Morgan datang lebih lambat dari waktu yang telah ia janjikan untuk menjemput Bianca. Meskipun hanya lima belas menit dan Bianca tidak mempermasalahkan hal itu, tetap saja ia merasa bersalah karena harus membuat Bianca menunggunya.
Hal itu membuatnya tidak banyak bicara selama perjalanan dan Bianca hanya membiarkan Morgan fokus pada laju mobilnya hingga tak terasa mobil hitam mewah itu telah sampai di depan rumah minimalis berwarna putih salju milik keluarga Reynald.
“Kita sampai.” Morgan mematikan mesin mobilnya dan keluar, sementara Bianca ikut keluar dan berdiri di samping lelaki itu.
“Kak,” sela Bianca membuat langkah Morgan terhenti. Lelaki itu diam saja saat Bianca membebaskan jemarinya, mengangkat dua jari telunjuk untuk dibawa ke setiap sudut bibirnya dan menariknya saling menjauh. Membentuk sebuah senyuman yang dipaksakan.
“Kamu nakutin kalau diem dan cemberut,” ujar Bianca tersenyum membu
Suasana kantor masih terlalu sepi di pukul enam pagi seperti ini. Embun masih menggantung di jendela kaca besar yang menghadap hiruk pikuk kota Jakarta yang tidak pernah sepi. Belum ada suara kehidupan selain suara Cleaning Service yang membersihkan setiap sudut ruangan sebelum karyawan kantor mulai berdatangan untuk aktivitas hari ini.Tap ... tap ... tap ...Langkah seorang pria menggema di sebuah gedung berlantai tiga itu. Ia berjalan ke arah suara Cleaning Service itu, dan menemukan seorang pria seumuran dengannya baru mengunci pintu Ruang Divisi Pemasaran. Pria itu tersentak kaget akan kedatangannya.“Oh, s-selamat pagi Pak Candra.”Petugas CS itupun membungkuk hormat kepada salah satu petinggi perusahaan itu. Di hatinya tersimpan pertanyaan mengapa pria itu datang sepagi ini di kantor. Tidak biasanya.“Beri aku kunci ruangan Presdir!” perintah Pak Candra dengan nada angkuhnya.“M-maa
“K–Kak ...”“Aku dapet paket itu kemarin. Jessica merancang khusus gaun itu buat kamu.”“Jessica?”Percayalah, Bianca tidak asing dengan nama itu. Dulu Mama memang sering membicarakan nama itu, meskipun Bianca tidak yakin ia adalah orang yang sama.“Ya. Wanita yang merancang gaun saat pertunangan kita dulu.” Mata rusanya kembali terpaku pada gaun itu dan ia tergoda untuk melihat gaun itu lebih detail dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.“Cantik sekali.” Bianca berpaling pada Morgan dan Morgan membalasnya dengan senyuman bangga. Bangga telah berhasil menerbitkan senyum bahagia Bianca dengan begitu indahnya.“Benar. Jessica sangat pandai merancang baju yang cocok buat kamu.”Itu adalah kalimat pujian untuk gadis lain tetapi Bianca tidak sedikitpun cemburu, ia justru membenarkannya. “Aku tidak sabar ngeliat kamu pake gaun itu enam ha
Morgan kembali duduk di sofanya setelah mempersilakan Maudy duduk juga, dan ia melirik singkat ke arah Pak Anwar. Pria paruh baya itu tidak mengucapkan sepatah kata-pun. Ia sendiri juga tidak tahu tentang apa yang terjadi dengan adik mendiang Presdir-nya dan ia tidak ingin berkomentar karena itu bukanlah urusannya.“Baiklah, saya akan membacanya.” Ketiga orang lainnya terdiam, mempersiapkan diri untuk mengetahui keputusan Pak Adnan. “Aku, Adnan Hardianto , menulis surat wasiat ini tanpa paksaan dan ancaman dari pihak manapun. Menyatakan bahwa aku akan memberikan seluruh saham perusahaan atas namaku kepada putriku, Bianca Putri Hardianto. Dengan kata lain, aku mempercayakan putriku yang memimpin perusahaan Prima Growth Company dan tidak menginginkan siapa pun menggantikannya dengan alasan apa pun. Sementara Adian Putra Hardianto, putraku akan meneruskan kepemimpinan Prima Growth Company di masa depan.”“Dan untuk adik
Hari masih terbilang pagi saat sebuah tempat sudah ramai dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Puluhan orang di sana sudah stand by untuk mengerjakan apa yang sudah menjadi tugasnya, menyiapkan satu per satu hal yang diperlukan dengan rinci dan berharap tidak ada yang cacat sedikitpun. Ada cacat sedikit saja, maka bisa dipastikan mereka akan menerima konsekuensi pemotongan gaji atau bahkan lebih parahnya kehilangan pekerjaan. Dan tidak ada satupun yang mengharapkan hal itu terjadi.Jika diluar dipenuhi kesibukan, maka ada satu ruangan yang terbilang sunyi. Hanya ada satu sosok yang kini tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar, memperlihatkan tubuh mungilnya yang dibalut dengan gaun pernikahan yang anggun dan sangat mewah.Bianca, adalah gadis itu. Gadis yang tak lama lagi melepas masa lajangnya demi menjadi pendamping hidup lelaki yang dicintainya, Morgan.Berdiri merasakan kegugupan dan kebahagiaan di detik ini sama sekali tidak d
Sekali lagi, Morgan mengusap bulir-bulir keringat di pelipisnya. Kegugupan membuat keringat dingin berlomba-lomba keluar dari lapisan kulitnya. Wajah boleh saja datar, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana gugupnya Morgan menjelang moment paling bersejarah dihidupnya kecuali sang sahabat karib. Hal itu yang membuat Reynald dan Vyan terkikik geli di sebuah bangku panjang yang mereka bagi bersama pasangan masing-masing. Bangku yang terletak di barisan nomor dua dari depan.“Lihat Morgan. Kayaknya dia bakal mati gugup kalau harus nunggu lebih lama lagi.”Ucapan Reynald membuat Vyan terkikik geli. “Lo bahkan dulu lebih gugup dari itu.” ejeknya.“Eyy enak aja! Wajar bukan kalau pengantin pria gugup setengah mati? Ck, itu karena lo belum pernah ngerasain.”“Memang gimana rasanya nunggu di sana?”“Lebih ngeri daripada nunggu pasien nenek-nenek sadar habis operasi.”Se
Vyan menggenggam erat tangan mungil Karen yang dingin. Keduanya tengah berjalan santai, menikmati kerlipan lampu dari kejauhan dan suasana tenang sekitar taman.Ya, setelah menghadiri pernikahan Morgan dan Bianca di gereja, Karen meminta mampir ke taman kota lebih dulu. Awalnya Vyan tidak setuju, karena ia tahu Karen kelelahan setelah ia bekerja dan izin pulang ketika akan berangkat. Awalnya Vyan menolak karena tahu kekasihnya perlu istirahat, tapi Karen selalu memiliki cara untuk memaksa Vyan memenuhi keinginannya. Dengan sebuah perjanjian kalau hanya jalan-jalan sebentar, jadilah mereka di sini sekarang.“Bee,”“Hm?”“Kapan terakhir kali kita kencan?” tanya Vyan membuat Karen menatap langit untuk berpikir.“Nggak tahu. Kita terlalu sibuk kerja sampai nggak kepikiran buat kencan.”Vyan mengangguk. Walaupun sebenarnya ia sedikit tidak menyetujui bahwa mereka berdua terlal
[FLASHBACK]2 hari yang lalu …Hujan mengguyur tepat saat Karen keluar dari restoran tempat kerjanya sore itu. Padahal langit masih cerah beberapa menit yang lalu, namun entah kenapa justru hujan deras yang menyambut Karen untuk pulang.“Apa Goblin lagi bersedih?” gumam Karen sambil mengeluarkan sebuah payung lipat dari tasnya. Ia menggunakan payung itu dan mulai berjalan menembus hujan agar ia cepat sampai di halte bus. Hujan yang deras membuat Karen harus sedikit merundukkan kepala, dan …BRAK!“Akh!”Karen mengeluh untuk tubuhnya yang tertabrak bahu seseorang dan membuatnya harus terjatuh di atas jalan yang basah. Karen ingin mengumpat, terlebih tubuhnya tidak lagi terlindungi payung karena payung itu terlempar cukup jauh setelah Karen terkejut.“M-maaf. Maafkan saya.”Namun Karen tidak jadi mengumpat. Karena selain seseorang yang menabraknya adalah seo
Hari ini adalah hari pertama Morgan kembali bekerja setelah seminggu melimpahkan semua pekerjaan kantornya kepada Doni. Sebagai sosok direktur yang bertanggung jawab, Morgan tentu tidak akan membiarkan sekretarisnya pusing lebih lama lagi. Lagipula sebaik apa pun kinerja Doni, Morgan tetap saja dibutuhkan untuk mendatangani berbagai kontrak kerja sama ataupun laporan bawahannya serta memimpin rapat.Lelaki itu mengambil jas dan dasi dari dalam lemari sebelum meluncur ke dapur untuk menyapa istrinya, Bianca, yang kini berusaha total menjadi istri impian. Sebenarnya Morgan tidak masalah jika Bianca bangun di waktu yang sama dengannya dan membiarkan pelayan menyiapkan sarapan, namun dengan tegas Bianca menolak. Bianca menolak dengan alasan ia ingin menjadi istri yang mandiri. Meskipun tidak lepas dari bantuan pelayan, setidaknya Bianca tidak hanya memerintah dan ikut terjun di dapur.“Selamat Pagi!” sapa Morgan seraya melingkarkan tangan