Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap.
Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang."Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata.
Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan.
"Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya.
"Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yusi.
Juna menenteng tasnya dengan pandang yang mengitari area di depan televisi. Ia juga baru sadar tempat tinggalnya tak begitu acak-acakan. Pemuda itu nampak berpikir mencari penyebabnya. "Oh, anak-anak jarang main ke sini. Pada sibuk," jelasnya.
Well, akar perkapalpecahan indekos Juna tidak lain dan tidak bukan adalah empat manusia yang bertemu beberapa jam lalu—yang dengan senang hati menggibahkan Arjuna. Sekadar main game, makan bersama, ataupun tidur, tempat Juna memang terfavorit. Ruang yang luas, tak ada jam malam, dan pintu gerbang indekos itu pun selalu terbuka untuk para tamu.
"Gue mau mandi, kalau mau minum ambil sendiri ya," kata Juna.
"Mau ngabisin isi kulkas lo juga gue ambil sendiri. Sana, keburu tambah bau kamar lo," Yusi kini sudah menjatuhkan diri di atas satu-satunya sofa di depan televisi.
"Terserah sih, yang penting kamar gue nanti beres, hehe," Juna mengalungkan handuk seraya menampilkan geliginya. Sebelum kena lemparan apapun itu, ia segera berlari kecil ke kamar mandi. Juga untuk menghindari tatapan garang dari Yusi.
"Gue bukan babu lo, please!" Kalimat itu pun dikatakan Yusi dengan sedikit berteriak. Lalu ia bangkit dan akan mulai bekerja. Tunggu, bekerja? Bahkan ia tidak dibayar. Bakti sosial itu namanya.
-: ✤ :-Jarum di tengah jam dinding hampir menyentuh angka sebelas. Selesai berkutat di kamar mandi, Juna keluar. Beberapa langkah kemudian wangi melon pengharum ruangan masuk ke rongga penciumannya. Semakin ia melangkah maju, pandangnya nyaman sekali melihat benda-benda di indekos sudah rapi.Meski cerobohnya minta ampun, sekali berbenah Yusi masuk kategori mahir. Kadang terlihat macam istri idaman, jika tingkah dan ucapannya lebih, lebih, dan lebih kalem.
Ah, terlalu muda untuk bicara perihal itu.
Ketika tapak suku Juna tiba di area TV, ia tangkap presensi gamblang sosok Yusi. Belum pergi rupanya. Malahan dengan santai ia memainkan ponsel sembari bersandar di bahu sofa. Sementara rahangnya bergerak teratur untuk mengunyah sesuatu.
"Nggak pulang lo?" tanya Juna sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ia juga menjatuhkan diri di tempat yang sama dengan gadis itu.
Dari layar ponsel, sekejap Yusi memindah tatapan pada jam bulat di dinding. Padahal, ada juga keterangan waktu di ponsel. Entah bagaimana maksud hatinya. Kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah? Kadang kalimat itu berlaku untuk beberapa orang tanpa sadar.
"Bentar," balas gadis itu singkat. Sepertinya isi dari elektronik pipih kecil lebih menarik.
Juna meraih remot TV, berniat menyalakan layar hitam itu. Meski tidak terlalu ingin menonton acara yang ada, anggaplah untuk mengusir sepi saja. Usai menampilkan gambar dan suara, Juna hendak bangun dari posisi duduk. Kerongkongannya meronta ingin seteguk air hangat. Tetapi manuvernya kalah cepat dengan gadis di sisinya.
"Why? Why?" Seketika Juna bertanya dengan manik yang melebar. Tentu saja terkejut dengan Yusi yang tiba-tiba bangkit berdiri.
Gadis itu menatap ponsel dan Juna bergantian. Satu telapak tangan sedari tadi menutup mulutnya yang menganga. "Yasa pulang!"
Jika dikira Yusi bersuka ria atas kabar kepulangan saudara kembarnya, itu tidak tepat. Yang ada malah raut keruh yang meluruh bersamaan dengan tubuhnya kembali ke sofa.
"Ya baguslah, kenapa emang?" sahut Juna. Niatnya mencari air tertunda, mungkin jadi lupa karena ulah si pemudi itu.
"Ish, gue nggak bisa jadi anak tunggal lagi. Ah, lo nggak tahu sih nggak enaknya jadi anak kedua."
'Dan lo juga nggak tahu nggak enaknya jadi anak tunggal 20 tahun.'
Juna membatin sembari menatap Yusi. Kini didapatinya mulut gadis itu sedang komat-kamit menggerutu. Jika ia menyanggah ucapan Yusi dengan apa yang ada dalam benak, mungkin akan terselenggara debat yang tak terlihat ujungnya. Lantas ia memilih diam dan mengalihkan pandang ke televisi.
"Gimana kabar dia?" ucap Juna. Basa-basi. Walaupun tidak putuh kontak, tapi dia jarang juga bertukar balon percakapan. Alasan klise: sama-sama sibuk dengan perkuliahan dan antek-anteknya.
"Nggak tahu, udah gue block."
Sontak si adam menolehkan kepala pada Yusi. Perempuan itu, astaga...
"Pulang sana, temuin kakak lo."
"Nggak ada sebutan kakak adik antara gue dan Yasa, camkan!" Yusi langsung menyahut demikian.
Perasaan, seingat Juna dulu kembar-kembar nakal itu tidak se-kemusuhan ini. Dari luar memang nampak bagaikan sibling goals tapi silat lidah berlaku setiap saat. Dan seringkali Juna jadi penengahnya. Namun, biasanya juga akur lagi. Entah sogokan dari salah satunya, atau... ya, itu saja.
"Gue pulang dulu deh."
Nah, kan... Sudah dapat iming-iming itu pasti.
Yusi bangkit usai membuka blokiran pada kontak Yasa. Niatnya mau menyumpahi lagi sebab ada umpatan yang tertinggal di tenggorokan, tetapi yang ia dapat malah gambar apple cinnamon waffles dan boba. Air keruh di wajahnya pun semacam terkena cahaya terang yang mencerahkan. Ia lantas meraih tas dan mengucap pamit pada Juna.
"Bentar," cegah si adam. Ia juga berdiri lalu pergi ke arah kamar. Tak lama Juna keluar dengan mengenakan jaket. Sementara drawstring kelabunya sudah terbalut sejak selesai mandi tadi.
"Mau kemana lo?" tanya Yusi.
"Nganter lo," balas lelaki itu seraya mengaitkan ret yang terpisah.
"No no, gua bisa sendiri, lima langkah juga sampai," Yusi menolak apa yang akan Juna lakukan. Ia lalu berjalan ke arah pintu keluar untuk memakai sepatunya. Tak lupa juga dengan beberapa buku yang ia bawa sejak pulang dari kampus tadi.
"Serius?" Si adam mengekor ke dekat pintu. Mengamati Yusi yang kini sudah berdiri.
"Iya, lo istirahat aja."
"Thanks udah beresin rumah," ucap Juna.
"Anjir lo nggak biasanya ngomong gitu. Jangan baik-baik ah, cringe tau," kata Yusi sembari membuka pintu. "Gue pulang."
Juna mengangguk lalu melihat presensi Yusi yang hilang tertelan papan di depannya. Lelaki itu kemudian berbalik untuk kembali ke dalam Tapi pandangnya mendapati tempat sampah yang penuh bungkus bubblegum merah muda.
"Sialan si Yusi, permen karet gue..."
Ya, begitulah teman. Enggan peduli lagi, Juna pun mengarahkan langkah menuju ranjang. Ia menjatuhkan tubuh ke tempat tidur sekenanya. Meraih ponsel di dekat bantal dan memeriksa notifikasi yang ada. Tidak banyak yang penting selain diskusi tugas di grup kelas. Masih malas membuka ruang chat, Juna letakkan lagi ponsel itu.
Kedua maniknya lurus ke langit-langit. Refleksi hari ini, cukup panjang juga. Bahkan ada noktah baru yang membawa aura berbeda. Warna lilac, dia masih ingat. Dan Juna kembali mengarahkan layar handphone di depan mata. Menelusuri kontak yang mungkin akan dia jadikan penuntun. Meski tidak 100% yakin.
Juna :
Gue pengen ketemu dia lagi, help! |Send.
»»----- ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin."Lo beneran suka dia?" "Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.
'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak
❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded| Kill me, please! → Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat
"Aaa!!!"Sepertinya pengelola theme park harus menambahkan satu manusia sungguhan yang berperan dalam rumah hantunya. Untuk lowongan itu Sena sudah memenuhi kriteria sebagai aktor utama. Bagimana tidak? Sejak memasuki wahana Adu Nyali dua menit lalu, suara teriakkannya mengalahkan pekikan audio yang diputar dalam ruang sempit nan panjang itu. Berjalan di tengah, teman-teman yang ada di depan dan belakangnya seringkali menggerutu karena terkejut dengan ulah Sena. Sementara Lila yang sedari tadi dicengkeram lengannya hanya sesekali mengumbar tawa. "Gue lebih takut teriakan lo daripada suara hantu di sini, anjir," gerutu Yasa yang memimpin perjalanan bersama Yusi. Ia melirik singkat pada Sena sebelum kembali fokus untuk jalan. "Dandanin dikit aja lo bisa lah kerja di sini. Gue yakin bakal lebih nyeremin daripada zomb—TUH! TUH! TUH KAN MUNCUL LAGI!" Niat Banu mau ikut mencerca Sena, tapi ia sendiri juga terkejut sebab ada makhluk pe