Share

03. Wanna see her again

Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap. 

 

Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang. 

"Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata.

Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan. 

"Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya. 

"Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yusi. 

Juna menenteng tasnya dengan pandang yang mengitari area di depan televisi. Ia juga baru sadar tempat tinggalnya tak begitu acak-acakan.  Pemuda itu nampak berpikir mencari penyebabnya. "Oh, anak-anak jarang main ke sini. Pada sibuk," jelasnya. 

Well, akar perkapalpecahan indekos Juna tidak lain dan tidak bukan adalah empat manusia yang bertemu beberapa jam lalu—yang dengan senang hati menggibahkan Arjuna. Sekadar main game, makan bersama, ataupun tidur, tempat Juna memang terfavorit. Ruang yang luas, tak ada jam malam, dan pintu gerbang indekos itu pun selalu terbuka untuk para tamu. 

"Gue mau mandi, kalau mau minum ambil sendiri ya," kata Juna.

"Mau ngabisin isi kulkas lo juga gue ambil sendiri. Sana, keburu tambah bau kamar lo," Yusi kini sudah menjatuhkan diri di atas satu-satunya sofa di depan televisi. 

"Terserah sih, yang penting kamar gue nanti beres, hehe," Juna mengalungkan handuk seraya menampilkan geliginya. Sebelum kena lemparan apapun itu, ia segera berlari kecil ke kamar mandi. Juga untuk menghindari tatapan garang dari Yusi.

"Gue bukan babu lo, please!" Kalimat itu pun dikatakan Yusi dengan sedikit berteriak. Lalu ia bangkit dan akan mulai bekerja. Tunggu, bekerja? Bahkan ia tidak dibayar. Bakti sosial itu namanya.

-: ✤ :-

Jarum di tengah jam dinding hampir menyentuh angka sebelas. Selesai berkutat di kamar mandi, Juna keluar. Beberapa langkah kemudian wangi melon pengharum ruangan masuk ke rongga penciumannya. Semakin ia melangkah maju, pandangnya nyaman sekali melihat benda-benda di indekos sudah rapi. 

Meski cerobohnya minta ampun, sekali berbenah Yusi masuk kategori mahir. Kadang terlihat macam istri idaman, jika tingkah dan ucapannya lebih, lebih, dan lebih kalem. 

Ah, terlalu muda untuk bicara perihal itu. 

Ketika tapak suku Juna tiba di area TV, ia tangkap presensi gamblang sosok Yusi. Belum pergi rupanya. Malahan dengan santai ia memainkan ponsel sembari bersandar di bahu sofa. Sementara rahangnya bergerak teratur untuk mengunyah sesuatu. 

"Nggak pulang lo?" tanya Juna sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ia juga menjatuhkan diri di tempat yang sama dengan gadis itu. 

Dari layar ponsel, sekejap Yusi memindah tatapan pada jam bulat di dinding. Padahal, ada juga keterangan waktu di ponsel. Entah bagaimana maksud hatinya. Kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah? Kadang kalimat itu berlaku untuk beberapa orang tanpa sadar. 

"Bentar," balas gadis itu singkat. Sepertinya isi dari elektronik pipih kecil lebih menarik. 

Juna meraih remot TV, berniat menyalakan layar hitam itu. Meski tidak terlalu ingin menonton acara yang ada, anggaplah untuk mengusir sepi saja. Usai menampilkan gambar dan suara, Juna hendak bangun dari posisi duduk. Kerongkongannya meronta ingin seteguk air hangat. Tetapi manuvernya kalah cepat dengan gadis di sisinya. 

"Why? Why?" Seketika Juna bertanya dengan manik yang melebar. Tentu saja terkejut dengan Yusi yang tiba-tiba bangkit berdiri. 

Gadis itu menatap ponsel dan Juna bergantian. Satu telapak tangan sedari tadi menutup mulutnya yang menganga. "Yasa pulang!" 

Jika dikira Yusi bersuka ria atas kabar kepulangan saudara kembarnya, itu tidak tepat. Yang ada malah raut keruh yang meluruh bersamaan dengan tubuhnya kembali ke sofa. 

"Ya baguslah, kenapa emang?" sahut Juna. Niatnya mencari air tertunda, mungkin jadi lupa karena ulah si pemudi itu.

"Ish, gue nggak bisa jadi anak tunggal lagi. Ah, lo nggak tahu sih nggak enaknya jadi anak kedua."

'Dan lo juga nggak tahu nggak enaknya jadi anak tunggal 20 tahun.'

Juna membatin sembari menatap Yusi. Kini didapatinya mulut gadis itu sedang komat-kamit menggerutu. Jika ia menyanggah ucapan Yusi dengan apa yang ada dalam benak, mungkin akan terselenggara debat yang tak terlihat ujungnya. Lantas ia memilih diam dan mengalihkan pandang ke televisi. 

"Gimana kabar dia?" ucap Juna. Basa-basi. Walaupun tidak putuh kontak, tapi dia jarang juga bertukar balon percakapan. Alasan klise: sama-sama sibuk dengan perkuliahan dan antek-anteknya. 

"Nggak tahu, udah gue block."

Sontak si adam menolehkan kepala pada Yusi. Perempuan itu, astaga...

"Pulang sana, temuin kakak lo."

"Nggak ada sebutan kakak adik antara gue dan Yasa, camkan!" Yusi langsung menyahut demikian. 

Perasaan, seingat Juna dulu kembar-kembar nakal itu tidak se-kemusuhan ini. Dari luar memang nampak bagaikan sibling goals tapi silat lidah berlaku setiap saat. Dan seringkali Juna jadi penengahnya. Namun, biasanya juga akur lagi. Entah sogokan dari salah satunya, atau... ya, itu saja. 

"Gue pulang dulu deh."

Nah, kan... Sudah dapat iming-iming itu pasti. 

Yusi bangkit usai membuka blokiran pada kontak Yasa. Niatnya mau menyumpahi lagi sebab ada umpatan yang tertinggal di tenggorokan, tetapi yang ia dapat malah gambar apple cinnamon waffles dan boba. Air keruh di wajahnya pun semacam terkena cahaya terang yang mencerahkan. Ia lantas meraih tas dan mengucap pamit pada Juna. 

"Bentar," cegah si adam. Ia  juga berdiri lalu pergi ke arah kamar. Tak lama Juna keluar dengan mengenakan jaket. Sementara drawstring kelabunya sudah terbalut sejak selesai mandi tadi. 

"Mau kemana lo?" tanya Yusi. 

"Nganter lo," balas lelaki itu seraya mengaitkan ret yang terpisah.

"No no, gua bisa sendiri, lima langkah juga sampai," Yusi menolak apa yang akan Juna lakukan. Ia lalu berjalan ke arah pintu keluar untuk memakai sepatunya. Tak lupa juga dengan beberapa buku yang ia bawa sejak pulang dari kampus tadi. 

"Serius?" Si adam mengekor ke dekat pintu. Mengamati Yusi yang kini sudah berdiri. 

"Iya, lo istirahat aja."

"Thanks udah beresin rumah," ucap Juna. 

"Anjir lo nggak biasanya ngomong gitu. Jangan baik-baik ah, cringe tau," kata Yusi sembari membuka pintu. "Gue pulang."

Juna mengangguk lalu melihat presensi Yusi yang hilang tertelan papan di depannya. Lelaki itu kemudian berbalik untuk kembali ke dalam Tapi pandangnya mendapati tempat sampah yang penuh bungkus bubblegum merah muda.

"Sialan si Yusi, permen karet gue..."

Ya, begitulah teman. Enggan peduli lagi, Juna pun mengarahkan langkah menuju ranjang. Ia menjatuhkan tubuh ke tempat tidur sekenanya. Meraih ponsel di dekat bantal dan memeriksa notifikasi yang ada. Tidak banyak yang penting selain diskusi tugas di grup kelas. Masih malas membuka ruang chat, Juna letakkan lagi ponsel itu. 

Kedua maniknya lurus ke langit-langit. Refleksi hari ini, cukup panjang juga. Bahkan ada noktah baru yang membawa aura berbeda. Warna lilac, dia masih ingat. Dan Juna kembali mengarahkan layar handphone di depan mata. Menelusuri kontak yang mungkin akan dia jadikan penuntun. Meski tidak 100% yakin. 

Juna :

Gue pengen ketemu dia lagi, help! |

Send. 

»»-----  ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status