Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.
Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.
Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini
“Apa dia tidur?”Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m
Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe
“Apa yang kamu lakukan di Jakarta pagi-pagi?”Sekaleng cola tersaji secara kasar di hadapan pria yang tengah membuka bungkus rokoknya tanpa perlu menjawab pertanyaan gadis mungil di hadapannya.Sementara si gadis mendengus dan langsung membuka jendela flat-nya lebar-lebar sebelum tercemar oleh asap rokok dari pria yang sangat tidak beruntung menjadi kakak kandungnya.“Ada urusan.” jawab si pria dan meneguk cola di hadapannya.“Kalau maksud kamu urusan untuk minta uang adikmu, maka kamu nggak akan dapat sepeserpun.”“Tenang, dek. Mulai hari ini aku nggak akan minta uangmu buat beli minumanku lagi.” Si pria tertawa seolah gadis di sebelahnya sedang melucu. “Lagian kupikir wanita tua itu belum ngirim uang bulan ini. Apa warungnya udah bangkrut?”“Jaga bicaramu, gila!”“Apa kamu juga diajarin mengumpat sama wanita tua itu? Menyedihkan!&rdq
“Kak Morgan! Bangun!”Bianca masih mengguncangkan bahu Morgan berharap pria itu akan membuka matanya yang tertutup rapat. Tidak berguna, Bianca beralih membangunkan pria itu dengan cara menepuk pelan pipi yang terasa hangat di tangan Bianca.Bianca mengedarkan pandangannya, berharap ada seseorang yang bisa membantunya untuk membawa tubuh lemah Morgan ke dalam mobil. Namun sayangnya kawasan pemakaman itu sangat sepi dan tidak ada seorangpun yang melintas.“Ya Tuhan!” Bianca menggumam gusar. Ia menggigit bibirnya kuat, merasakan kecemasan yang memenuhi rongga dadanya. Seharusnya Bianca sadar dari awal jika Morgan bukan sekedar tidak enak badan seperti yang pria itu katakan.Drrttt drrtt!Bianca merasakan ada getaran samar di kulitnya. Ia-pun segera memastikan dan menemukan getaran itu berasal dari saku celana Morgan. Meski awalnya ragu, pada akhirnya Bianca mengambil ponsel yang menyebabkan getaran itu d
Morgan sontak terbangun dari tidur panjangnya. Dahinya dipenuhi oleh peluh dan napasnya tersengal seolah ia baru menyelesaikan lari marathon.Mimpi itu benar-benar jelas. Suara merdu, bisikan angin, dan cahaya menyilaukan itu, Morgan seolah mengalami itu di dunia nyata. Dan diantara semua itu, yang paling diingat Morgan adalah saat ia menyadari suatu hal penting yang tidak perlu diragukan lagi.Rasa cintanya, terhadap Bianca.Mencari sesuatu, Morgan mengedarkan pandangannya diseluruh penjuru kamarnya. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana, ataupun benda milik Bianca yang menandakan Bianca masih di tempat yang sama dengannya.“Bianca!”Morgan menyingkap selimutnya, menarik selang infuse yang menancap di punggung tangannya dengan kasar, sedikitpun tidak perduli dengan luka dan tetesan darah yang ditimbulkan olehnya. Yang ada di pikirannya hanyalah satu. Bianca. Jangan sampai Bianca pergi sebelum Morgan mengung
“Kamu bisa ngerasain, kan?” Bianca mengangguk pelan. “Aku mau detakan gila ini masih bisa kamu rasakan di jantung kamu juga. Karenaku …”Bianca lantas mengangguk, tidak mampu mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Semua terlalu tiba-tiba, tapi sangat melegakan hingga rasanya Bianca ingin mengingat hari ini sebagai hari paling indah untuknya.Morgan menarik Bianca dalam dekapannya. Erat, seolah tidak ingin Bianca menjauh satu jengkalpun darinya. Mengetahui Bianca masih menyimpan perasaan cinta untuknya, Morgan tidak tahu hal apa lagi yang membuatnya bisa sebahagia ini. Bianca membalas tidak kalah eratnya. Membuktikan bahwa ia menginginkan hal ini sejak lama. Mendapati Morgan membalas cintanya.“Makasih untuk tetap cinta sama pria bodoh sepertiku.”Morgan melepas pelukannya, beralih menarik tengkuk Bianca untuk menyatukan kening mereka. Saling berpandangan dalam jarak dekat, tidak peduli den
Morgan bergerak kecil sebelum matanya terbuka untuk bangun. Diliriknya jendela besar di sisi kiri, memperlihatkan langit yang sudah menggelap. Jam digital di meja nakasnya menunjukkan angka 19.02.Morgan mendudukkan tubuhnya. Tubuhnya sudah luar biasa baik, peningnya tak lagi tersisa, dan tenaganya terasa pulih setelah melewati masa penuh haru saat ia mengungkapkan perasaannya terhadap Bianca dan meluruhkan semuanya dengan tangisan bersama gadis yang kini resmi menjadi miliknya.Tadi, setelah saling menumpahkan tangisan di atas lantai dingin dapur, Bianca menarik Morgan untuk memakan makan siangnya berupa bubur ayam. Hanya 3 suapan, Morgan menyerah untuk lidahnya yang pahit. Selanjutnya gantian Morgan yang menarik Bianca untuk ke kamarnya. Membawa Bianca berbaring dan memasuki dekapannya, dengan dalih ia membutuhkan Bianca untuk menemaninya istirahat meski sejujurnya ia hanya ingin menikmati lagi detakan indah yang tercipta di jantungnya karena B