Pukul lima sore yang sudah gelap. Mendung menggantung di langit namun rintikan hujan belum terlihat.
Sebuah mobil berhenti di pekarangan rumah Keluarga Bianca yang luas. Sepuluh detik kemudian, seseorang muncul dari dalam mobil seraya menggenggam ponselnya. Morgan, yang menganggap dirinya bukan tamu yang harus menekan bel rumah demi dibukakan pintu utama, langsung memasuki rumah besar itu.
Sudah lama Morgan tidak datang kemari, mungkin dua atau tingga minggu yang lalu? Yang jelas sebelum hubungannya dan Bianca membaik seperti sekarang.
Morgan sudah melewatkan waktu bertemu Bianca, bahkan tidak sempat menjemput Bianca dari kampusnya. Lebih tepat, Morgan tidak tahu kapan urusan Bianca akan berakhir sedangkan saat Morgan bertanya, ternyata Bianca sudah di rumahnya dan pulang menaiki bus.
Morgan sedikit kesal, bagaimanapun ia berjanji untuk menjemput Bianca sementara gadis itu menyelesaikan urusannya. Namun ternyata, Bianca malah pulang
Morgan menuruni tangga seraya sibuk dengan ponselnya. Besok ia sudah mulai bekerja dan sekretarisnya –Doni- sudah membawa beberapa file dan laptop kerjanya tadi, saat Morgan menyuruhnya mengambil pakaian ganti.“Lo masih di apartment gue?”Morgan berbicara di telepon, dan pria tinggi bernama Vyan adalah lawan bicaranya.“ ...”“Lo bisa nginep di sana. Gue nggak bisa pulang malam ini.”“ ...”“Hm. Bianca sakit. Gue nggak tega ninggalin dia sendirian. Well, walaupun ada pelayan tapi mereka nggak mungkin jagain Bianca sepanjang malam.”“ ...”“Ya. Gue yang minta tolong Doni buat ngambil pakaian termasuk setelan kantor.”“ ...”“Oke. Gue tutup.”Klik!Morgan meletakkan ponsel ke dalam saku celananya. Kini ia tengah duduk di sofa, menghampiri laptop dan beberapa file yan
“Ayo kita menikah!”Bianca membeku dalam sekejab. Mata rusanya yang masih memerah akibat demam, berpendar lurus di mata tajam Morgan. Mencari celah canda di sana dan -sayangnya- ia tidak menemukannya di paras tampan itu.Apa Morgan sedang dalam mode serius?Atau, Bianca yang salah dengar? Ia sedang sakit dan kemungkinan besar inderanya tidak berfungsi dengan baik untuk mencerna ucapan Morgan. Mungkin Morgan mengajak Bianca untuk 'tidur' bukan 'menikah' seperti yang Bianca dengar. Ya, mungkin seperti itu.“S-sepertinya aku salah dengar.”“Aku serius, Bi. Aku mau menikah denganmu. Dan kamu nggak salah dengar.”Dan di saat Bianca tengah bingung dengan isi pikirannya, maka Morgan seolah menyiram bensin dalam bara api. Pria itu memperjelas lagi, menunjukkan bahwa dirinya tidak salah minum obat ataupun mabuk atau Bianca yang salah dengar.Nyatanya Bianca sama sekali tidak salah deng
Bianca kembali tenang dan tidak menggigil separah tadi, setidaknya dalam waktu dua puluh menit. Tepat ketika Morgan memutuskan untuk kembali terlelap, Bianca kembali bergerak dan menggulung tubuhnya lebih parah. Detik itu juga Morgan tidak merasakan kantuk ataupun keinginan untuk istirahat sama sekali.“Bianca ... katakan padaku mana yang sakit?” tanya Morgan dalam keadaan cemas bukan main. Sungguh, kalau saja Bianca tidak memohon dan memelas dengan wajah sayunya untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit, mungkin Morgan akan nekat mengendarai mobil ke Rumah Sakit sendiri dan membiarkan Bianca mendapatkan perawatan intensif di sana.“D-dingin ...”Morgan mendekatkan tubuh Bianca padanya lebih dekat, bahkan nyaris menempel. Mencoba mengalirkan kalor tubuhnya ke tubuh Bianca yang masih mengeluh kedinginan. Tak lama Bianca kembali tenang. Morgan mengelus lembut punggung gadis itu dan memastikan jika Bianca mendapatkan tidur
“Ada apa?” tanya Morgan setelah pintu benar-benar tertutup dan ia menghampiri meja kerjanya. Muncul rasa penasaran pada Morgan saat melihat raut berbeda Doni.“Saya mendapat informasi mengenai Prima Growth Company.” Raut Morgan menegang saat nama itu disebut.“Pengalihan jabatan Presiden Direktur akan dilakukan dalam waktu dekat mengingat jabatan tertinggi itu kosong hampir satu bulan lamanya. Kandidat Presiden Direktur yang terkuat sejauh ini adalah Pak Candra yang merupakan Wakil Presiden Direktur, akan tetapi pengangkatan beliau masih menjadi perdebatan dewan direksi.”“Kenapa?” tanya Morgan.Otomatis di otak Morgan tersirat bayangan ekspresi sedih Bianca mengingat gadis itu sangat menentang nama Pak Candra menjadi pengganti ayahnya. Meski Morgan belum berhasil menebak kenapa gadisnya sangat membenci pria yang menjadi pamannya itu.“Alasan pertama karena beliau tidak me
“Mereka kangen kamu, kak. Tiap Mama datang ke rumah, beliau selalu nanyain kamu. Nanya kabar kamu ke aku, apa kamu makan teratur, apa pekerjaan kamu lancar, dan apa kamu sangat sibuk sampai nggak pernah hubungin mereka? Mama juga bilang kalau Papa selalu nungguin kedatangan kakak di rumah.”Satu tetes air mata sukses meluncur membasahi pipi kiri Bianca yang tersapu oleh bedak tipis. Namun Bianca tidak menyisakan tempat di pikirannya untuk memikirkan hal itu.“Bagaimana bisa … bagaimana bisa kamu anggep mereka nggak ada sementara aku sangat ingin kayak kamu? Hidup sama orangtua yang masih bisa kulihat setiap hari tanpa harus ngerasain kangen.”Morgan membeku begitupun otaknya. Ia tidak tahu harus bagaimana sementara hatinya seperti ditikam dengan pisau tajam.Rasa bersalah menggerogoti hati Morgan tanpa ampun. Rasa bersalah kepada Papa dan Mamanya, dan rasa bersalah pada sosok gadis tegar yang lagi-lagi
Tiba-tiba Bianca merasa sentimental. Entahlah, semula ia sangat bahagia melihat kebahagiaan terpancar di sekitarnya. Namun tanpa bisa dicegah, kerinduan itu muncul ke permukaan hatinya, hingga tanpa sadar menggigit bibirnya untuk meredam tangis yang bisa menghancurkan suasana hangat itu. Bianca merindukan Papa dan Mama. Duduk di kursi makan bersama Adian, berdoa, dan menikmati makan malam dengan penuh canda dan keceriaan. Suatu ketika sang Mama memarahi Adian karena nilainya yang menurun, ketika sang Papa akan membela Adian setelahnya, dan ketika Bianca hanya mengejek adik lelakinya dengan leletan lidah. Hal sederhana itulah yang membuat Bianca lagi-lagi teringat keluarga utuhnya dulu. Meskipun ia telah dianggap sebagai anggota keluarga Morgan, tapi tetap saja, tidak ada yang mampu menggantikan kehangatan keluarganya sendiri, di mana Bianca dilahirkan dan dibesarkan dalam waktu dua puluh tahun ini. “Sudah! Sudah! Jangan bahas itu lagi!
Morgan keluar dari ruang kerja Ayahnya dan langsung menuju ruang tengah. Tetapi Bianca tidak ada disana dan Mamanya-pun entah kemana. Sepi, Morgan mencari ke ruang utama juga nihil. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana.“Bianca!” panggilnya mengitari lantai dasar rumahnya yang cukup luas. Kesunyian membuat suaranya memantul dan tidak ada sahutan dari Bianca.“Mas Morgan,” Seorang pelayan memanggil Morgan, dan Morgan langsung menanyakan keberadaan kekasihnya.“Di mana Bianca?”“Ada di kamarnya Mas. Nyonya juga berada di sana. Beliau minta saya untuk memberitahu Mas Morgan.”“Oke.”Pelayan itu berlalu pergi dan Morgan juga melangkah cepat menuju kamarnya di lantai dua. Ia tidak sabar untuk melihat kondisi Bianca lebih jelas. Apakah tadi Bianca benar-benar habis menangis? Lantas apa alasannya? Morgan mempercepat langkahnya dan akhirnya tiba di depan pintu
“Menikah denganku?”Deja vu. Bianca merasa pernah mengalami situasi ini beberapa waktu lalu setelah Morgan mengucapkan kata terakhirnya. Sudah dua kali Morgan menyatakan hal serupa, dan dua kali pula Bianca menganggap ini adalah mimpi. Mimpi tentang dirinya yang akan menikah dengan seseorang yang Bianca idamkan dan cintai.Tidak ada kata yang terucap dari bibir berlekuk itu. Semula Bianca kehilangan seluruh oksigennya dan kini pita suaranya yang lenyap entah kemana. Sementara mata rusa bening miliknya tidak berkedip, tetap menjurus pada bola mata pemuda yang baru saja melamarnya.Sekali lagi, melamar Bianca di pagi yang cerah dan detakan jarum jam mendekati angka delapan. Dengan lamaran yang tak pernah direncanakan sebelumnya.“Aku belum siapin cincin sebelumnya. Maaf.” Tidak ada senyum untuk membalas senyuman tipis Morgan. “Aku hanya nggak bisa nunggu lebih kama lagi buat milikin kamu. Milikin kamu seb