Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.
Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?
Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di puncaknya, pasti orang-orang tidak ingin membakar kulit mereka tanpa peneduh.
Terkecuali Bianca. Gadis itu menduduki bangku tersebut tanpa peduli tubuhnya yang hanya menggunakan blus lengan pendek selutut yang nanti bisa membakar kulit putihnya. Bianca mati rasa, hatinya jauh lebih menyakitkan saat ini.
Pikiran Bianca melayang tak tentu arah dan pandangannya kosong.
Tentang Morgan, pria yang berhasil mengusik hidup Bianca sejak dua bulan belakangan. Memang, sejak awal, sejak Papa dan Mama memperkenalkan Morgan di hadapan Bianca, Bianca tahu ada yang berubah dari tubuhnya. Ada desiran aneh, ada perasaan hangat, dan ketertarikan untuk selalu memandang paras rupawan pria itu. Bukan hanya karena Morgan tampan, bukan itu. Bianca tidak jarang bertemu dengan pria berwajah tampan, dan tidak ada yang sama seperti Morgan.
Bianca adalah gadis yang buta urusan percintaan di awal-awal usia remaja. Di saat teman sebayanya sudah memiliki kekasih yang tidak terhitung, Bianca belum sekalipun merasakan indahnya memiliki seorang kekasih. Dunia remajanya sibuk dengan buku-buku business management setebal balok kayu dan perpustakaan berpelitur cokelat di sudut sekolahnya. Bianca tidak menyukai keramaian, itulah yang menyebabkannya berteman dekat dengan sarang laba-laba perpustakaan, aroma khas buku pelajaran, dan mungkin lebih parah memiliki hubungan khusus dengan penjaga perpustakaan di mana mereka lebih mengenal Bianca dibanding teman Bianca sendiri. Sifatnya pendiam, hanya bicara seperlunya, mandiri, dan ia sangat tidak suka merepotkan orang lain. Terkadang karena sifatnya itu, Bianca tidak memiliki banyak teman kecuali beberapa siswi yang menginginkan bantuan Bianca dalam hal pelajaran.
Bukan karena terlalu manja, seperti kata Morgan.
Mengenai Morgan, Bianca rasa tamparan telak di pipi Morgan dari telapak tangannya adalah hal yang pantas. Pria itu tidak tahu apa pun mengenai Bianca serta dua orang yang menghidupi Bianca -Papa dan Mama- yang sebenarnya. Bianca bukanlah seperti yang berada di otak pria itu, sama sekali jauh berbeda!
Pria itu terlanjur melihat Bianca dari segi sifat, dan sangat tidak beruntungnya sifat Bianca itulah yang membuat Morgan muak dan membencinya. Tapi tidak ada suatu tindakan yang tidak disebabkan oleh suatu alasan. Tentu Bianca memiliki alasan mengapa dirinya menyembunyikan sifat aslinya di hadapan Morgan.
Karena Bianca tahu sejak awal Morgan tidak menginginkannya. Pria itu hanya menerima perjodohan karena sebuah paksaan dari orangtuanya. Berbeda dengan Bianca, Morgan berhasil memenangkan hatinya di pandangan pertama. Jika Morgan tidak menginginkan, lalu bagaimana lagi? Bianca tidak mungkin memaksa Morgan dengan memberikan pilihan antara meminum racun tikus atau menerima perjodohan itu.
Yang bisa Bianca lakukan hanyalah menutupi kesedihannya dibalik topeng keceriaan. Seperti yang Mama ajarkan tentang bagaimana bersikap manis pada pasangan.
Sudah beberapa menit Bianca melamun di bangku taman hingga menyadari sesuatu di atas kepalanya yang mampu meneduhkannya dari terpaan sinar matahari.
“Apa yang dilakuin seorang gadis di tengah hari kayak gini?” Sebuah suara dari belakang. Bianca tersentak dan otomatis memutar kepalanya. Di belakangnya berdiri seseorang dengan membawa sebuah map yang Bianca yakini sempat melindungi kepalanya barusan.
“Rafael?”
“Syukurlah aku nggak salah orang.” Rafael mengambil duduk di samping Bianca dan mengamati raut wajah Bianca di sampingnya seraya mengibaskan map ke arah wajahnya sendiri. Oh, Rafael sungguh tidak kuat terkena matahari.
“Kok kamu bisa ada di sini?” Bianca tidak tahan untuk bertanya. Setau Bianca, cafe Rafael cukup jauh dari tempatnya sekarang. Dan Bianca juga tidak menemukan jawaban kenapa Rafael bisa ke taman kota sesiang ini.
“Aku punya urusan sama kakakku di deket sini. Terus aku keliatan seseorang yang mirip sama kamu, dan ternyata memang kamu Bi.”
“Terus kamu?”
Bianca berdiam sebentar untuk mencari alasan yang tepat. Toh Bianca juga tidak tahu kenapa dia bisa berada di taman kota dan tidak pulang saja.
“Nyari udara segar.” jawab Bianca singkat.
“Bohong. Anak kecil juga tau kalau udara tengah hari nggak segar.” Rafael mendapat satu pukulan kecil di lengan akibat perkataannya yang sangat benar.
Terbekatilah kau, Rafael! Si gadis yang tadi menangis satu jam berhasil mengembangkan senyumannya.
“Kamu habis nangis?”
Bianca mengalihkan pandangannya. Berusaha mengulur waktu agar tidak menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Ya, Bianca memang menangis. Menghabiskan satu jamnya yang berharga untuk menangisi pria tak berperasaan bernama Morgan.
“Nggak. Aku cuman ... kepanasan.”
“Ck! Itu karena kamu bodoh!”
“Apa?”
Rafael meraih tangan Bianca dengan tangannya yang bebas. Menarik tangan gadis yang mulai memerah dan untunglah pemilik tangan itu tidak protes saat Rafael menariknya entah kemana.
***
Rafael berhenti dari acara tarik-menarik tangan Bianca setelah mencapai sebuah restoran yang tidak jauh dari taman kota. Pria tinggi itu mendesah lega saat tubuhnya diguyur udara dingin AC begitu masuk ke dalam restoran.
Rafael sempat mendapati tangan Bianca meremas tangannya, dan ia cukup peka untuk tahu bahwa Bianca tidak ingin masuk ke sana, entah karena apa. Jadilah mereka berdua berhenti di depan pintu kaca restoran dan terlalu banyak orang berseliweran di sana.
“Kenapa?”
“A-aku mau pulang.”
“Tapi kita baru nyampe, dan bahkan belum mencari meja. Temenin aku makan siang, ya ya?”
“Aku udah kenyang. Kamu bisa makan sendiri, kan?”
“Ck! Tenang aja, aku yang nraktir. Itung-itung buat perayaan pertemuan kita kembali.”
“Aku juga bisa mentraktirmu, tapi aku nggak mau makan di sini!”
Rafael mendecak kesal. Seharusnya ia sadar gadis ini adalah si keras kepala. “Gimana kalau aku maksa?”
“Aku juga maksa untuk pulang! Ayolah, Ran. Aku nggak akan minta kamu nganter aku, aku bisa telpon sopirku.”
“Eng-gak!” Jangan salahkan Rafael jika pria itu juga tidak suka mengalah. Matanya melihat ke wajah Bianca yang memerah. “Kamu bisa dehidrasi.”
Jadilah Bianca terpaksa menyetujui keinginan Rafael, toh dirinya memang butuh sesuatu yang menyegarkan tenggorokannya kendati tidak nafsu makan.
“Lho, Nona Bianca?”
Bianca menghentikan langkahnya, diikuti Rafael yang berada dua langkah di depan Bianca.
Bianca bertanya melalui kernyitan dahinya, merasa pernah mengenal pria maskulin berkacamata yang barusan menyapanya.
“Saya Doni, sekretaris Pak Morgan, jika Anda lupa.”
“O-oh!” Bianca ingat! Dirinya memang sempat berkenalan dengan pria itu, kalau tidak salah saat Bianca ikut Papa untuk bertemu Morgan dan pria itu juga. Tapi sayangnya Bianca tidak melihat pria itu di meja kerjanya tadi.
“Nona bisa bergabung dengan kami, kebetulan Pak Morgan juga sedang makan siang.”
Ya. Bianca tahu itu. Itulah alasan mengapa Bianca bersikeras untuk pulang pada Rafael. Agar tidak bertemu dengan pria yang beberapa jam belakangan meletakkan Bianca dalam mood paling buruk.
Melihat Morgan apalagi makan siang satu meja dengannya bukanlah ide yang bagus, Bianca memilih pergi sekalian daripada moodnya kembali hancur.
“Maaf. Tapi gadis ini sudah saya booking. Permisi!”
Untuk kali ini Bianca berterimakasih pada Rafael karena telah membawanya pergi. Kali ini Bianca tidak akan memarahi Rafael karena membawanya sesuka hati. Syukurlah, dengan demikian Bianca hanya perlu mengucapkan maaf dan membungkuk pada Doni untuk menolak. Bianca tidak peduli bagaimana tanggapan Doni mengetahui Bianca menolak makan siang dengan tunangannya sendiri yang notabene atasan Doni.
Seharusnya begitu, tapi beda lagi jika Bianca justru mencuri pandang pada Morgan yang berjarak dua meja dari tempatnya duduk. Seperti biasa, pria itu terlihat tampan luar biasa menggunakan kemeja hitam minus jas kantornya. Dan seperti biasa pula, berhasil mengoptimalkan kerja jantung Bianca berkali-kali lipat tidak peduli seberapa besarnya amarah Bianca terhadap pria itu. Amarah yang masih belum padam sepenuhnya.
“Bianca!”
Bianca tersentak saat tiba-tiba Rafael menginterupsinya. “A-apa?”
“Kamu mau pesan apa?” tanya Rafael gemas setelah tak kunjung mendapat jawaban dari Bianca. “Aku udah panggilin sampe seribu kali, tau!”
“Ck, berlebihan! Aku pesan jus tomat saja,” ucap Bianca dan segera di catat oleh waitress.
“Makanannya?”
“Nggak usah. Aku nggak lapar.”
“Oke. Aku juga nggak makan kalau begitu.”
“Apa-apaan? Kamu bilang kalau lapar jadi nyulik aku di sini.”
Rafael mengendikkan bahu dan Bianca melengos. Tanpa sengaja Bianca melempar pandangan ke Morgan, dan entah sengaja atau tidak, pria itu juga memandang ke arahnya. Bianca berpura-pura tidak memandangnya juga, meski ia setengah mati menahan debaran gila jantungnya.
Lalu Bianca tidak tahu harus bagaimana, saat pria yang sempat dibencinya itu berjalan ke arahnya lengkap dengan mata elang nan tajam ala Morgan.
“Kalau kamu nggak lupa, kita belum akhiri semuanya. Akhiri dulu, dan kamu bisa kencan sepuasmu!”
Dan Bianca merasakan harga dirinya runtuh dan mood-nya kembali turun di level terendah. Lihatlah, bagaimana pria itu dengan mudah memberi isyarat untuk mengakhiri hubungannya dengan Bianca, seolah hubungan mereka sebatas dua orang yang berkenalan di dalam bus lalu berpisah karena turun di halte berbeda.
Pria itu juga -tetap- tidak merasa bersalah sedikitpun pada Bianca dan berusaha mempertanggungjawabkan ucapannya tadi.
Morgan memang ahli dalam menyakiti perasaan Bianca.
Tapi bodohnya, kekecewaan tidak mampu menghapus perasaan cinta dalam hatinya untuk Morgan. Jantungnya dengan kurang ajarnya masih berdebar sangat cepat.
Sialan, memang.
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini