Tuan Douglass dengan suara dingin, tak menyembunyikan ketertarikannya pada Bintang.
"Satu miliar, karena dia masih perawan." Tari menjawab dengan tegas, tak menunjukkan keraguan sedikitpun.
"Kau yakin gadis ini masih perawan?" Tanya Tuan Douglass ragu, mencurigakan apa yang ditawarkan di hadapannya.
"Anda bisa membuktikannya sendiri setelah menyerahkan uang satu miliar kepadaku!" sahut Tari santai, tanpa memedulikan betapa hancurnya hati Bintang yang terpaku di sampingnya.
Bayangkan saja, perasaan Bintang bagaikan dihantam badai, menyaksikan ibu tirinya menjual dirinya kepada pria bermuka dengki dan mesum itu. Dia hampir tak bisa bernafas, saat ia sadar takdir tragis sedang menantinya.
"Aku akan memberikan setengahnya dulu!" sahut Tuan Douglass dengan nada datar namun begitu mengintimidasi. Tatapan matanya sungguh menyeramkan, membuat orang yang melihatnya merinding takut.
"Tapi, Tuan..." Ucapannya terhenti ketika Tuan Douglass menyela.
"Jika kau tidak setuju, maka kau bisa cari pria lain yang mampu membayar putrimu yang tidak cantik itu!" potong Tuan Douglass dengan nada angkuh.
Mata Tari berkedip, mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap pria di hadapannya. Setelah menimbang-nimbang, ia bertanya dengan suara gemetar, "Baik, jika dia terbukti masih perawan, apa aku boleh minta bayaran lebih dari kesepakatan?"
Seraya tersenyum sinis, Tuan Douglass menyetujui permintaan Tari tanpa ragu-ragu. Baginya, uang segitu tak lebih dari debu.
Dengan angkuh, ia menuliskan nominal 500 juta pada sebuah cek dan melemparkannya pada Tari. "Sekarang pergilah kalian berdua dari ruangan VIP ini!" perintahnya dengan dingin.
Tuan Douglass menghela napas dalam-dalam saat pintu tertutup rapat, kemudian melirik Bintang yang masih duduk termangu di sudut sofa.
Perlahan Tuan Douglass mendekati Bintang. “Siapa namamu?”
“Bi-Bintang, Om,” jawab Bintang terbata karena ketakutan.
Douglass menaikkan sebalah alisnya dan menatap kesal pada Bintang yang memanggilnya dengan sebutan ‘Om’.
Apakah ia setua itu? Padahal usianya kan baru 40 tahun. Douglass menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak mempermasalahkan nama panggilan itu.
“Usiamu?”
“22 tahun.” Bintang tak mampu menahan rasa takutnya lagi saat pria itu kini sudah berada di sampingnya.
“Aku sudah membayarmu mahal, jadi kau harus memberikan servis yang terbaik untukku!” ucap Douglass dengan nada dingin dan penuh penekanan, memperlakukan Bintang layaknya wanita malam yang sering ia temui.
"Antar dia ke ruanganku!"
"Aww!" Douglas mengaduh kesakitan sambil berusaha menangkis pukulan Bu Indah. "Hentikan, Bu, hentikan!" pinta Douglas dengan suara memohon.Bintang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menonton tanpa bisa melerai. Sebenarnya ingin melerai sih, tapi ia takut kena pukulan juga, terlebih lagi Bu Indah sangat membenci Douglas sampai ke urat nadinya. "Rasa sakit yang kamu rasakan ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang di rasakan Bintang selama ini!" Kata-Kata Bu Indah seperti belati tajam yang menusuk hati Douglas berulang kali. "Dan rasa sakit dari gagang sapu ini beberapa jam kemudian akan sembuh, sedangkan Bintang ... dia harus menanggung sakit hati dan trauma seumur hidupnya karena ulahmu, PAHAM!" sambung Bu Indah seraya membuang sapu tersebut ke lantai. Nafasnya terengah menandakan amarah masih memuncak di kepala.Douglas terdiam mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Yang dikatakannya benar, luka batin yang di derita Bintang akan sulit sirna.
Douglas memaksa dengan tatapan mengancam kepada Bintang, agar istrinya itu membawanya ke rumahnya. Dan di sinilah mereka berada, di depan rumah sederhana yang di tempati Bintang selama ini. Pintu kayu tua dan lapuk, memperlihatkan rumah kecil yang mengagetkan Douglas hingga ke tulang. Sempat terbayang dalam memori, ia pernah menjejakkan kaki di tempat ini berdasarkan laporan anak buahnya, mencari-cari keberadaan Bintang, namun malang, terlambat satu langkah dan gagal menemukan sang istri. "Jadi, selama ini kau bersembunyi di sini?" suara Douglas terdengar serak, mata tajamnya menelisik Bintang yang berdiri di sebelahnya. Bintang hanya mengangguk lemah, tanpa suara seraya menggigit bibirnya. Ketukan penyesalan berdengung di dada Douglas, merasuki setiap sudut pikirannya. 'Ah, betapa tololnya aku!' batinnya sambil mengutuk diri sendiri. Andai saja ia tahu lebih dulu bahwa Bintang telah memilih rumah sederhana ini sebagai sarang persembunyiannya, mungkin semua rasa sakit dan penan
Pitri menyodorkan laporan ke meja atasannya sambil menyelinap pandangan ke arah Bintang yang sedang sibuk membersihkan rak buku. Dalam hati, Pitri tak henti-hentinya mengagumi kegigihan Bintang yang mampu bertahan bekerja dengan sang atasan, Douglas, yang terkenal memiliki temperamen layaknya harimau. Biasanya tidak ada office girl yang mampu bertahan lama di ruangan ini, karena aura Douglas yang begitu menakutkan. "Kenapa kau masih di sini? Keluar sekarang!" seru Douglas dengan suara menggelegar kepada Pitri yang masih terpaku di depan mejanya. Pitri tersentak, seakan tersambar petir, cepat-cepat meminta maaf dan melangkah keluar dari ruangan tersebut dengan langkah buru-buru. Ketika keheningan kembali menyelimuti ruangan, Bintang menghela nafas dalam-dalam, merasakan keleluasaan sejenak setelah Pitri meninggalkan ruangan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama, hati Bintang telah dipenuhi keberanian yang meledak-ledak. "Aku mau berhenti bekerja!" ucapnya dengan tegas. "Tidak
Hawa panas menyelimuti ruangan tersebut. Beberapa pakaian berserakan di lantai. Suara decitan sofa bercampur dengan suara desahan terdengar memenuhi ruangan. Douglas bergerak mendominan di atas tubuh Bintang. Meskipun awalnya Bintang menolak dan memberontak tapi tenaganya kalah dengan Douglas. Penyatuan mereka telah usai, Douglas menyemburkan benihnya ke dalam ladang subur Bintang, berharap kalau benihnya segera bertunas subur. Douglas terdiam seraya memandang wajah Bintang yang terpejam dan penuhi keringat. Ia tersenyum puas, akhirnya ia berhasil mendapatkan dan menjerat Bintang ke dalam dekapannya. “Kau tidak bisa lagi kabur dariku, Bintang. Karena aku kembali menyirami rahimmu dengan benihku,” ucap Douglas seraya mengecup bibir Bintang tak lupa menyesapnya sebentar. Bintang menatap tajam Douglas seraya memukul pundak pria tersebut. “Kau adalah lelaki brengsek, Om!” Maki Bintang dengan pandangan kecewa dan berkaca-kaca. “Aku tidak peduli dengan makianmu! Bulan depan aku pastika
Douglas menghela nafas panjang ketika melihat Bintang sangat marah. “Kali ini aku membiarkanmu menang!” ucap Douglas pelan, terkesan lembut, jauh berbeda dengan nada bicaranya yang sebelumnya sangat dingin dan arogant.“Di mana pompa asinya?” tanya Douglas pada Bintang.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” ketus Bintang, melengoskan wajah.“Untuk saat ini sebaiknya kita jangan berdebat! Lihat bajumu basah!” Douglas menajamkan matanya pada dada Bintang.Bintang menunjuk tasnya, ia pun tidak mempunyai daya lagi untuk berdebat. Rasa sakit di bagian dadanya semakin nyeri dan menjalar pundak karena asinya yang melimpah tak kunjung dipompa.Douglas mengambil tas Bintang yang teronggok di lantai, kemudian membuka tas tersebut dan mengeluarkan pompa asi dari sana. “Sini aku bantu,” ucap Douglas begitu ringan membuat Bintang mendelikkan mata.“Aku bisa sendiri!!” tolak Bintang, seraya merebut pompa asi tersebut dari tangan suaminya. Tapi, sayangnya, Douglas bukan orang yang mudah untuk menerima p
Sudah lelah dan kesal, Bintang bergegas meninggalkan ruangan itu menuju pantry. Ia mengambil tasnya di sudut ruangan sebelum mengeluarkan pompa asi, lalu terduduk lemah di lantai sembari mulai memompa. Kesegaran terasa menembus pikirannya ketika keringat dingin di keningnya diusap, dan rasa sakit di dadanya berangsur hilang seiring tetesan demi tetesan asinya berhasil di pompa keluar. Sementara itu, Douglas, dalam kebingungan, menggenggam ponselnya—matanya melebar tak percaya saat pencarian ‘pompa asi’ di internet membawa pemahaman baru tentang apa yang dimaksud oleh Bintang. Pria bule itu, terbakar oleh kekhawatiran yang tiba-tiba, beranjak cepat mencari Bintang, diliputi rasa penasaran dan kecemasan yang menyesakkan dada. “Pitri, di mana Bintang?” seru Douglas dengan suara yang mendesak kepada sekretarisnya yang duduk di balik meja kerjanya. “Bintang? Baru saja dia berlari ke pantry, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Ataukah Bintang membuat masalah?” Pitri menjawab sambil menatap at